Her Room

394 63 12
                                    


"Berapa kali kubilang jangan masuk ke kamarku, idiot!"

Cassie marah-marah. Lagi. Hari ini entah sudah yang keberapa kalinya. Pagi tadi dia misuh-misuh karena minuman diet yang ditaruhnya di lemari es tiba-tiba hilang—padahal aku dan Mum bersumpah tak menyentuhnya. Siangnya dia mengomel karena kaos kesukaannya berlubang seperti digerigiti tikus, tepat di bagian dada sehingga dia tak bisa memakainya nanti malam—demi Tuhan mestinya dia marahi saja tikus sialan itu dan bukannya menumpahkan emosinya pada seisi rumah. Lalu sekarang, tepat di detik ini dia menyemburku hanya karena aku berbaring di atas kasurnya.

Oke, Cassie memang tak sepenuhnya salah marah-marah begitu. Dia tak pernah suka jika orang lain—yang adalah aku atau Mum atau Dad—masuk ke kamarnya dengan atau tanpa izin, katanya itu menyalahi privasinya. Namun, tolong jangan salahkan aku jika aku lebih senang membaca majalahku sambil mengemil kentang goreng di kamar Cassie yang terang dan nyaman, mengingat dia punya jendela besar serta pendingin ruangan—oh dan kasurnya benar-benar empuk. Kamarku tidak sebagus miliknya, aku hanya punya kipas angin butut dan ukuran jendela kamarku bahkan hanya seperempat jendela luas milik Cassie.

"Kau, pergi dari sini sekarang juga." Cassie menukas dengan suara rendah, dia menarik ujung kakiku yang terjuntai melewati pinggiran ranjang.

Aku mendecak kemudian mengibaskan tangan Cassie dari kakiku. "Kenapa sih, aku cuma ikut baca saja," protesku. Meski begitu tetap bangun juga dari posisi tiduranku.

"Kau punya kamar sendiri." Cassie menyahut ketus, matanya mendelik pada remah kentang goreng yang bertebaran di permukaan seprainya.

Aku bergegas memunguti remahan itu sebelum Cassie mulai mengomel lagi. "Kamarku gelap dan panas, oke? Kalau tak mau aku masuk kemari lagi, bilang pada Dad untuk membelikanku pendingin ruangan baru. Dan aku ingin ganti kasur, jadi yang seempuk dan sebesar punyamu."

Kening Cassie mengerut, kedua alis tebalnya saling bertaut. "Bilang saja sendiri."

"Kalau begitu jangan marah kalau besok-besok aku masuk ke sini lagi," cetusku ringan sambil mengedikan bahu, seolah dengan begitu masalah kami selesai.

"Kau!" Cassie menukas, suaranya meninggi dan dia nyaris melempar bantal besar di sampingnya padaku. Namun, manuvernya mendadak terhenti. Dia menjatuhkan kembali bantalnya ke atas kasur, rautnya tiba-tiba saja tak lagi keras seperti sebelumnya. Lalu dia berujar, kali ini lebih lembut dan anehnya, kedengaran agak lelah, "Aku serius, Claire. Kau tak boleh masuk ke kamarku lagi. Tidak boleh."

Mendapati perubahannya yang begitu drastis, sukses membuatku tersentak. Kupikir ada alasan serius di balik perubahan raut dan nada bicara Cassie tadi. Aku mengambil satu langkah mendekatinya, bertanya perlahan, "Kenapa ...?"

"Jangan membantah. Aku kakakmu, ingat itu."

Lalu Cassie kembali menjadi dirinya yang galak dan sok. Matanya lagi-lagi mendelik tajam, mengirimiku sinyal untuk menjauh. Aku mendecih, lalu berbalik pergi dan membanting pintu kamarnya tertutup.

Sebetulnya bagiku Cassie agak aneh. Meski wajah dan penampilannya oke, seingatku Cassie tak pernah punya teman. Atau mungkin punya, tapi tak ada yang begitu dekat hingga bisa dibawanya ke rumah. Mum biasa memasak banyak makanan enak setiap satu bulan sekali, dan kami—aku dan Cassie—diperbolehkan mengundang satu dua teman dekat kami untuk makan malam bersama. Aku selalu mengundang Tracey dan Luna. Namun, kursi di samping Cassie selalu kosong tak bertuan. Dia tak pernah mengundang satu pun temannya.

Mum juga selalu dibuat jengkel oleh kebiasaan tak wajar Cassie. Bukan hanya sekali dua kali dia diam-diam menyembunyikan binatang liar di dalam kamarnya. Dulu dia pernah menyelundupkan seekor kucing, lalu anak anjing, bahkan juga burung yang entah apa jenisnya. Semuanya berhasil membuat Mum marah-marah dan binatang-binatang itu berakhir dibuang Dad ke padang rumput kosong beberapa meter dari rumah kami. Ketika ditanya alasannya membawa pulang binatang-binatang itu, Cassie hanya mengedikan bahu dan bergumam sambil lalu bahwa dia tak tega meninggalkan mereka sendiri.

Her RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang