Aku anak sulung di keluarga kecilku. Dua adikku perempuan semua tapi masih kecil, mereka kembar. Lucu-lucu bahkan sangat lucu hingga semua orang sangat menyayaginya. Ayahku pun tak tega meninggalkan dua adikku jika hanya bersamaku, mungkin takut jika aku tak becus menjaganya. Memang ada sedikit kecemburuan pada dua adikku, tapi rasanya tak pantas jika aku cemburu pada mereka. Waktu aku lahir kedua orang tuaku selalu menemaniku bahkan banyak tetangga yang mendatangiku, namun kedua adikku. Sangat sulit mengatakannya, mereka tak bisa sekalipun melihat ibu kami. Ibu meninggal waktu melahirkan adik kembarku. Ayah sangat menyayangi adik-adikku sampai aku hampir terlupa. Tapi sikapku sebaliknya aku sedikit kesal dengan mereka, ibu tiada karena mereka.
“Ayah..”, aku mendekat duduk di samping ayah, sambil menyodorkan surat keterangan beasiswa kuliah.
Sejenak kami sama-sama terdiam, belum ada suara yang keluar dari mulut ayah.
Surat itu dikembalikannya padaku. “Adikmu butuh uang untuk sekolah bukan hanya itu kita juga butuh makan. Apa kau tak ingin cari kerja, kau kan sudah lulus SMA”, jawab ayah datar tanpa melihatku.
Air mataku meleleh, aku berlari meninggalkan ayah.Kondisi keuangan keluargaku memang sulit, ayah hanya seorang pegawai bengkel dengan bayaran rendah. Tapi aku dapat beasiswa apa salahnya aku mencoba kuliah dulu. Kebencianku pada dua adikku semakin menjadi-jadi. Aku tidak bisa kuliah karena mereka. Tiap malam aku hanya menangis, ingin belajar lebih banyak dan aku haus akan ilmu.
Beberapa guru mendatangi rumahku dan menerangkan pada ayah kalau anak juga butuh kuliah untuk dapat kerja lebih baik. Tapi ayah masih belum bisa dipahamkan juga.
“Arum itu anak saya, dia sudah cukup mengenyam sekolah hingga SMA, dia punya adik-adik yang harus dibiaya juga”, ayahku marah-marah di depan para guruku. Malu rasanya.
Sebenarnya aku tak mengerti pikirian ayah. Seakan-akan anak ayah hanya adik kembarku Mawar dan Melati. Ayah sangat spesial memperlakukan mereka. Dari kecil mereka tak dilatih untuk bekerja, bahkan sampai sekarang mereka belum bisa mengepel apalagi masak. Sejak ibu tidak ada aku yang harus menggantikan posisi beliau. Yang ayah tau hanya mencari uang untuk makan, SPPku dan adik-adik serta memanjakan adik-adik. Setiap apa yang diinginkan mereka ayah pasti membelikannya bahkan sampai hutang kesana-kemari. Aku, hanya minta tas baru saja harus menangis satu minggu lebih.
Tiap malam aku hanya menangis, tinggal selangkah lagi aku kuliah tapi harus ku kubur impian itu dalam-dalam. Keesokannya aku pergi ke makam ibu, pagi-pagi sekali.
“Ibu, kenapa ibu harus pergi meninggalkan kami semua, terutama aku bu, ayah sangat pilih kasih pada kami, ayah memperlakukan aku seperti pembantu tiap hari harus bekerja di rumah tanpa bantuan dari adik-adik. Ibu aku rela jika tiap hari diperlakukan seperti itu asal aku bisa menuntut ilmu lebih tinggi, aku ingin kuliah bu, aku sangat ingin….”, aku menangis tersedu-sedu di atas pusara ibu.
Aku harus segera pulang jika tidak ingin kena marah ayah. Sarapan untuk ayah dan adik-adikku harus selalu tersaji pagi-pagi.
“Dari mana saja, ayah tak apa kelaparan waktu kerja, tapi adik-adikmu perlu nutrisi waktu belajar”, ayah selalu mementingkan adik-adik daripada apapun.
“Maaf ayah, Arum segera buatkan sarapan”.
“Arum”, ayah memanggilku waktu aku sudah melangkah menuju pergi ke dapur.
“Iya ayah”, dengan wajah polos aku siap menerima perintah ayah.
“Ayah punya kenalan, katanya dia membutuhkan baby sitter, kau mau kerja di sana?”, tanya ayah padaku. Aku hanya bisa membisu, mungkin inilah jalan hidupku.
“Iya ayah, apapun perintah ayah”, dengan menahan air mata, aku segera ke dapur membuatkan sarapan.
“Ayah pergi dulu”, ku lirik dari dapur wajah ayah sangat bahagia. Aku bahagia jika kau bahagia ayah.