Suatu Hari Menjelang Subuh

84 12 6
                                    

02.14.

Hening.

Jam tengah malam sudah berlalu dari tadi. Perempuan itu masih terjaga, sudah mencoba tidur sejak pukul sepuluh. Dia hanya menatap langit kamar berwarna putih yang dipojoknya terdapat sarang laba-laba. Dia terlalu tidak peduli untuk membersihkannya. Mungkin membiarkan keluarga laba-laba hidup disana adalah hal baik yang setidaknya bisa dia lakukan saat ini.



Hening.

Mulutnya tak berucap, tapi pikiran-pikirannya berteriak sambil berlarian ke lorong-lorong tergelap. Mencakar otak, menggerogoti apapun di dalam kepala agar mereka bisa keluar, meronta-ronta agar mereka diperdengarkan.



Tapi, pada siapa?

Teman? Tentu saja tidak ada yang mau mendengar, apalagi peduli. Setiap orang memiliki masalah masing-masing, tak ada waktu untuk memikirkan masalah orang lain.


Lalu, pada siapa?

Orang tua? Tidak, itu bukan ide yang bagus. Mereka sudah menanggung terlalu banyak beban di pundak. Dia tidak mau membuat orang tuanya semakin bungkuk.


Lalu, pada siapa?

Tuhan? Sebutlah dia hamba yang nista. Meragukan kekuasaan Tuhan karena Tuhan tak kunjung menjawab doanya. Merasa bahwa Tuhan berlaku curang pada hambanya.



Lalu, pada siapa?

Tidak ada.

Dia menjaga semua pikirannya sendiri. Mencoba meyakinkan bahwa; semuanya akan baik-baik saja.


Hahaha!

Pikiran di sisi kirinya yang mendominasi, tertawa sambil menggeleng setiap kali dia mengulang kalimat itu. Tawa mereka menggema, —dan menyakitkan. Mereka berujar, "semua tidak pernah baik-baik saja sejak awal, bahkan sampai kapanpun."


Tunggu.

Pikiran sisi kanannya yang lemah dan kelaparan, mereka merintih, mencoba melawan sekuat tenaga. Berpendapat bahwa mungkin, —hanya mungkin— semuanya akan baik-baik saja suatu hari nanti.


Bodoh!

Lalu pikiran kirinya berteriak keras, menolak untuk setuju, karena kalimat itu hanyalah penenang. Kalimat itu adalah kebohongan terbesar. Mereka membuktikan dengan fakta-fakta menyakitkan yang memang benar adanya. Memakinya, mengucapkan kata-kata kasar, mengulang memori yang berefek pada sesuatu di dadanya, membuat nafasnya sesak. Membeberkan seribu satu alasan untuk memperkuat perkataan mereka; semuanya tidak akan pernah baik-baik saja.

Mereka terlalu kuat sampai-sampai nyali lawannya menciut, tak mampu lagi melawan.

Dan ia percaya dengan pikirannya yang mendominasi; semuanya tidak akan pernah baik-baik saja.



Hening.

Ia mengusap pelipisnya yang kini dialiri air asin. Mengeluarkannya tanpa suara, itu yang dia lakukan setiap malam.

Jangan membuat gaduh, itu mantra miliknya.



Hening.

Dia membuka selimutnya, menyalakan lampu kamarnya, lalu melangkah keluar menuju wastafel di dekat dapur untuk membasuh muka.

Saat dia kembali, sepucuk surat dengan kertas HVS berwarna putih terlipat rapi di atas mejanya. Ia mungkin hampir gila, tapi dia masih cukup waras untuk meyakini bahwa kertas itu tidak ada saat ia pergi 20 detik tadi.

Perlahan, dia membukanya. Ternyata itu tulisan adiknya yang berada di kamar sebelah.




"Don't lose hope, i need you in this world."




9 kata sederhana,

dan dia merasa lebih baik.

*****

N o t e : Teh, you might never read this but i wrote this for you. You are so annoying and i hate everytime youre being so childish, but, ily.

This road is so rough, i know. And if i could ask you one thing, i just want you to hold on.

Home: Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang