Enam

2 0 0
                                    

Alex berkali-kali mengerling arloji. Jam sepuluh malam dan apartemen Jill masih gelap. Tandanya gadis itu belum pulang. Entah kenapa hal itu membuat Alex merasa sedemikian terusik..

'Alex.'

Alex memberengut ketika suara Magnus kembali terdengar. Kali ini, berdebat dengan Magnus adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya di muka bumi ini. Setelah semua spesies makhluk hidup musnah dan hanya menyisakan dirinya berdua saja dengan Magnus.

'Kasus yang kemarin semakin seru.'

Alex mengerutkan dahi. Kasus yang mana? Dia lalu mengedikkan bahu,tak acuh. Dia malah berjalan santai menuju balkon. Tangannya menggenggam kopi dingin dalam kemasan kaleng yang bagian luarnya basah karena berembun seusai mendekam lama di dalam lemari pendingin. Alex menatap lurus ke balkon seberang yang masih saja gelap.

'Alex, apa kau mendengarku?'

"Dengar. Aku dengar. Kenapa sih?" Alex menggerutu."Tidak bisakah kau tidak menggangguku satu menit saja?" Alex mendengus kesal. Magnus selalu punya cara untuk mengusik kesenangannya. Lain kali, dia akan meminta cuti lalu kabur ke pantai pribadi di Swahili. Tak urung, Alex menanggapi dengan asal-asalan, "Ya, kenapa?"

Magnus bercerita dengan penuh semangat. Bagaimana si Obelix berbalik menyewa jasanya untuk membuntuti istrinya ke mana pun si nyonya besar pergi. Ujung-ujungnya, pasangan tersebut bertengkar soal harta gono-gini.

Alex mencibir."Aku tak tertarik bermain-main dengan misi perselingkuhan seperti itu."

Apartemen Jill masih gelap. Didorong rasa kuatir yang entah mengapa tiba-tiba saja menyelinap, Alex memutuskan akan menelepon gadis itu. Namun, dia urung melakukannya ketika melihat Lexus hitam berhenti di depan gedung. Alex menyipitkan mata. Dia mengenali mobil itu. Mulanya, Marco keluar dari pintu pengemudi. Lelaki itu berjalan memutar ke samping, membuka pintu di sisi penumpang. Lalu, Jill muncul dari dalam mobil. Gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat bertemu dengan Alex pagi tadi. Meski demikian, pesonanya tak luntur begitu saja.

Marco terlihat mendekati Jill. Salah satu tangannya menyentuh pipi Jill dan menyelipkan sejumput rambut gadis itu di belakang telinga. Selanjutnya, lelaki itu mengecup pipi Jill dengan cepat. Alex tak dapat melihat bagaimana reaksi Jill karena posisi gadis itu membelakangi Alex.

Hanya senyuman Marco yang dapat dilihatnya dengan jelas. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hati Alex terbakar cemburu.

Alex melemparkan kaleng minumannya begitu saja. Sisa cairan berwarna pekat di dalamnya keluar dan menggenangi lantai di dekat kakinya. Dia berkacak pinggang, menyugar rambut. Menyebut seribu satu macam sumpah serapah yang entah ditujukan pada siapa.

Dia merasa luar biasa kesal.

Alex masuk ke dalam apartemen, berjalan menjauh dari balkon. Membanting tubuhnya ke atas kasur. Mencoba memejamkan mata namun tak berhasil.

Marco mencium Jill!

Sial!

Alex bangun. Dia memutuskan melakukan aktivitas fisik untuk mengusir pikiran-pikiran buruk dalam kepalanya. Alex turun dari ranjang, menumpukan tubuhnya pada kedua lengannya yang ditekuk di atas lantai. Tubuhnya lurus memanjang, dan dia melakukan gerakan push up dengan semangat yang begitu luar biasa dan tidak dapat dibendung. Seolah-olah seluruh cadangan energi yang dipunyai berlebih dan harus dihabiskannya saat itu juga. Tetapi apa yang dilakukannya gagal total, bayangan itu terus saja menghantuinya.

Pada hitungan ke duaratus, Alex merebahkan tubuhnya di atas lantai kamarnya yang polos tak dilapisi oleh apapun. Dingin. Sensasi itu menjalar ke seluruh tubuh. Hingga membuat Alex merasa lengket oleh keringat yang melekat.

'Alex. Kau mendengarkanku tidak?'

Tidak.

Alex menatap salah satu sisi dinding kamarnya yang ditempeli foto Jill dalam beberapa pose. Foto ketika gadis itu berada di balkon apartemen, ketika sedang menunggu bis di pagi hari, ketika sedang membawa kaleng berisi bunga di depan Bloem's. Alex mencuri semua foto itu diam-diam ketika sedang membuntuti Jill. Di bawah deretan foto, ada selembar kertas berwarna putih yang berisi tulisan tentang aktivitas Jill sehari-hari.

Kumohon, Magnus. Diamlah.

Alex melepas alat komunikasinya dengan Magnus dan melemparkannya ke atas kasur. Sebagai gantinya, dia bangkit dan menekan nomor gadis di apartemen seberang. Agak lama, Jill baru menjawab teleponnya.

'Ya?'

Sial! Alex merasa dirinya mendadak berubah gugup hanya dengan mendengar suara gadis itu melalui telepon. "Hai, Jill. Ini Alex. Apa kau ada di rumah?"

'Hai, Alex—,' Ada jeda sesaat,'Aku baru saja pulang.'

Alex berjalan ke balkon. Kelegaan menjalarinya ketika melihat lampu apartemen gadis itu menyala."Aku hanya mengecek saja. Apakah nomor yang kau beri padaku tadi pagi benar-benar milikmu." Mendengar Alex berkata demikian, gadis itu hanya tertawa. Membuat hati Alex dijalari perasaan hangat yang aneh.

Alex berusaha rileks. Dia menumpukan tubuhnya di atas lengannya yang terlipat di atas besi pengaman balkon. Punggungnya melengkung ke depan. Sejurus dengan tatapannya yang juga lurus tertuju ke balkon apartemen di seberang.

"Apakah besok siang kau ada acara?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Alex. Lalu, buru-buru diralatnya jika gadis itu menolak. Setidaknya, dia tak perlu terlalu malu oleh penolakan Jill."Kalau kau sedang sibuk,tidak apa-apa. Mungkin lain kali saja."

'Tidak. Aku tidak sibuk.'

Alex melongo. Gadis beraroma musim semi itu menerima ajakannya begitu saja? Sebelum berubah pikiran, Alex buru-buru menukas,"Baiklah. Kujemput di Bloem's."

Jill tertawa kecil. Samar-samar Alex mendengar gadis itu mengiakan tanpa perlu bertanya lagi.

Dari tempatnya berdiri, Alex dapat melihat Jill berjalan menuju kamar. Ponselnya masih tertempel di salah satu telinganya. Seperti biasa, ruangan kamar berubah terang ketika Jill masuk. Alex tertegun. Adegan ini sangat diakrabinya. Benar saja, Jill membuka pintu lemari, merunduk seolah mencari-cari sesuatu.

"Jill—," Alex hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya tersendat. Sekali lagi, Alex melihat gadis itu melepas pakaiannya. Kali ini, rambutnya masih tergelung. Hanya beberapa jumput rambut yang terurai, menjuntai bebas ke samping bahunya yang polos. Membuat gadis itu semakin terlihat menggoda. Jantung Alex berdegup kencang. Selanjutnya, dia tak dapat menahan diri untuk berkata,"Ke— kenapa sih ka—kau suka sekali ganti baju tepat di depan jendela?"

'A—apa?' Jill terdengar terkejut.'Alex? Kau dimana?'

Bagai disengat listrik, Alex sontak menyadari kesalahannya. Dia langsung membalikkan badan. Memerosotkan tubuhnya ke bawah agar sosoknya terlindung dari pandangan Jill.

'Alex, kau dimana?' Nada suara gadis itu menuntut jawaban. Sebelum Jill kembali memburu dengan pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang, Alex mematikan teleponnya dengan gegas. Dia memukul-mukul dahinya dengan genggaman tangan. Pelan dan berulang-ulang.

Dasar bodoh. Bodoh.

Kali ini, wajahnya semakin memerah. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang