Bagian 1 : Hujan dan Pertemuan

972 60 2
                                    

Eternal Snow

Bagian 1 : Hujan dan Pertemuan

By : obikyo

All right reserved

.


Gumpalan gelap membentang diatas langit menutup kota. Bergulung lambat dan tebal tanpa celah sinar hangat pusat tata surya bisa mencium kerak bumi berlapis aspal dan fondasi rumah. Tetesan air biji jagung datang bergerombol, jatuh mengeroyok bumi dari langit diiringi langkah terburu manusia di tepi jalan menutup kepala dengan latex melebar disangga stainless bernama payung. Akhir-akhir ini Jerman basah kuyup di tengah musim panas. Tak bersimpati pada makhluk yang gundah di tengah rutinitas kerja dan sekolah. Sama dengan pria yang kusyuk menatap langit ditemani cangkir teh pahit di tangan. Manik elang obsidian bergulir terpaku tiap tetes air hujan di kaca sirat akan rindu, otot wajah lemas dan gurat-gurat stress hinggap di wajahnya dalam kurun waktu dua minggu ini. Acuh saat pintu dibalik punggung terbuka dan ditutup kembali bersamaan pria pirang menghentikan langkah di samping meja.

"Dua hari ini hujan berturut-turut, padahal terik tadi tiga puluh tujuh derajat"

Pernyataannya ditanggapi dehaman rendah, topeng datar dipahat sok tegar. Sang surai hitam menurunkan cangkir keramik diatas meja kaca. Mata kembali pada lembar kerja tertumpuk rapi walau pikirannya pergi meninggalkan raga. Sepuluh menit tak ada pergerakan, hanya deru nafas tenang ditemani kontraksi katup pemompa dan arteri. Tak masalah pada diam yang familiar. Memang sudah bawaan lahir keduanya irit bicara dan sayang pita suara. Levi Ackerman pemilik iris dan helai kelam bercumbu lembaran dokumen saham ditemani Erwin Smith pengusaha merangkap sobat karib karir dan relasi pertemanan.

"Levi, kau yakin menjual saham mu di Maria?"

"Tentu saja"

"Ku pikir itu aset penting perusahaanmu setelah Trost"

"Memang. Bukan menjual, bisa dibilang menukar dengan kota Sina. Keuntunganku bisa naik tiga puluh persen dari total penjualan di Maria"

Otak lelah begitu juga ototnya. Tubuh ditumpu pada kedua lutut sembari tangan sibuk memasukkan lembar ke dalam tas hitam.

"Aku tau kau datang bukan tanpa alasan. Ku beri 5 menit sebelum aku melangkah keluar dari sini"

Erwin memutar tiga puluh derajat kepalanya cukup untuk melirik pria lain dari sudut mata.

"Tentang hal yang kau amanahkan padaku,"

Jeda disisipi diam yang kurang menyenangkan, Levi berdiri
memaku pandang pada tas hitam diatas meja kerja.

"Kau yakin? Maksudku, Levi-"

"Tidak. Aku sudah bulat pada keputusan. Dan Erwin,"

Sejenak arangnya melembut sebelum kembali menyipit tegas. Erwin berani bersumpah ada setitik kilat lara disana.

"Ini bukan perintah, anggap saja permohonan.. Sebagai seorang sahabat, dan sesama pria dari masa dulu"

.

.

Helai kayu manis berkibar lembut ditiup angin. Tubuh ramping pohon jati itu bergidik semu pasca terpaan menyeret hawa dingin hujan lebat diluar pintu. Semestinya shift kerja selesai lima menit lalu tapi alam tidak mengijinkannya kali ini. Mau tak mau harus mau ia memilih bercumbu lagi dengan pesanan dan kasir daripada melemaskan otot berjam-jam sia-sia. Gemerincing riuh tanda pintu dibuka.

Eternal SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang