Gludak. Pintu kamarku masih didobrak. Gemetar ku tarik selimut menutupi tubuhku yang menggigil ketakutan.
“ Tuhan, selamatkan aku malam ini seperti malam-malam sebelumnya,” ratapku dihati.
Detik-detik seakan berlalu membawa kepingan harapanku, harapan ibu lekas datang dan menghentikan kebejadan lelaki bernama Parno yang kuanggap bapak.
“ Harusnya kamu itu bersyukur aku mau nampung kamu dan anak harammu itu. Mana ada laki-laki yang mau nampung perempuan bunting selain aku !!” teriak Parno pada ibuku saat ibu memergoki kebejadan Parno yang mencoba menodaiku.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir ibu untuk membela dirinya sama persis ketika Parno memaksa ibu untuk melayani teman-teman judinya sebagai bayaran karna ia kalah judi. Sejak saat itu ibu dipaksa menjual diri dan seperti biasa ibu hanya diam tak berkata apapun. Muak, benci, dan takut jadi satu dalam benakku. Namun ibu hanya diam dan sesekali meneteskan airmata tanpa suara isakan.
30 tahun yang lalu…
Ibuku bernama Surti, perawan desa yang sederhana. Sejak bapaknya kepincut dan minggat dengan sinden, Surti kecil harus ikut macul sawah milik juragan sapi yang doyan kawin dan punya banyak gendo’an dikampungnya. Tak ada harta benda berharga yang ditinggalkan bapaknya kecuali hutang pada rentenir kampung yang kelewat besar bunga ketimbang pokoknya. Kehidupan yang sulit membuat ibunya terpaksa menjadi istri simpanan berikutnya. Hidup Surti kecil sedikit lebih beruntung, setidaknya ia tidak harus ikut macul disawah.
Tapi kehidupan Surti remaja tidak seberuntung remaja lain. Beban moral yang ditanggung ibunya sebagai wanita simpanan membuat ibunya sakit-sakitan dan akhirnya mengalami kelumpuhan. Surti remaja tumbuh menjadi perawan yang cukup cantik, sederhana dan tertutup. Ketika ibunya meninggal, Surti dibawa kerumah bapak tirinya untuk dijadikan babu, bukan saja babu rumah tangga tapi juga jadi babu nafsu bejad bapak tirinya. Surti remaja hamil 2 bulan. Untuk menutupi aib sang bapak, Surti remaja dikawinkan dengan Parno, preman kampung yang doyan judi dan perempuan.
Setelah tiga bulan menikah, Bapak tirinya memberikan sejumlah uang dan meminta Parno membawa Surti keluar kampung. Surti ibuku dan Parno bapakku, itu yang ku tahu sejak aku bisa mengenal orang-orang disekitarku. Menikah dengan Parno bagi ibu seperti pepatah lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Tingkah Parno sama bejadnya, hampir setiap malam, Parno membawa pulang perempuan yang berbeda dan menidurinya di kamar ibu.
Sebagai perempuan desa yang serba nerimo, ibu hanya bisa mengelus dada melihat Parno menggumuli perek diranjangnya. Sebagai perempuan desa yang serba nerimo, ibu hanya bisa menunduk saat Parno berteriak-teriak dan memperlakukan ibu seperti babu. Tak pernah sekalipun ku dengar ibu mengeluh dan membantah. Saat mabuk atau saat Parno mendapati ibu memandangi perek-nya tak jarang Parno memukuli ibu seperti layaknya ia memukul sansak tinju. Ibu hanya menangis dan seperti biasa tanpa isakan. Ibu terlalu takut bersuara atau tak mau bersuara, itu tak aku tahu. Bagiku ibu terlalu kuat menerima ini semua.
Setiap pagi ibu mengambil cucian hanya untuk mendapatkan biaya makan dan Parno hanya bisa meminta uang pada ibu untuk berjudi dan jika pun menang, ia lebih suka menghabiskannya dengan perempuan-perempuan nakal yang ia temui dilokalisasi. Sampai suatu malam ia kalah judi dan memaksa ibu untuk menjual diri. Hampir setiap malam ibu dibawa Parno entah kemana dan pulang saat ayam tetangga mulai terjaga. Biasanya Parno pulang bersama ibu. Tapi beberapa minggu terakhir setelah membawa ibu pergi, Parno pulang kembali kerumah. Saat itulah percobaan perkosaan pertama kualami. Dengan sekuat tenaga ku coba melepaskan diri dari pelukan Parno yang sudah kesetanan.
“ Eling pak, Marni anak bapak..” teriakku mencoba menyadarkan Parno. Parno tertawa seakan-akan apa yang aku ucapkan adalah hal yang lucu baginya.
“ Justru aku bapakmu, kamu nggak boleh melawan, harus nurut apa kata bapak !” Jawab Parno dan mulai menciumiku.
Suatu ketika ku tendang selangkangan Parno. Aku berlari keluar rumah dan menginap dirumah tetangga. Aku tak berani pulang sampai ibu menjemput aku pulang. Tak pernah terbayangkan sekalipun bahwa lelaki yang ku anggap bapakku bisa melakukan ini padaku. Setelah saat itu berbagai macam pelecehan dari Parno aku terima, sampai akhirnya ibu mengetahui hal ini. Berkali-kali ibu menyelamatkan aku dari ulah bejad Parno. Tapi tak ada satupun kata-kata keluar dari mulut ibu.
Saat aku menangis, ibu hanya membelai rambutku dan meneteskan airmata, dan lagi-lagi tanpa isakkan. Kebencian dan ketakutanku semakin menggunung pada Parno. Dan satu-satunya tempatku berlindung hanyalah ibu, karna seperti halnya ibu, aku pun tak punya keberanian.
****
Gludak. Pintu kamarku masih didobrak. Gemetar ku tarik selimut menutupi tubuhku yang menggigil ketakutan.
“ Tuhan, selamatkan aku malam ini seperti malam-malam sebelumnya,” ratapku dihati.
Detik-detik seakan berlalu membawa kepingan harapanku, harapan ibu lekas datang dan menghentikan kebejadan lelaki bernama Parno yang harus kuanggap bapak.“ Aaa…” Parno menjerit kesakitan. Dubrakk. Kali ini bukan pintu kamarku yang di dobrak tapi tubuh Parno yang jatuh limbung di atas lantai.
“ Marni..” seseorang memanggil namaku. Suara ibu.
“ Terima kasih, Tuhan “ syukurku di hati. Sedikit gemetar ku putar gagang pintu. Darah berceceran. Parno duduk bersimpuh dikaki ibu dan memegangi pisau yang menancap diperutnya. Ibu menangis tapi kali ini senyum mengembang di bibirnya.
‘ Ibu, bapak…..” ucapku pada ibu. Ada kebingungan dan keterkejutan dibenakku. Untuk sesaat aku tak bisa berpikir apa yang sudah terjadi.
“ Dia bukan bapakmu, dia bajingan yang pantas mati. Harusnya dari dulu aku melakukannya, “ jawab ibu dingin tanpa ekspresi penyesalan diwajahnya.
‘ Jadi….” Ku tertegun seakan tak percaya sekaligus mensyukuri bahwa Parno bukanlah bapakku.
“ Bapakmu juga mati, aku tusuk dia pakai pisau itu, “ jawab ibu sambil menunjuk pisau yang dipegang Parno.
Diperjalanan menuju kota S, berita kematian juragan sapi yang mati dikompleks lokalisasi dan kematian Parno yang bunuh diri dengan menusuk perutnya sendiri jadi berita utama Koran di kota ini.
Kali ini ibu tersenyum, senyum pertama yang menghias wajah ibu dan pertama kali ku lihat setelah sekian lama aku dilahirkan ke dunia ini. Ibu membuka kaca bus yang membawa kami pergi memulai hidup baru di kota baru tanpa satu orangpun yang tahu siapa aku dan siapa ibu..
Surti ibuku dan aku Marni. Aku tidak punya dan tidak butuh bapak. Ibu terlelap dalam tidurnya. Bus masih melaju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita
Short StoryKumpulan cerpen tentang berbagai sisi wanita, tentang hidup dan problematika yang terkadang luput untuk diperhatikan.