Empat Puluh Dua : Gelang

2.3K 92 6
                                    

Pengalaman yang tidak mungkin aku lupakan, di taman yang gelap ada seorang yang membawa lilin dan jujur padaku, aku merasa bersalah dan tidak enak sama rendi.
Aku termenung di kamar dan sesekali meneteskan air mata. Hati ku tidak bisa berbohong tapi hatiku tidak ingin memaksa.
“Nda ngapain kamu, loh kok nangis”. Kata reva yang langsung menepuk pundakku.
“Eh, kak reva, enggak kok”.
“Kamu pasti terharu deh karena kejutan dari rendi, iya kak”.
Aku hanya tersenyum sambil menghapus air mata yang ada di pipiku.
Malam ini aku tidak bisa tidur karena mengingat-ngingat kejadian itu.
Dalam hati aku berharap malam ini cepat berlalu dan aku bisa menyendiri dan menenangkan diri di rumah.
Ponsel yang di sakuku bergetar, tanda pesan masuk.
“Nda, maafin aku kalo membuat kamu tidak nyaman gara-gara tadi malem, aku akan menunggumu, tenangin dirimu aku tidak memaksa”.
***
Pagi akhirnya tiba, kusiapkan untuk perjalanan pulang, aku sudah tidak tahan ingin sekali berbagi cerita dengan riri sahabatku, aku ingin nangis di pundaknya dan menceritakan semuanya.
Aku pulang dengan rendi dan kedua temanya Reva dan Romi, kita hanya diam tanpa kata selama perjalanan.
“Eh... kalian berdua pada diem aja, emang gitu ya kalau habis jadian”.
“Apaan sih kamu rev, tuh ajakin Romi ngobrol biar gak molor”. Sambil menunjuk romi yang molor.
Rendi menghidupkan musik biar merasa rileks semua, karena perjalanan masih lumayan lama.
Aku ingat benar pesan yang di kirim rendi padaku, dia ingin aku menenagkan diri tanpa mengajakku bicara sama sekali.
Perjalanan empat jam sudah berlalu, akhirnya sampai juga di depan rumah ku. aku turun dengan di dampingi rendi.
“bu, Nda pulang”. sambil mengetuk pintu.
“Nda sayang, eh nak rendi, masuk dulu gih”.
“ndak usah tente, itu temen-temen sudah menunggu di mobil, saya pulang dulu”. sambil menjabat tangan ibu.
“Nda, aku duluan”. Sambil menuju mobil.
Aku hanya menganngguk dan hanya diam.
***
Aku langsung menuju kamar dan membersihkan diri. Tak lupa aku langsung menelfon riri.
“Hallo Ri?”.
“Hallo Nda tumben telfon, bukannya kamu liburan?
“Ini udah pulang ri, aku pengen ketemu sama kamu, aku tunggu di kafe biasa”. Suara ku semakin lirih.
“Nda, kamu baik-baik saja kan?, ya udah satu jam lagi kita ketemuan ya”.
“oke, makasih ri”.
***
Satu jam kemudian aku langsung ke kafe kesuakaan ku dan riri. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya orang yang aku tunggu datang. Aku langsung memeluknya dan meneteskan air mata.
“Nda kamu kenapa kok nangis gitu, kamu ada masalah apa ?”. aku melepas pelukan itu.
“Ri, aku harus gimana ?”.
“Tunggu Nda, kamu tenangin dulu, ceritain pelan-pelan. Kalo keadaan mu gini aku malah ga paham nda, nih minum dulu”. sambil menyodorkan minuman.
Aku meminumnya seteguk. “Gini ri, rendi nyatain perasaannya kepadaku, dia memberiku kejutan pas kemarin liburan, aku terharu banget”.
“Terus, kamu terima, ato kamu apain?”.
“aku menolaknya, tapi dia memberiku waktu, Sebenarnya aku ada perasaan juga sama dia, tapi aku takut kalau dia sakit hati”.
“Emang kenapa nda?, kalau kamu memang cinta ya kamu terima aja”.
“Kamu tahu kan ri, aku setengah hati sama profesi itu, aku takut nanti nyakitin rendi kalau aku tidak menerima profesinya”.
“Nda, kamu cinta sama rendi kan, terima dia, kalau emang dia beneran cinta sama kamu pasti dia menerima kenyataan”.
“Emm... ya sudah ri, aku ingin bertemu rendi besok, doain ya semoga urusan hatiku bisa selesai. Makasih banget ri”.
“Iya nda,sama-sama. Sekarang kamu tidak boleh nangis lagi, senyum dong”. Akupun tersenyum sambil merangkul riri.
***
Malam ini pun aku memberanikan diri untuk mengirim pesan ke rendi, kalau aku ingin bertemu besok.
“Ren, aku ingin ketemu besok sore di taman biasa”.
Tak lama kemudian ada balasan masuk
“Iya nda, aku tunggu. Aku tidak maksa kamu”. Balasan dari rendi. Aku hanya membacanya tanpa membalasnya lagi.
Aku berfikir apa yang harus ku katakan, aku galau dengan pilihan antara menerima dan tidak, tapi aku yakin pilihan hati nurani ku pasti baik.
***
Pagi – siang terasa singkat, sore sudah di depan mata. Aku bersiap untuk menemui rendi.
Aku berjalan menyusuri taman, aku melihat seseorang sedang duduk di tengah taman. Akupun menghampirinya.
“Ren”. Aku mengalihkan pandangannya yang sedang bermain ponsel.
“Nda, duduk gih”. Dia menyuruhku duduk di sampingnya.
“Ren, aku mau bicarain yang kemari”. Aku merasa gugup di depan rendi, canggung rasanya, biasanya canda tawa dan berantem, tapi hari ini berbeda.
“Iya nda, santai aja. Omongin sejujur-jujurnya, aku akan nerima kok”.
“Ren, sebenarnya aku juga ada perasaan sama kamu, semenjak aku mulai akrab sama kamu, tapi itu aku rahasiain karena ada banyak faktor juga, sebenarnya kemarin aku mau menerima mu, tapi aku takut kamu sakit hati dan tidak menerima ku”.
“Maksudnya gimana nda, bukanya cinta itu menerima apa adanya, pasti aku menerimanya kok”.
“Kamu pasti bakal sakit hati ren, kalau aku jadian sama kamu, karena banyak syarat dariku”.
“Emang apa nda, kamu langsung to the poin aja”.
“Aku menerima cinta kamu, tapi aku tidak menerima profesimu, kamu tahu kan”.
“Oh... itu, aku sudah memikirkan itu sebelum aku menembakmu nda, pasti kamu ga bakal nerima karena profesiku, mungkin memang menyakitkan tapi ketika kita berdua bisa meminimalisirnya pasti kita bakal bahagia tanpa memikirkan kebencian itu”.
“Apa kamu menerima itu ren?”
“Iya nda, kalau itu membuat kita bahagia, aku akan menyembunyikan profesiku di hadapan kamu”.
“apa kamu tidak takut sakit hati, kalau aku meminta itu padamu?”.
“Sakit hati pasti berlalu, bahagia pasti kan datang”.
“Aku boleh minta satu hal lagi?”.
“Apa itu nda?”
“Aku ingin kita seperti hari kemrin, aku kalau gini canggung. Aku ingin seperti kemarin kita penuh canda tawa, berantem dan lain sebagainya. hal itulah yang membuatku nyaman sama kamu ren”.
“Iya nda, yang aku inginkan juga seperti itu, bisa melihat kamu tertawa, kesal, marah dan satu lagi manja”.
“Kamu mulai deh ren”. Aku menepuk pundaknya dan tertawa bersama.
“Nda nih aku punya sesuatu buat kamu, kan kemarin aku udah janji mau ngasih kamu hadiah, nih kamu pakek ya”. Dia menarik tanganku dan memasangkan gelang.
“Ren, maksudnya ini apa?”
“Ini tanda kalau kita ada suatu ikatan. Ini tertulis inisial nama ku dan namamu, tolong dijaga ya”.
“Makasih ren, tolong jaga hatimu juga ya ren, aku nitip hatiku ke kamu”.
Dia memelukku dengan erat. Aku berbisik di lirih, “Ren, lepasin ga enak di lihat orang”. Rendi spontan melepaskanku. Aku menikmati sore ini dengan penuh senyuman.
Aku merasa hari ini hal yang bahagia dalam hidupku, kebaikan rendi membuatku terharu. Rendi lebih memikirkan orang lain dari pada dirinya, dia lebih memikirkan kebahagiaanku dari pada dirinya sendiri, aku bersyukur bisa kenal dia dan kini aku bersamanya.
Aku tersenyum sendiri apabila mengingat hal itu semua.
***
Malam ini membuat ku bahagia, rendi seperti biasa dia membuatku tertawa dan berantem seperti biasa lewat telfon.  Tapi aku masih memikirkan sat hal, dalam hati aku berkata “apa ibunya rendi bakal menerimaku sebagai pacarnya rendi ?”

&&&&
*Kasih komen dong, menurutmu tentang jadiannya rendi sama Nda ?  kalau kamu jadi Rendi apa kamu menerima syarat dari Nda?
* Maaf ya sebelumnya, untuk empat hari kedepan aku belum bisa ngepost yang 43 karena masih ada kegiatan di luar dan belom ada inspirasi. Jadi mohon bersabar ya.
*Maaf maaf maaf.
* Komen dan Vote aku tunggu. Love you all 😙😙

Me Vs DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang