Seperti malam-malam sebelumnya aku berada dipantai, menikmati indahnya langit malam dengan pendaran cahaya bulan dan bintang dilangit yang pekat, seolah memberi warna atas pekatnya langit malam ini.
Sendiri. Ya, aku selalu sendiri, semenjak kelas XII Papah mengizinkanku kepantai sendiri, oke, tidak sepenuhnya sendiri, karena aku diawasi oleh Pak Sapto dari jauh. Tentu saja Papah tidak akan membiarkan anak gadisnya pergi tanpa ada yang menemani, itu sama saja cari mati bukan?
Dingin. Malam ini terasa dingin. Oh jangan kira karena aku setiap malam menghabiskan malamku disini jadi aku tidak menyelesaikan tugasku dan belajar. Tentu saja tidak. Aku akan menyelesaikan semuanya lalu aku akan kesini. Tidak ada orang yang menempati spot favoriteku ini, mungkin orang-orang yang sering kepantai ini sudah tahu kalau ini telah aku patenkan sebagai tempat favoriteku untuk menghabiskan malamku.
Aku duduk sambil memeluk lututku berharap mengurangi rasa dingin disekujur tubuhku. Entah mengapa malam ini terasa lebih dingin, dan bahkan dinginnya seakan menusuk tulangku. Padahal aku telah memakai jaket, tapi mengapa masih sangat dingin?
Aku merasakan tangan hangat menutup mataku yang saat itu memang tertutup. Aku mampu merasakan harum parfumnya. Sangat harum, aku sempat terlena akan harum yang menyeruak dari tubuhnya sebelum seperdetik kemudian tersadar. Aku tak melawan, hanya menunggu dia akan melepaskan tangannya dari mataku. Aku tidak merasakan ada bahaya menimpaku, dan tangannya cukup menjalarkan kehangatan diwajahku yang sempat sangat dingin.
"Sampai kapan kau akan menutup mataku?" Akhirnya akupun mulai angkat bicara.
"Kau bahkan tidak memberontak. Bagaimana kalau tadi itu orang jahat? Apa kau juga akan diam saja."
"Tentu saja tidak. Saya tidak merasakan bahaya. Jadi saya diam saja."
"Hahahaha."
"Apa ada yang lucu?"
"Tadi itu kau seperti siput. Lucu sekali."
"Siput?"
"Iya. Memeluk tubuhmu sendiri."
"Apa kau kedinginan?" Lanjutnya.
"Tidak."
"Kau tidak bisa bohong." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
"Ck. Menyebalkan." Aku berdecak kesal.
"Sini."
"Apa?" Aku mengerutkan dahi menyelidik.
"Jangan macam-macam ya. Saya bisa saja teriak." Ancamku padanya.
"Tidak macam-macam. Hanya satu macam. Memekukmu." Dapat ku lihat samar-samar dia mengedipkan matanya sambil tersenyum menyeringai.
"Jangan kurang ajar!" Aku menepis lengannya yang kokoh itu saat mulai merangkulku dengan seenaknya.
Bugg.
Terdengar suara hantaman dan seseorang yang tadi merangkulku tersungkur disampingku.
Ada apa ini?
"Jangan sentuh dia!!" Ucap seseorang yang tadi memukul seseorang disampingku.
Itu kan suara...? Moses? Sedang apa dia disini?
"Ini tidak seperti yang kau lihat." Balasnya sambil menghapus noda darah disudut bibirnya.
"Jangan pernah kau dekati dia lagi, apalagi sampai berlaku kurang ajar padanya!" Ucap Moses penuh penekanan. Sambil menarik lenganku agar berada disampingnya.
"Kau ini apa-apaan?! Apa kau hanya bisa membuat keributan saja?" Ucapku pada Moses. Moses tak menggubris perkataanku sama sekali.
"Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa menjelaskannya."
"Jangan pernah mengganggu pacarku lagi!" Balas Moses masih penuh dengan emosi.
"Moses! Kau ini bicara apa?!" Ucapku kesal pada Moses yang dengan seenaknya mengakui kalau aku itu pacarnya.
"Anda pacarnya?" Tanya seseorang yang tadi dipukul Moses. Aku bahkan belum mengetahui namanya. Yang jelas dia pria yang kemarin malam dan aku rasa dia orang baik.
"Iya." Balas Moses mantap.
"Kalau begitu. Saya minta maaf. Dan sepertinya pacar Anda kedinginan, jadi tadi saya bermaksud---"
"Iya. Saya mengerti. Saya bisa menjaganya. Maaf."
"Baiklah. Jaga pacar Anda baik-baik. Dan maaf Elera, saya tidak bermaksud." Ucapnya lalu berlalu pergi.
Dia tahu namaku? Bukannya aku tidak memberitahu namaku padanya?
"Ya!" Balas Moses dan langsung membawaku kedalam pelukannya. Aku diam. Tidak membalas pelukannya, namun kuakui pelukannya sangat menghangatkan tubuhku.
Tunggu? Ini pertama kalinya aku dipeluk oleh seorang pria yang bukan keluargaku. Iya. Ini pertama kalinya.
Dapat kurasakan Moses mencium puncak kepalaku beberapa kali. Sangat lembut, penuh kasih sayang. Eh? Tidak mungkin. Bisa saja Moses memperlakukan semua mantannya seperti ini. Dia kan playboy.
"Maaf." Ucapnya lirih.
"Mulai besok aku akan menemanimu dipantai ini." Lanjutnya sambil melepaskan pelukannya dan menatapku intens.
"Tidak." Balasku dengan muka datar.
"Kau selalu mengambil keputusan sendiri. Menyebalkan." Lanjutku lalu duduk dihamparan pasir pantai.
Dia pun ikut duduk disampingku. Kami sama-sama diam. Menatap lurus kedepan. Kehamparan pantai yang luas dengan ombak-ombak menderu kebibir pantai.
"Ra. Boleh tiduran dipangkuan kamu?" Ucap Moses.
"Apaan sih Mos." Aku melirik kearahnya yang menghela nafas kecewa.
"Iyadeh." Lanjutku. Dia pun tersenyum dan langsung menidurkan kepalanya dipangkuanku. Dia memejamkan mata lama, sambil menghirup udara segar pantai lalu menghembuskannya perlahan.
Aku tersenyum kecil. Seperti orang pacaran saja. Pikirku.
"Tadi itu..." Dengan masih memejamkan matanya Moses angkat bicara. Aku hanya diam, menunggu Moses melanjutkan perkataannya. Cukup lama aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya. Tapi nihil.
Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya yang ada dipangkuanku. Dapat kurasakan hembusan nafasnya yang teratur. Jadi dia tertidur?
"Dasar." Desisku pelan lalu menarik wajahku yang sempat sangat dekat dengannya.
Kalau dilihat-lihat Moses itu tampan ya kalau dilihat dari arah sedekat tadi. Mungkin aku terlambat menyadarinya, karena aku ingat jelas dia bahkan banyak disukai oleh kakak senior kami saat MOS, padahal dandanan ala anak MOS itu kan ngga banget ya? Aku tersenyum melihat wajah polos Moses yang sedang tertidur.
Kamu itu ngga bisa ketebak. Kadang nyebelin. Kadang kayak anak kecil. Kadang juga bisa cuek banget-bangetan. Kadang juga sinis. Kadang juga super perhatian. Sangat tidak tertebak.
***
"Ternyata dia memang pacar kamu ya, Mos? Saya bahkan hanya merangkulnya namun ia sudah sangat menolaknya. Tapi kamu? Bahkan dipeluk pun dia tidak memberontak sama sekali. Bahkan dia... menciummu saat kau tertidur dipangkuannya? Haha." Ucap seseorang dari jauh sambil tertawa hambar lalu melangkah pergi.
***