Lima

4 0 0
                                    


'Hei, Alex. Jangan tertarik ataupun menggoda target ketika sedang menjalankan misi.' Suara Magnus bergema di pikirannya di sisa hari ini.

Sejak kapan Magnus berubah jadi menyebalkan? Baiklah, Alex harus mengakui kadang-kadang Magnus adalah rekan kerja yang menyenangkan. Tapi, proporsi sikap menyebalkan lelaki itu lebih mendominasi.

Pagi tadi, Alex hanya berencana membuntuti target. Tidak berniat sedikit pun untuk berdekatan secara fisik maupun emosional dengannya. Tapi demi Tuhan, ketika melihat gadis itu tersenyum, Alex tak lagi dapat menahan-nahan diri untuk tak bergerak mendekat.

Oke, satu kabar baik yang pasti. Lelaki bernama Marco yang mulanya Alex pikir sebagai kekasih Jill, ternyata hanya sebatas rekan kerja. Demi melihat Lexus dan setelan mahal pria itu, Alex meminta Magnus mengirimkan hal yang sama saat itu juga. Tidak tidak, tidak persis sama. Setidaknya Alex merasa mobil miliknya lebih oke daripada milik lelaki itu.

Harga diri lelaki. Itu yang ada dalam pikirannya saat itu.

Salah satu anak buah Magnus yang menangani kasus perselingkuhan —lelaki berkaus merah— datang membawa mobil dan juga setelan kemeja necis hanya berselang belasan menit setelah Alex menutup teleponnya. Hal yang disukainya dari Magnus : selalu merespon dengan cepat apapun permintaan Alex.

Malam ini, Alex mengenakan celana pendek selutut serta kaus santai tanpa lengan. Kedua lengannya terlihat kokoh. Sekokoh dahan kayu pohon oak di musim panas. Dia berjalan mondar-mandir tanpa alas kaki di apartemennya yang masih dibiarkan kosong tak berperabot. Hanya ada satu buah sofa di tengah ruang tamu, satu buat televisi layar datar ukuran besar, serta satu buah ranjang di kamar tidur dan beberapa peralatan memasak di pantri. Bau cat baru yang pengar masih menempel pekat di sebagian besar dinding. Apartemennya dibiarkan gelap. Penerangan hanya berasal dari cahaya lampu di luar jendela.

Alex berjalan keluar, memutuskan duduk di atas kursi malas dari kayu yang dilapisi bantal busa empuk di teras balkon. Teropong di tangan kiri, segelas kopi di tangan kanan, dan alat komunikasi dengan Magnus yang melekat di telinga.

Di seberang sana, Jill terlihat sedang sibuk dengan tanaman-tanamannya yang berjejer-jejer di dalam pot di area balkon. Setelah selesai, dia masuk ke dalam apartemen dan mengerjakan sesuatu di pantri. Gadis itu sepertinya sedang memasak untuk makan malamnya.

'Apa yang kau lakukan, Alex?'

"Aku sedang lembur."

'Lembur?' Nada suara Magnus terdengar mencibir.

"Mengawasi target kita. Kau lupa ya alasan kenapa aku menyewa apartemen di sini?" Alex mengangkat teropongnya. Melalui bantuan benda kecil itu, dia dapat melihat Jill dengan jelas meski mereka berada dalam gedung yang berbeda. Rambut ikal gadis itu dikuncir jadi satu lalu diikat tinggi di belakang kepala.

'Apa kau sudah tahu di mana dia menyimpan berlian itu?'

Jill tampak selesai dengan masakannya. Gadis itu berjalan menuju ruang sebelah. Ruangan yang mulanya gelap, berubah terang saat dia masuk. Dari teropongnya, Alex dapat melihat keempat sisi dinding ruangan tersebut diberi warna krem yang lembut. Sebuah lemari diletakkan di dekat pintu. Sementara di dekat jendela terdapat ranjang yang tidak terlalu besar. Alex menebak itu adalah kamar tidur Jill.

"Belum."Alex mengedikkan bahu meski lawan bicaranya tak dapat melihatnya."Ada satu lokasi lagi yang harus kuselidiki. Bloem's. Dia pemilik tempat itu. Bisa saja berliannya disembunyikan di sana."

'Kau sudah memeriksanya?'

Jill terlihat berjalan mondar-mandir di dalam kamar seolah tengah mencari-cari sesuatu. Lalu dia berhenti di depan lemari, membuka pintunya dan mengambil sesuatu dari dalam lemari tersebut. Dia membelakangi jendela. Gadis itu mengangkat salah satu tangannya dan melepaskan pakaian yang tengah dikenakannya. Rambutnya terurai begitu kausnya lolos melewati leher.

'Alex? Kau mendengarku? Alex?'

Sial!

Alex terkejut. Dia tersedak hingga kopi panas dalam gelas di genggamannya tumpah membasahi pakaiannya, membentuk noda hitam tak beraturan tepat di bagian tengah. Pipi Alex merona merah. Memanas. Kendati demikian, Alex tak melepaskan fokus teropongnya pada punggung polos milik Jill. Tubuh gadis itu mempunyai lekukan yang nyaris sempurna. Tanpa cela. Mengingatkan dirinya akan patung dewi Aphrodite yang terpahat indah di kuil Yunani.

'Alex apa yang kau lakukan?'

"Ganti baju...."

'Apa?' Magnus menahan kalimatnya sejenak, lalu dia berseru,'Astaga, Alex! Kau mengintipnya ya?'

Mulanya, Alex mengira Magnus hanya bertanya dan sekadar menebak-nebak. Lelaki itu jelas tidak akan tahu persis apa yang sedang terjadi saat ini. Namun, ketika mendengar suara tawa lelaki itu kemudian pecah, Alex memberengut kesal. Magnus tahu dan itu sangat tidak mengasyikkan. Kali ini, wajah Alex semakin memanas. Dia segera menurunkan teropongnya lalu cepat-cepat membalikkan badan tepat ketika Jill juga melakukan hal yang sama. Berbalik ke arah jendela.

Pertama, senyumannya.

Kedua, aroma wangi tubuhnya.

Ketiga, lekuk sempurna tubuhnya.

Lalu, pesona pemikat apa lagi yang dipunyai oleh gadis itu?

Alex berjalan gegas masuk ke dalam apartemen, melemparkan teropong miliknya begitu saja ke atas sofa. Napasnya naik turun. Memburu dengan cepat. Jantungnya berdentum-dentum tak karuan.

'Alex, astaga. Kau terdengar seperti maniak penguntit.' Tawa Magnus tak kunjung reda.

"Diamlah, Magnus!"

Alex berkacak pinggang. Lagi, dia menyugar rambutnya. Dia tak berminat untuk membalas ledekan Magnus. Ketika tawa Magnus mereda, lelaki itu berkata,'Ingat, Alex. Dia target kita. Segera cari berlian itu dan jangan libatkan dirimu terlalu jauh. Buatlah misi ini semudah seperti biasanya.'

PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang