23. Berdamai Dengan Takdir

1.2K 201 32
                                    


Son Eunbin kerap berkunjung ke rumah Jongdae, jaraknya tidak begitu jauh dari panti. Membawa segudang senyum, sekeranjang harapan dan serantang makanan yang dia buat sendiri. Eunbin sudah lupa sejak kapan dia dekat dengan Jongdae. Eunbin cuma ingat Jongdae sering mengantarnya pulang setelah membantu di kedai ramen, dan mengajaknya jalan-jalan ke pantai saat perayaan musim panas. Eunbin senang berbagi cerita pada Jongdae, pria ramah yang hobi tersenyum dan selalu berpikir positif.

"Apa kau sudah makan siang?" Eunbin mulai bicara, dia mengangkat rantang makanan yang dibawanya hingga sejajar dagu. "Aku masak sup kentang, japchae dan kimchi."

"Sebenarnya sudah, tapi makan lagi juga tidak apa-apa kok," tambah Jongdae cepat-cepat. "Masih muat." Jongdae tersenyum lalu mengusap perutnya.

"Pacaran sejak kapan?"

Eunbin terkesiap, rantang yang dibawanya hampir saja terlepas andai Jongdae tidak sigap mengambil alih. Entah sejak kapan pria dengan dua gigi depan yang besar itu sudah berdiri di samping Eunbin, dia ikut-ikutan memasang tampang terkejut tapi terlihat merana, memandang Eunbin dan Jongdae bergantian.

"Kim Minseok, kapan kau bisa datang seperti manusia?!" Eunbin geram, Minseok tidak peduli.

"Tidak akan pernah, aku keturunan Gumiho." Jawab Minseok acuh, seraya menarik lengan Jongdae ke balai bambu di beranda depan rumah Jongdae yang asri. Eunbin kesal, dia ditinggal. Tanpa perlu minta izin, Minseok membuka satu persatu bagian rantang dan mencicipi masakan Eunbin penuh suka cita.

"Tidak ada nasinya?" katanya, sampil menyomot kentang dengan dua jari. Minseok memilih meninggalkan Eunbin yang seperti korban hipnotis itu ke dalam rumah, untuk mengambil dua piring nasi dan sumpit. Sementara Jongdae cuma senyum-senyum, sambil merapikan rambut Eunbin yang berantakan dengan jari.

"Ini." Jongdae mengangsurkan sumpit yang diberikan Minseok kepadanya pada Eunbin, lalu dia sendiri mulai mencicipi japchae.

"Minggu lalu ada orang yang terlihat sangat kaya datang ke kedai." Minseok berhenti makan, dia menggigit ujung sumpit di antara bibirnya. Pipinya kembung, maniknya yang bulat dan besar mengerjab tiga kali. "Kalau tidak salah namanya Kim Suho, Orang Kaya nomor satu di negeri ini. Aku pernah liat profilnya di berita online. "

Eunbin seketika menahan tangannya untuk menyuap kentang, dia melirik Minseok yang kembali bersuara.

"Mereka membicarakan sesuatu, tidak begitu jelas, seperti rekayasa atau sesuatu yang direkayasa. Memangnya apa yang bisa direkasaya oleh dua pria ya? Jongdae, apa kita pernah merekayasa sesuatu, berdua?"

Hubungan Minseok dan Jongdae terjalin baik dan akrab, sahabat rasa saudara, semenjak mereka masih sama-sama sekolah. Dan Eunbin bertemu mereka setelah keduanya bekerja pada Chanyeol, tapi semenjak Eunbin dapat pekerjaan sebagai custumer service di mall, mereka jadi jarang bertemu selain di liburan akhir pekan (itu juga kalau Eunbin libur kerja, libur karyawan mall tidak tetap).

"Kau menguping?" Eunbin hafal kebiasaan Minseok. Selain sok tahu, hobi marah-marah dan mengeluh, Minseok juga suka mendengarkan obrolan orang lain tanpa izin.

"Bukan menguping, tapi tidak sengaja kedengaran di telingaku." Satu lagi, Minseok pandai sekali mengelak, padahal kesalahannya jelas-jelas sudah terlihat. "Yang pasti, Chanyeol tidak suka orang kaya itu datang ke kedai." Minseok melanjutkan kunyahannya, lalu kembali bicara setelah semua makanan melewati kerongkongan.

"Apa mungkin orang kaya itu menolak perasaan Chanyeol—aauuww...." kalimat Minseok tertahan, sumpit Jongdae baru saja mendarat di kepalanya.

"Bisakah kau berpikir yang lebih rasional?"

"Kan cuma kemungkinan? Ya ampun, haruskah kau memukul kepalaku sekeras itu?" Minseok mengusap-ngusap kepalanya. "Kalau begini terus aku bisa semakin bodoh," gumam Minseok sebelum melanjutkan makannya.

Secret of The SwainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang