Selimut

679 3 0
                                    


Brakk !!! Kembali aku terlempar di sudut kamar. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam menerima semua ini. Setiap saat, setiap waktu aku hanya bisa terkapar, melihat, mendengar bahkan ah… menggelitik hasratku sendiri.

Perempuan itu masih berbaring, terkapar di sisi lelaki yang baru saja menyetubuhinya. Bau keringat dan mani bercampur baur menusuk penciumanku dan menjadi aroma kental yang kelewat ku kenal.

Lelaki itu terlihat kepayahan mengatur nafasnya meski sesekali tangannya masih nakal bermain diatas tubuh si perempuan.

“ sudah ah, mandi sana, aku nggak punya banyak waktu untuk berbasa basi denganmu. Jangan lupa bayaranku !! “ teriak si perempuan mengusir langganannya yang satu ini.

Tangannya bergerak mengambil sebatang rokok filter, menyalakannya, menghisap dan menghembuskan asapnya sekuat yang ia bisa.

Dengan jengah si lelaki bangkit, buru-buru membersihkan diri kemudian melangkah keluar di iringi kepulan asap rokok si perempuan setelah melemparkan beberapa lembar rupiah di atas payudaranya.

Setiap saat, setiap hari, setiap waktu manusia dengan penis-penis berbeda dan kemudian ku sebut lelaki lalu lalang, datang dan pergi. Beberapa di antaranya datang hanya untuk berbincang menghabiskan separuh malam dengan perbincangan-perbincangan kehidupan yang membosankan tapi lebih banyak yang datang untuk merasakan kenikmatan sesaat di luar pernikahan dan menyumbangkan cairan ke selangkangan si perempuan. Ada yang beronani ada pula yang menyodomi. Dari yang wajar sampai yang kurang ajar. Dari gaya kamasutra hingga gaya ala fauna.

Selalu saja pergi dan esok kembali lagi menjumpai sang perempuan dan menyetorkan mani lalu kembali pergi setelah melemparkan segepok uang ke wajah si perempuan atau menyelipkan beberapa lembar rupiah ke dalam genggaman dengan sopan.

Tak pernah sekalipun terpancar diwajahnya sebuah kemarahan. Tak pula ada rasa senang meski segepok uang kini ada di tangan. Saat kepenatan yang teramat sangat mengikat kulit hingga persendian tulangnya, ia maki-maki kehidupan. Entah apa yang terlintas di benaknya. Entah apa yang terbersit di pikirannya. Segepok uang dihadapannya hanya sanggup ia pandang tapi tak pernah mau ia menghitungnya.

Kadang ia memaki lelaki yang seenak perutnya memperlakukannya seperti binatang jalanan meskipun ia tahu yang ia lakukan justru tak lebih baik dari tingkah anjing tanpa majikan. Ia uring-uringan jika tak mendapat pelanggan seakan-akan terdapat ribuan mulut yang harus ia beri makan. Padahal ia sendirian.

Aku ikuti kemanapun ia melangkah. Aku pasrah kemanapun ia bawa. Hanya aku yang ia punya. Hanya aku yang tahu apa yang ia rasa.

“ Hai selimut apa kau tak bosan terlempar kesana kemari. Aku kasihan padamu, lihat badanmu sudak robek di sana sini. Baumu pun sudah mulai apek.” Tegur lemari membuyarkan lamunanku.

Ya, aku cuma selimut. Yang hanya bisa mendekap sang perempuan kala sunyi mulai larut. Yang hanya bisa menghangatkan sang perempuan saat dingin membuat kulitnya mengkerut.

“ apa lagi yang kau pikirkan selimut? Tak usah kau pikirkan perempuan itu. Ia tak akan pernah ingat padamu.” Celoteh sang lemari. Dan aku hanya bisa tersenyum.

“ meski aku cuma selimut usang yang mulai robek disana sini. Meski aku harus berganti fungsi menyeka peluh atau menyeka cairan yang mengucur dari selangkangan perempuan itu. Aku tahu dia hanya punya aku. Hanya aku yang tahu bagaimana isi hatinya. Hanya aku yang tahu penderitaan batinnya dan menemani perjalanan lelap tidurnya. Tak usah kau pedulikan aku hai lemari kawanku.”

“ ha.. ha.. ha.. aku hanya iba padamu teman. Kau bisa dengan begitu tabah menemani perempuan itu dalam sunyinya. Tapi kau tak sadar betapa perempuan itu tak pernah mempedulikan kita. Lihatlah tubuhku nyaris lapuk dilahap rayap. Beberapa bagian tubuhku jadi sarang kecoak. Tiap saat wajahku dihinggapi cicak. Apa perempuan itu peduli pada kita? apa kau tahu teman, aku mulai bosan. Tiap malam yang kita jumpa hanya pemandangan menjijikkan. Yang kita dengar hanya lenguhan memuakkan. Andai aku punya pilihan akan ku tinggalkan itu perempuan” keluh lemari.

“bagaimana ia mau peduli pada kita, temanku. Lihatlah ia pun tak pernah peduli pada hidupnya. Kita hanyalah bagian dari kesuraman hidup yang ia miliki. Jadi bersyukurlah setidaknya kita tak lapuk tanpa guna.”

Sang lemari terdiam. Sang perempuan membisu dan lidahku pun mulai terasa kelu.

Hari-hari berlalu, si lemari terus saja mengeluh. Sementara pemandangan yang sama tetap kami saksikan dengan mata telanjang dan mulut menganga. Perempuan tetaplah perempuan. Hatinya bagai samudera yang dalam. Mimpinya lebih sempurna dari alam.

Suatu malam si perempuan menangis. Isaknya terasa mengiris. Tak seorangpun sanggup memahami apalagi mengerti. Tiap lelaki hanya tahu bagaimana ia bercinta dengan senyuman tanpa banyak komentar. Tiap pria hanya tahu bagaimana ia melayani dengan berbagai posisi. Bagi mereka perempuan itu hanyalah benda mati tanpa hati dan dibayar untuk dinikmati. Keji.

Brakk…..
Lagi-lagi aku terlempar ke sudut ruangan. Tapi kali ini aku bukan saja melihat, mendengar bahkan hasratku pun sama sekali tak tergelitik. Saat ini aku ingin berteriak, menangis, meraung dan menjerit. Perempuan itu terkapar, sekarat. Ia memandangku dengan tatapan nyilu. Ia meradang, berbisik tapi maut pun seakan-akan menyetubuhi raganya dan tanpa seperserpun bayaran tentunya.

Ia sekarat, nyawanya tercerabut di ujung pori-pori rambut. Ia mati. Aku menangis. Aku terus menangis. Ah… kenapa aku harus menangis ?! bukankah selama ini ia memang telah mati. Bukan saja hidup, hati dan jiwanya bahkan mimpinya pun telah mati. Ia terbunuh keadaan, terbunuh zaman, terbunuh keinginan. Tapi aku tetap saja menangis, aku menangis karna ia mati oleh sebuah penis.

WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang