Bagian Tak Berjudul

15 1 0
                                    

Hari ini jangan lupa rapat. Wajib.

Tempat di rumah saya.

Satu pesan masuk dipagi buta yang sukses menghancurkan hari mingguku, selalu seperti itu. Aku tau ini juga kesalahanku sendiri karena menyanggupi menjadi Dewan Kerja Ranting ditempat aku tinggal. Secepat pesan itu masuk, secepat semangatku terhisap habis untuk menyibak selimut tebal yang serasa punya magnet kasat mata.

Baiklah sebelum kita berbasa-basi lebih jauh lagi, sebaiknya aku perkenalkan diriku dulu dan mengapa pesan itu sangat menganggu. Jadi, namaku-

Cahyaning Ratri Christiana! Anak wedok nak isuk aja ngepluk! Teriak bunda lebih keras dari yang pertama.

Nah, itulah namaku. Tapi simpan dulu spekulasi dalam pikiran kalian, dan dengar penjelasanku sebelum kalian membuat praduga yang salah kaprah. Sebagian dari kalian mungkin berpikir aku terlahir dari keluarga Kristiani atau Katholik bila mendengar namaku, bukan hanya kalian, bahkan semua guru yang membaca nama itu di hari pertama aku sekolah sejak Sekolah Dasar sampai aku menginjak Semester dua di salah satu Universitas terbaik di Kota Surakarta aku mengalami perkara yang sama.

Aku seorang muslim, sekali lahi aku tegaskan bahwa aku beragama Islam. Tapi aku berteman dengan semua orang tanpa memandang ras, golongan, maupun agama mereka. Dalam konsep hidupku semakin banyak teman semakin banyak gratisan. Oke bukan itu yang penting dan tidak hanya itu yang bisa kalian dapat dari banyak teman. Tapi biar aku sedikit berbagi bagaimana namaku terdengar -well, seorang kristianai.

Keluarga dari ibu memerupakan pemeluk agama islam, bahkan pamanku -kakak dari ibuku-merupakan pemuka agama ditempat aku tinggal, tapi adik-adik dari ibuku bukanlah pemeluk agama yang taat -biarlah itu menjadi urusan mereka-dan desa tempat ibu tinggal sebagian besar penduduknya beragamakan islam. Beralih pada keluarga dari pihak ayahku, disinilah semua itu berawal. Nenek-kakekaku dari pihak ayah merupakan pemeluk Kristiani, bahkan kakek seorang pendeta, tapi adik dari kakek merupakan seorang ulama -aku tidak terlalu paham bagaimana awal dari itu semua-dan ayah adalah anak dari tiga bersudara yang kesemuanya laki-laki, ayah yang merupakan anak pertama dengan didikan yang keras dari kakek dan nenek harus mampu ikut serta dalam mencukupi kebutuhan adik-adiknya meski keluarga ayah terbilang dalam keluarga kaya. Kecekatan ayah dalam bekerja membuat ia banyak berbaur dan membantu termasuk memandikan kuda milik paman, mencarikannya makan, tanpa mengesampingkan tugas yang dia emban dari kakek. Bila pagi hari ayah pergi ke gereja bersama-sama untuk berdoa, maka malamnya ayah mencuri dengar paman membaca Al-Quran.

Dan untuk cerita lebih lanjutnya biarlah itu menjadi rahasia, aku punya hak untuk tidak berbagi pada kalian. Bila kalian menginginkanya, datanglah kemari dan aku akan senang hati berkisah ditemani secangkir teh hangat, bahkan sehari penuh pun tak akan cukup untuk menyudahinya. Aku menghabiskan lima tahun masa kecilku di komplek perumahan didaerah Semarang. Aku mengalami masa kecil yang unik dan berbeda, saat ayah dan ibuku mengajari anak-anaknya bagaimana mendirikan sholat dan berdoa diwaktu senggang mereka bekerja, kakek dan nenekku mengajak jalan-jalan ke gereja, membelikan banyak coklat dan gula-gula, mengajari lagu-lagu rohani yang aku tak mengerti artinya. Bila hari raya aku merayakanya dengan keluarga besar ibu, dan berkeliling desa untuk singgah di rumah-rumah tetangga seperti anak-anak sebayaku. Tapi bila Natal tiba, ayah dan ibu meminta anak-anaknya tinggal di Semarang barang dua atau tiga hari untuk menyenangkan hati kakek dan nenek -katanya.

Aku lahir di Semarang, tepatnya di Rumah Sakit Santa Maria -kabar terakhir yang aku dengar nama rumah sakit itu telah diganti-tepat saat matahari kembali keperaduan, ada yang menarik dari proses kelahiranku. Saat itu rumah sakit Santa Maria adalah rumah sakit yang paling cepat dijangkau dari tempat tinggal ayah, beruntung rumah sakit tersebut beroprasi 24 jam. Dan tepat saat seorang bayi perempuan yang begitu cantik berhasil dikeluarkan dari dinding rahim tanpa oprasi, bayi itu begitu tenang tanpa tangisan. Nafasnya mengalun teratur seakan dia menikmati tidurnya dan tak ingin terlalu cepat memandang dunia.

Hingga seorang suster datang, mengoreskan kulit padi pada tubuh bagian kiri bayi tersebut, menyobek lapisan transparan seperti plastik bening yang membungkusnya, barulah sebuah tangis bayi pecah dalam kegemingan malam yang sembat menengang. Dan suster itu bernama Christiana, seorang wanita yang sudah lama mendamba anak perempuan. Sebagai hadiah atas jasanya, ayahku mengambil namanya untuk dijadikan bagian pada namaku. Sedangkan mana awal dan tengahku -Cahyaning Rarti-berarti cahaya dimalam hari. Seperti kelahiranku yang membawa kebahagiaan haru setelah ketegangan yang mencengkam di rumah sakit Santa Maria. Tangisan bayi perempuan itu bagai cahaya yang mengantikan bulan yang tak datang.

Pintu kamarku dibuka kasar, Yaampun punya anak cewek satu bangun tidur susahnya masyaAlloh! Rezekinya keburu dipatok ayam! bunda masuk dan menarik selimutku, mentang-mentang lagi gak sholat subuh! Ayo bangun, mandi, sarapan, terus anterin bunda ke pasar! omelnya mematikan lampu dan menyibak tirai jendela.

Baik, sebelum ini berubah jadi cerita Maling Kundang atau Cinderella dan ibu tiri yang jahat. Sebaiknya aku bangun dan bersiap.

Dan sebaiknya pula kalian tak berhenti membaca sampai disini, karena ada kisah yang harus kalain dengar untuk menjadi sebuah pelajaran, bahwa Tuhan punya skenario yang lebih indah dari sekedar rencana yang kita canangkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RetorikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang