Entah dari kapan aku mulai memandanginya. Saat aku tak sengaja melihat matanya berbinar memandang ke langit senja. Sejak saat itu aku mulai mendekatinya.
"Vi. Kamu pulang duluan aja, aku ada rapat organisasi."
"Rapat lagi?"
"Emm."
"Yaudah deh."
Aku tersenyum mengiringi kepulangan pacarku.
Jujur saja rapat hanya alasan agar aku bisa bertemu dengannya setiap hari. Aku memang egois, menyukai gadis lain saat aku sudah punya pacar.
Aku memang pacar Sivia tapi kami jadian tanpa cinta. Bukan kami, tapi aku. Aku menerima pernyataan cinta Via tanpa pikir panjang. Saat itu aku memang sedang tak jatuh cinta. Bahkan dengan gadis yang aku sukai saat ini.
Aku dan gadis ini rekan satu organisasi. Kita cukup dekat karena kita sama-sama ditunjuk sebagai bendahara. Sejak saat itu aku banyak mengobrol dengannya. Bahkan jika aku ada masalah dengan Via, dia lah orang pertama yang tahu.
"Loh kok di sini? Kan nggak ada rapat."
Gadis itu datang 10 menit setelah aku tiba di markas.
"Emang nggak boleh? Kan aku anggota organisasi ini."
"Nggak apa-apa sih Vin. Heran aja kamu akhir-akhir ini jadi sering ke sini. Padahal dulu aja disuruh rapat harus diseret dulu."
Gadis itu memamerkan deretan gigi yang rapi dipagari.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Bagiku hanya melihat wajahnya sudah cukup membuatku senang. Dia juga tak berusaha mengajakku bicara. Dan waktu kami habiskan hanya dengan diam.
Bressss
"Yah ujan."
Raut wajahnya berubah masam. Aku mendongak memandang wajahnya yang selalu entah mengapa selalu terlihat cantik.
Aku tersenyum. Ini lah yang ku tunggu. Tak kau lihatkah wajahku juga masam sepanjang diam tadi?
Aku bosan menunduk berpura-pura sibuk dengan duniaku, sedangkan dari tadi aku sibuk mencuri pandang ke arahnya. Menimang-nimang alasan untuk mengobrol dengannya atau bahkan hanya menatap wajahnya barang sebentar.
"Kenapa?"
Hanya kata itu yang dapat meluncur dari mulutku.
"Hujan."
Gadis itu kembali memperlihatkan raut wajah yang tak enak. Alisnya bertautan dan mulutnya menelucur lucu. Aku tersenyum kembali.
"Terus kenapa? Cuma hujan."
Aku tersenyum lagi. Aku tak bisa menahan senyumku kala bersamanya.
"Kok kenapa? Kita kan jadi nggak bisa pulang, lagian aku jadi nggak bisa liat awan sore-sore."
"Kan mendung juga awan."
"Iya, kalo warnanya nggak abu-abu semua sih bagus. Kalo aku bisa mandangin tanpa terhalang hujan sih bagus."
Aku diam sejenak.
"Kenapa sih kamu suka awan.?"
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul. Pertanyaan yang dari dulu ingin ku tanyakan padanya.
"Karena menyenangkan."
"Ha? Itu aja?"
"Awan itu hiburan yang gratis."
Dia tersenyum sebentar. Kemudian melanjutkan penjelasannya. Sepertinya dia sadar aku tak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Saat aku sedih, marah, kecewa, sendirian. Awan yang ngehibur aku. Aku bisa bayangin bentuk-bentuk awan sesuai imajinasiku. Nggak harus ngebayangin sih, kadang aku juga cuma nikmatin keindahannya. Bias cahaya yang berpendar cantik saat bertubrukan dengan awan serta bertumbuk dengan warna langit membuat hatiku tenang. Seketika moodku yang jelek jadi berubah senang."
Dia berpindah duduk di depan pintu sambil memandang langit dengan mendung yang setia bergelayut di sana, meninggalkanku yang masih termenung mencerna kata-katanya.
"Hei kenapa bias langitnya bertumbuk dan bertabrakan? Apa di sana tak ada polantas?"
Aku menirukan gaya bicaranya saat tadi berceloteh tentang awan. Entah dramatis, puitis, sarkatis, atau melankolis. Aku tak tahu.
Aku tahu ini sama sekali tak lucu. Aku hanya bercanda, berusaha memecah keheningan. Dia hanya melirikku dan melemparku dengan kertas. Lagi kita hanya diam.
"Shil. Udah reda. Yuk pulang!"
Kalau tak karena hari sudah mulai gelap, mungkin aku akan tetap tinggal. Tak peduli hujan atau terang.
"Duluan aja. Aku masih pengen liat awan."
"Aku temenin deh."
Aku duduk di sebelahnya dan ikut menatap awan. Aku mulai menyukainya, menyukai awan dan hujan dalam waktu bersamaan.
"Aku lebih suka ujan dari pada awan."
Shilla menengok. Wajahnya terlihat bingung.
"Karena hujan ngasih aku kesempatan buat liat wajah kamu lebih lama dari biasanya."
Aku lihat air mukanya berubah. Entah apa di benaknya, aku tak bisa membaca.
"Vin, aku pulang duluan ya? Dah."
Dia berlari meninggalkanku.
Sejak saat itu kita jarang bertemu. Dia tak pernah muncul di markas. Hanya rapat satu-satunya alasan kedatangannya.
Aku tak pernah lagi bisa memandangnya. Dia selalu menghindar, berpaling setiap aku ingin memandang wajahnya.
Setelah itu aku sering memandang awan. Entah untuk merubah mood seperti katanya dulu atau hanya ingin melepas rindu padanya.
Sivia bergelayut di sampingku, berceloteh sedari tadi yang tak ku dengarkan. Walau begitu, samar-samar aku masih mendengar pertanyaannya di tengah lamunanku.
"Vin. Kok kamu jadi suka liatin awan sih?"
Aku berpaling sejenak dan tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.
"Karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mengenang gadisku, cinta pertamaku, yang bukan pacarku, dan itu bukan kamu."
Aku hanya bisa membatin, tak mau menambah sakit hati yang telah ku ciptakan tanpa ia sadari.
Aku memandang Sivia lagi sebentar. Sebersit rasa bersalah muncul dalam benakku.
Aku telah berkhianat. Penghianatan yang terbayar dengan pahitnya ditinggalkan tanpa alasan. Yang bahkan dengan keji tak memberiku kesempatan untuk memulainya lebih dahulu.
*cerita yang aku buat sejak lama. Alasan posting: biar wattpadku nggak terlalu sepi karena kosong tak berisi. Aku bukan penulis dan jujur aja aku nggak suka menulis. Jadi wajar kalau tulisanku nggak bagus. Bahkan buat judul pun aku bingung #eeh #curhat
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan dan Gadis Kenangan
Teen FictionAwan hanya sebuah media untuk meredam sedikit rasa rinduku kepada gadis yang tak bisa aku miliki- Alvin