Aku membuka mataku perlahan, semuanya gelap, hanya ada cahaya bulan dari luar jendela masuk ke ruangan itu. Aku masih belum sadar sepenuhnya, lalu aku menoleh ke arah kiriku dan mendapati Dylan sedang terbaring menatapku dengan senyumnya. "Kau sudah bangun," ucapnya.
Aku tersentak dan terduduk. Entah sejak kapan aku sudah berada diatas ranjang? Bukankah harusnya aku ada di kursi? Apa yang sudah kulakukan? "Ke-kenapa aku ada diatas kasurmu? Sejak kapan kau bangun?"
"Aku mengangkatmu. Kau pikir aku akan diam saja melihatmu tidur seperti itu? Tubuhmu bisa sakit, Rosie. Aku sudah bangun sekitar 15 menit, aku merasa enakan, berkatmu. Karena kau ada didekatku." balasnya. "Tenang saja, aku tak melakukan apapun padamu." sambungnya saat melihatku mengecek apakah pakaianku masih terpasang.
"Jam berapa ini? Aku harus pulang, Bibi Jules mungkin akan mencariku. Lagipula kenapa juga kau menyuruhku kesini saat kau justru sedang mabuk?" tanyaku kesal sambil merapikan baju.
"Aku sudah bilang pada Bibimu bahwa kau akan menginap disini. Apa kau akan pergi naik taksi sendirian jam 2 pagi? Oliver juga butuh istirahat," Aku tak memperdulikannya dan berjalan keluar. Ia menyandarkan dirinya pada dinding diatas ranjang, wajahnya tiba-tiba berubah kesal. "Kau menyakitiku, Rosie."
Aku menghentikan langkahku di pintu kamar, aku membalikkan badanku dan melihatnya. "Apa maksudmu? Menyakitimu apa?" tanyaku.
"Kau dengan Miles," ucapnya tak menatapku. Aku tercengang melihat sikapnya, aku pun menghampirinya dan duduk diatas ranjang bersebelahan dengannya. "Kau melihatku dengan Mr. Miles? Lalu apa? Kau cemburu?" tanyaku hati-hati.
Dylan menoleh melihatku. "Aku sangat ingin menghampirimu, tapi aku tidak ingin membuat keributan didepan umum dengan Miles."
Dylan terlihat sangat menggemaskan dengan wajahnya yang marah seperti anak-anak, aku tidak mampu menahan hatiku untuk luluh padanya. "Kemana larinya Dylan Alexander Foster yang arogan dan gagah? Kenapa aku hanya melihat sosok yang lemah?" godaku. Aku memegang kedua pipi Dylan dan menatapnya. "Miles bukan kau, Dylan. Dan hatiku hanya lemah denganmu,"
Dylan langsung mencium bibirku. Ia terlihat sangat haus akan ciuman itu. Aku tersenyum saat diciumnya dan memejamkan mataku. Namun saat aku sadar bahwa tangan Dylan sudah mulai meraba payudaraku, aku pun menarik wajahku dan bergeser. "Dylan, aku tidak bisa."
Aku bisa melihat wajahnya yang terkejut dengan sikapku. Aku mengerti, tapi aku tetap tidak bisa. "Maaf, Dylan. Aku tidak bisa melakukan hal itu,"
"Why? Aku tidak cukup baik untuk menjadi yang pertama bagimu?" tanyanya.
"Bukan, Dylan. Aku... aku hanya berencana untuk memberikannya pada seseorang yang kusebut suami," ucapku tanpa berani melihatnya. Aku tahu setiap lelaki selalu menginginkan hal itu, tapi aku juga punya hak untuk menjaganya kan?
"Kalau begitu, jadilah istriku," ucapnya tiba-tiba yang berhasil membuat jantungku terasa terbanting. "Jadilah istriku, Rosie."
Aku tertawa. "Menikah tidak semudah itu, Dylan. Kau dan aku baru mengenal berapa lama? Satu bulan? Dan kau akan mengajakku menikah? Kau bahkan tidak pernah mengatakan kau mencintaiku,"
"I love you." ucapnya cepat dan menatapku tanpa berkedip. Aku mendekatkan diri padanya, mencium kedua sisi pipinya dan menatapnya dengan senyum. "Kau pasti masih pusing karena sakit, istirahatlah. Aku akan menemanimu sampai kau bangun pagi nanti,"
Kami berbaring bersebelahan. Dylan melingkarkan tangannya pada pinggangku dan aku mengelus rambutnya. Ku biarkan dia beristirahat karena aku tidak ingin mendengar celotehannya yang tidak berdasar. Dia mencintaiku? Dia mau menjadi suamiku? Hah, yang benar saja. Apakah dia masih mabuk? Berani sekali dia mengaduk-aduk hatiku dengan perkataannya itu.
**
"Apa kau sudah lebih baik?" ucapku saat melihat Dylan mulai membuka matanya. Dia mengangguk lalu tersenyum padaku.
"Kau masih disini," ucapnya.
"Of course. Aku sudah mengatakan bahwa aku akan menemanimu sampai kau bangun, kan?" balasku sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja dekat ranjang. "Drink it. Aku harus berangkat ke kantor, kau tahu kan, aku hanya karyawan pengganti yang tidak boleh telat."
"Sampai kapan masa kerjamu?" tanyanya.
"Next week," aku beranjak keluar dan terhenti lalu melihatnya lagi. "Ah, aku lupa. Tolong jangan mabuk seperti itu lagi saat kau sakit, aku bukannya merasa repot denganmu, hanya saja aku ingin kau menjaga diri. Aku pergi dulu, sampai jumpa, Dylan." ucapku tersenyum lalu keluar menuju lift.
Dylan mengejarku dan menghentikan pintu lift yang akan tertutup. "Kenapa kau tidak menjadi karyawan tetap saja di perusahaan ku?"
Aku terkejut dengan tawarannya. "Are you sure? Tapi menjadi karyawan tetap di perusahaan itu tidaklah mudah,"
Dia menghela napas dan tertawa kecil melihatku. "Apa kau lupa siapa aku? Kau ingin tahu apa yang bisa kulakukan?" tanyanya. Lalu ia memencet tombol lift agar tertutup dan membiarkanku pergi. Aku tidak tahu ada apa dengan sikapnya. Ya, aku sadar dia adalah pemilik perusahaan itu tapi tetap saja sulit bagiku untuk masuk kesana. Aku hanya punya pengalaman bekerja di kedai kopi dan saat ini aku hanya beruntung menjadi karyawan pengganti disana karena mereka memang membutuhkannya.
**
"Mrs. Portman," sapaku saat melihat Mrs. Portman baru saja masuk ke ruangan kami.
"What are you doing here, Rosie?" tanyanya. Aku terheran dengan pertanyaan Mrs. Portman. Tentu saja aku disini untuk bekerja, kenapa ia harus bertanya lagi. Masa kerjaku kan belum habis.
"Apa maksudmu, Mrs. Portman? Aku disini untuk bekerja, membantumu." jawabku.
"Tapi... kau bukannya sudah diangkat menjadi sekretaris si Tuan Muda Foster itu?" ucapnya sambil meletakkan tas tangannya di meja.
"Apa? Sekretaris? Tidak, Mrs. Portman. Aku tidak pernah ditawari ataupun menerima tawaran seperti itu. Darimana kau mendapat kabar itu?" tanyaku heran.
"Mr. Foster memberitahuku pagi ini. Ia menjadikanmu sekretaris dan berkata akan mengirim staff untuk membantuku disini sampai Stacy masuk," jawabnya. "Apa yang terjadi denganmu dan Mr. Foster, Rosie?"
"Mrs. Portman, aku harus meluruskan hal ini. Aku pergi dulu," ucapku sambil berlari menuju ke lift. Aku berencana untuk menemui Dylan di ruangannya. Ini tidak bisa dibiarkan, apa ini yang dimaksudnya tadi pagi?
Aku berjalan di koridor dekat ruangannya. Seorang wanita yang duduk dibalik meja didepan ruangan Dylan menghampiriku. "Ada perlu apa anda disini, Miss?" tanyanya ramah.
"Saya ingin bertemu dengan Mr. Foster. Bisakah kau menyampaikannya? Namaku Rosalie Stone," balasku. Wanita tersebut menyuruhku untuk menunggu sementara ia menelepon ke ruangan Dylan untuk memberitahu kedatanganku.
"Silahkan masuk, Miss Stone. Maaf membuatmu menunggu," ucapnya tersenyum. Ia membukakan pintu untukku dan membiarkanku masuk. Didalam, aku melihat Dylan sedang berdiri menghadap jendela yang memperlihatkan pemandangan kota Manhattan dan sekitarnya. Ia berbalik melihatku dan tersenyum. "Aku sudah menduga kau akan datang,"
Aku memasang wajah kesal. "Apa yang anda lakukan, Mr. Foster? Bagaimana bisa anda seenaknya mengangkatku menjadi sekretaris tanpa pemberitahuan?"
"Bukankah aku sudah memberitahumu tadi pagi?" tanyanya balik.
"Tapi anda tidak pernah bilang bahwa anda akan mengangkatku menjadi sekretaris. Apa anda tidak merasa ini berlebihan?" tanyaku.
"Aku hanya ingin kau terus disisiku, Rosie." balasnya.
Aku menghela napas. "Baiklah. Aku akan menerima tawaranmu untuk bekerja sebagai karyawan tetap disini, tapi tidak sebagai sekretaris. Aku tidak mau karyawan lain berpikir aku melakukan sesuatu padamu sehingga kau begitu baik padaku," jelasku.
"Kau memang melakukan sesuatu padaku. Kau... membuatku jatuh padamu," balasnya yang mengagetkanku. Aku salah tingkah dan tak tahu harus membalas apa dengan pernyataannya.
"Apa anda masih sakit? Perlu ku panggilkan Oliver agar membawamu ke rumah sakit?" tanyaku mengalihkan. Dylan tertawa. Tawa yang selalu meluluhkanku. Aku pun tak kuasa untuk terus berada di ruangan nya dan pamit untuk kembali ke ruanganku.
YOU ARE READING
D for Destiny
Roman d'amourBeberapa part utk usia 21th keatas. Namaku Rosalie Stone. Aku berasal dari Vancouver, Canada. Sebenarnya, aku sama sekali tidak memiliki darah Canada, namun orangtuaku melahirkan dan membesarkanku disana. Saat aku menginjak usia 22 tahun, aku pergi...