“iya iya gue tau lo pasti kangen kan sama gue?” ucapku pada seseorang di seberang telepon sana.
“dih pede banget lo, hahaha tapi iya sih emang gue kangen banget sama lu secara udah ampir setaun kita gak ketemu,” jawab seseorang dengan suara ngebass khas cowok yang sudah beranajk dewasa.
“tuh kan tuh kan… apa gue bilang. Lu kan dari kecil nempelnya sama gue haha,”
“dihh apaan bukannya lu ya yang suka nempel sama gue, tiap ada masalah sama cowok dikit langsung nyamperin gue. Keselnya kesiapa, mukul-mukulnya kesiapa. Kasian banget ya idup gue,” ucapnya panjang lebar.
“ihhh curhat lagi, sabar aja ya pak terima nasib punya sobat cewek kayak gue, hahaha.” Aku tertawa disela-sela obrolanku, orang disebrang sana juga ikut tertawa “ehhhh jadi lu ga ikhlas, ridho dan rela buat jadi sandaran gue?”
“yaa gue udah nerima nasib juga kali dari jaman SD, dan gue udah ikhlas, ridho dan rela kalo harus jadi sandaran lu. Tapi ini aku bukannya jadi tempat sandaran lu yang bisa nerima pelukan sukarela dari lu, aku malah dijadiin sasaran tinju mulu,”
“ihhhh dasar mesum lu,”
“hahaha…” aku mendengar orang disebrang sana menarik nafas “ ehhh udah dulu ya gue harus kerja, bye Van”
Tanpa menunggu jawaban dariku dia langsung memutuskan sambungan telepon. Ya seperti biasanya. Ardian Pramanto, dia sahabatku dari kecil dan sudah cukup sabar mendengarkan segalan ocehan tak pentingku sejak kita duduk di bnagku SMP. Walaupun sebenernya kita udah deket dari Taman kanak-kanak, atau malah sejak kita orok tapi tetep aja masa dimana kita bener-bener deket ya masa SMA.
Nggak tau darimana awalnya kita jadi bersahabat seperti ini. Saling membagi keluh. Dan tentunya lebih sering dan banyak aku yang mengeluh padanya. Tentang apa? Tentunya tentang cowok. Aku cukup tertutup mengenai masalah keluarga. Dan dia cukup mengerti apa arti sebuah privasi bagiku dan menghargai privasiku. Walaupun terkadang atau malah sering kali dia tau setiap masalah yang sedang aku hadapi.
Setiap saat aku selalu datang padanya. Dan bercerita tentang cowok-cowok yang sedang menjalin hubungan denganku. Dengan sabar dia mendengarkan segalanya. Dan sedikit memberikan saran, walaupun sebenarnya dia belum berpengalaman dalam berpacaran.
Tapi itu dulu. Sekarang karena terpisah jarak. Aku masih disini, masih menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas swasta di kota ini. Sedangkan dia, bekerja disalah satu perusahaan di luar kota.
Hmmm… aku tau ini kesannya kayak pacaran. Bahkan orang sekitar rumah saja menyangka kita pacaran. Padahal ya hanya sebatas teman dekat aja, nggak lebih kok.
--Fz---
Ardian
Iya aku tau dia tipekal cewek manja. Vania Salasmi Insan. Cewek yang selama ini selalu ada disetiap langkahku dan waktuku. Bukan. Tentunya dia bukan cewek aku. Meski semua orang menyangka kalo kita ini pacaran. Tapi komitmen kita untuk bersahabat masih terjaga hingga saat ini. Aku tau ini terlihat membohongi diriku sendiri. Ketika cowok yang ada disekitarnya saling berebut untuk mendapatkannya. disini aku malah mengacuhkannya. Walau sebenarnya disisi lain aku juga tergoda dengan setiap perubahannya.
“abis nelpon siapa lu? Cewek lu ya” seseorang menyadarkanku dari lamunan dengan senyum yang mengembang –terlihat bodoh-. Dio, teman satu kerjaku.
“apa sih? Gue gak punya cewek kali. Yang tadi sobat gue,” ucapku sambil memberekan berkas yang ada diatas meja.
“yakin tuh Cuma sobat? Kok kayak lebih ya?” tanyanya meyakinkan.
“yakinlah orang dia sobat gue dari kecil kok,”
“seumuran?”
“nggak, dia dibawah gue dua tahun,” jawabku tanpa mengalihkan pandangku dari berkas-berkas yang menumpuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone
Подростковая литератураVania seorang gadis yang masih duduk dibangku kuliah tak pernah menyangka jika sahabatnya mulai tak bisa menjalankan komitmen lagi. bersahabat sampai kapanpun. Ardian, aku tahu ini perasaan yang salah. tapi aku tak bisa menyangkalnya, perasaan ini...