Bagian 1
Karena pada akhirnya aku akan jatuh cinta pada seseorang yang tidak terduga-duga.
(Inasyah dan kepakan sayap doa)
***
Alunan merdu murottal surah Ar-Rahman milik Misyari Rasyid sudah tidak menghiasi sudut-sudut kamar yang bernuansa hijau sejuk ini. Pemiliknya sendiri bahkan sering menyebut bahwa kamarnya adalah kamar surga karena bagi siapa saja yang melihat pasti hati merasa sejuk dan ingin berlama-lama di dalamnya.
Gadis bermata coklat bening itu sudah semenit yang lalu menggelar sajadah di samping tempat tidur yang berukuran sedang -ukuran yang sepadan dengan gadis yang baru saja menginjak usia remaja tersebut.
Ia mulai 'bergulat' dengan Tuhannya. Surah demi surah ia lantunkan. Ia melantunkan ayat-ayat Allah penuh dengan penghayatan serta penekanan. Ia merasa bahwa dimana ia mengucapkan bagian ayat yang mempunyai arti mendalam mampu menggetarkan jiwanya.
Terkadang ia sampai menangis saat shalat. Bahunya sampai bergetar dan matanya terkadang sembab karena terlalu menghayati apa yang ia baca. Gadis itu tak henti-hentinya melakukan sujud panjang di setiap rakaat shalat fardu maupun shalat sunnahnya. Ia selalu menyelingkan doa-doa harapannya ketika sujud.
"Nak, sujudlah yang panjang di setiap rakaat terakhir dalam shalat." kalimat dari ayahnya sepuluh tahun yang lalu masih teringat jelas di pikiran Inasyah.
"Loh emang kenapa, Yah?" saat itu Inasyah tidak mengetahui alasannya karena masih pertama kalinya beliau menyuruh demikian.
"Jika kamu ingin doamu cepat terkabul, maka berdoalah di setiap sujud rakaat terakhirmu." dengan bijak seorang ayah yang menasehati putri bungsunya itu. Mendengar jawaban tersebut Inasyah hanya ber-oh ria dan dengan enak dia menjawab, "tapi emang harus yang terakhir ya, Yah, sujudnya? Kalo berdoanya saat sujud di setiap rakaat gimana? Jadi biar Allah ngabulinnya lebih cepet."
"Iyaa, Nak, itu nggak jadi masalah. Terpenting satu, kamu shalat harus khusyu'. Jangan shalat hanya ada maunya. Shalatlah karena ingin menggapai ridha Allah semata." dengan lembut ayahnya mengecup kening putih putrinya itu.
"Inasyah, tolong bunda, Nak." dengan pelan Inasyah menutup mushaf yang barusan dibacanya usai mendengar perintah seorang wanita yang sangat ia cinta. Ia lalu meringkus sajadah dan melepaskan mukenanya. Seperti biasanya. Ia menggunakan waktunya selepas shalat untuk bertadarus di bulan ini.
Inasyah lalu bergegas menuju ke dapur dan mendapati seorang wanita paruh baya yang pandangannya masih fokus mengaduk makanan yang barusan saja matang.
"Minta tolong apa, Bun?"
"Kamu tau Pak Ahmad kan? Guru ngaji baru di masjid dekat rumah sekaligus tetangga baru kita," sembari memindahkan makanan tersebut ke mangkok besar dan melanjutkan kalimatnya, "tolong antarkan sop buntut ini ke rumahnya ya, Syah. Kayaknya kalau gak dibagiin takut sisa buat makan malam nanti."
"Ohh.. tau, Bun. Oke siap deh." dengan hati-hati Inasyah mengambil alih mangkok besar tersebut dan mulai berjalan keluar rumah sembari mengucapkan salam, "Assalamualaikum, Bunda!" sejurus kemudian bundanya membalas salam putrinya itu.
Ini merupakan kali pertamanya Inasyah mengunjungi rumah lelaki paruh baya tersebut dengan membawakan sesuatu yang semoga saja bisa bermanfaat bagi Pak Ahmad sekeluarga.
Sebenarnya, Inasyah sudah mengenal beliau sejak lama dari perkumpulan Remaja Masjid Nur Illahi dekat rumah Pak Ahmad dulu dan selalu menyempatkan diri untuk belajar mengaji dengan beliau. Namun, saat bundanya mengetahui ada pindahan seorang guru ngaji dari kampung sebelah, Inasyah disuruh mengaji dengan bimbingan beliau.
Inasyah, belajar mengajinya disini saja ya, Nak. Jangan jauh-jauh.
Itulah yang selalu bundanya katakan jika ia berpamitan dengan alasan ada perkumpulan rutin. Sebenarnya, bundanya sudah mengetahui jika anaknya itu juga menyempatkan waktunya untuk mengaji. Namun, sampai sekarang belum mengetahui jika guru ngaji Inasyah adalah Pak Ahmad. Entah kenapa Inasyah belum ingin bercerita.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum?" Inasyah memandang pintu yang di depannya.
Gadis berjilbab lebar tersebut menunggu jawaban. Belum kunjung dibukanya pintu tersebut oleh tuan rumahnya.
Inasyah sekali lagi mengetuk pintunya, "Assalamualaikum. Pak Ahmad?" hening. Sama sekali tidak ada jawaban. Ia teringat sesuatu jika Pak Ahmad biasa mengajar ngaji sekitar setengah jam sebelum maghrib tiba. Ia berniat ingin memberikannya ba'da maghrib saja. Namun, ia berpikir lagi mungkin barangkali ada anak atau istrinya yang berada di rumah.
Ia mengetuk sekali lagi dengan suaranya kali ini lebih dikeraskan , "Assalamualaikum." masih tidak ada jawaban.
Ia benar-benar berniat ingin pulang saja. Namun, saat ia sudah berbalik, tiba-tiba terdengar suara pintu berdecit dan suara bariton mengagetkannya, "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Iya siapa ya?" Inasyah berbalik, ia terkejut bukan kepalang.
Gadis berusia enam belas tahun itu mendapati seorang lelaki berjangkung yang sedang berdiri di ambang pintu. Inasyah terperangah. Dalam sekejap hati gadis itu berdesir. Tubuhnya mendadak membeku. Ia tidak menyangka jika harus bertemu dengan lelaki itu.
"Loh, Inasyah?" ternyata lelaki itu tidak kalah terkejutnya. Ia heran mengapa teman kelasnya bisa mengetahui rumahnya dan perihal apa datang kemari, "kok lo bisa kes-"
"Ehm, sebenarnya aku mau mengantarkan ini untuk Pak Ahmad," Inasyah maju beberapa langkah. Kini ia berhadapan dengan lelaki itu. Dengan posisi seperti itu, Inasyah lebih banyak menunduk.
Pikirannya dari tadi sudah tidak karuan. Secepat mungkin ia mengatur deru napasnya yang menggebu. Lalu menyodorkan apa yang tadi dibawanya. Ia melanjutkan kalimatnya, "itu dari ibuku. Beliau menyuruhku untuk mengantarkannya ke rumah Pak Ahmad.
"lo kenal abi gue?" Inasyah terperangah. Sekali lagi ia tidak mengetahui bahwa Pak Ahmad adalah abi dari lelaki itu.
"Assalamualaikum," terlihat lelaki paruh baya yang masih berperawakan segar dengan balutan baju koko putih dan sarung serta peci yang selalu melekat di tubuhnya. Ia menyapa Inasyah dan anak semata wayangnya itu, "loh ada Inasyah rupanya. Al, kenapa nggak diajak masuk aja sih?"
"Waalaikumsalam. Ehm maaf, Pak. Saya hanya ingin mengantar makanan untuk makan malam Pak Ahmad dan keluarga."
"Ya kamu juga sekalian makan malam disini, Syah."
"Ehm ndak usah, Pak," Inasyah langsung mengisyaratkan dengan kedua tangannya dan rona salah tingkah mengguyur wajahnya seketika, "lagian bunda juga udah nungguin di rumah. Hehe,"
"Bener ni nggak disini aja? Yaudah kamu hati-hati ya pulangnya."
"Iya, Pak, nggakpapa kok. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum." Sejurus kemudian dua laki-laki itu menjawab salam seorang gadis yang sudah bersiap untuk pergi.
~ATOI~
Jangan lupa selalu bersyukur terhadap nikmat Allah yang sudah diberikan ke kalian ya. :)
Salam sayang,
Inhap
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Of Illusion
Espiritual(JANGAN LIAT COVER) Bagaimana perasaanmu jika mencintai seseorang dalam diam? Bagaimana jika kau mencintainya namun tidak ada kepastian, ia dengan mudah hilang begitu saja? Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya jika kau mencintainya dengan menahan ra...