Saat aku sedang menyetorkan hafalan surah pendekku kepada kak Adi, mbok Neni mengetuk pintu kamar kak Adi, hingga mau tidak mau aku harus menghentikan bacaan surahku.
"Ada apa mbok?" tanya Kak Adi, ia langsung beranjak dari hadapanku, menghampiri si mbok Neni yang masih berdiri di ambang pintu.
"Maaf Den, di bawah ada non Laura, katanya mau ketemu sama non Shinta."
"Di suruh nunggu di kamar aja mbok, bilang aku lagi ngaji di kamar kak Adi, bentar lagi beres. Tanggung nih mbok kalau di tunda yang ada besok ngulang lagi hafalannya," sahutku.
Kak Adi langsung mendelik marah padaku, "Kalau bicara dengan orang yang lebih tua sopanlah, Shinta."
"Maaf kak, mbok maaf yah tolong bilang sama Laura tunggu saja aku di kamar," ucapku lebih sopan.
"Tapi non..,"
"Tapi kenapa mbok?" tanya kak Adi mendahului ucapanku.
"Non Laura di bawah nangis."
Mendengar Laura menangis aku langsung beranjak dari dudukku, tanpa permisi aku langsung meninggalkan kak Adi dan Mbok Neni.
Ternyata yang di katakan si mbok benar adanya, Laura kini tengah terisak pelan, tangannya memeluk ransel sekolahnya dan ternyata ia masih menggunakan baju sekolah, padahal ini sudah jam empat sore dan sekolah telah berakhir dari jam sebelas siang. Kakiku terasa mati rasa saat aku melihat pipi Laura yang terlihat merah dan sedikit membiru. Apa yang terjadi pada Laura?
Sadar kalau kini aku telah berada di dekatnya Laura langsung menghentikan tangisnya, tangannya menyeka air mata yang membasahi pipinya.
"Maaf yah Shi aku ganggu waktu kamu," ucap Laura lirih, ia memaksakan sebuah senyum tipis kepadaku, "bolehkah kalau malam ini aku menginap di rumahmu?"
"Tentu boleh," jawabku cepat, "Ayo Ra kita ke kamar!" ajakku.
Laura mulai beranjak dari duduknya, ia berjalan dengan sangat pelan saat menaiki anak tangga rumah.
"Kakimu kenapa, Ra?" tanyaku akhirnya.
"Tadi saat pulang sekolah aku keserempet motor, gara-gara itu kakiku jadi kebentur trotoar," jelas Laura.
Aku langsung sedikit mengangkat rok bagian bawahnya dan menurunkan kaos kaki yang ia kenakan, "Ya ampun Ra, biru banget."
"Nggak apa-apa, Shi. Insya Allah besok juga udah sembuh soalnya tadi pas di jalan udah ada yang bantu urutin."
Saat tiba di kamar dan Laura sudah duduk di atas tempat tidurku, secara tidak sengaja saat Laura melepaskan sweater rajut yang ia gunakan aku melihat tangan Laura yang terluka, tangannya yang biasanya mulus kini di penuhi dengan goresan yang aku jamin pasti karena yangannyapun membentur aspal, dan yang membuat tangisku pecah yaitu saat aku tahu kalau luka itu belum Laura obati, itu terlihat dari darah yang mulai mengering.
"Kenapa kamu nangis, Shi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Laura, aku langsung berlari ke kamar kak Adi, aku meminta kak Adi untuk mengantarkan Laura ke rumah sakit. Awalnya Laura menolak saat aku dan kak Adi hendak membawanya ke rumah sakit. Ia bilang kalau ia tidak apa-apa, tapi aku tetap memaksanya, hingga akhirnya ia setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laura | END
EspiritualUntuk sahabat terbaikku Laura. Yang Mencintai Allah dan Rasulnya melebihi cintanya pada apapun. Yang menjadikan Maryam, Asiyah, Khadijah dan Fatimah sebagai panutan. Yang memakai jilbab untuk berusaha menjadi wanita akhir zaman yang dapat menjaga ke...