Dhandhangan

32 0 0
                                    

ah kering juga kerongkonganku, tak ada setetespun lendir yang membasahi. Perutku, perutku juga terlilit lapar, ah rokok, seaindanya ini kemarin. Sungguh tersiksa pertama aku puasa, apalagi jika bersama orang-orang yang tidak berpuasa, kecap komat-kamit mulutku, mendengus-ndengus limbah asap rokok kawanku. Gila, seharusnya dengan adanya dhandangan ku jadikan sebagai waktu masa dimana raga dan jiwa ini sedang bertransisi. Ya, jika kalian sedikit banyak tahu soal kotaku, maka tak asing pula dengan adanya Dhandhangan. Ya sekilas bagi orang awam dhandhangan hanyalah pasar malam dengan aneka kuliner serta jajanan yang lain, mulai dari mainan hingga perabot rumah tangga. Tapi pada dasarnya kata dhandhangan sendiri berawal dari bunyi bedug "Dhang...Dhang...Dhang" orang jawa kan sangat terkenal pragmatis, hingga dititik tertentu pragmatisme jawa sudah tidak menjadi bahasa lagi dikarenakan terlalu praktis. Semisal kata pinarak dimana dalam bahasa Indonesia menunjukkan kata kerja duduk, tapi kata pinarak sulit diucapkan anak kecil maka menjadi kata yayak. Motor menjadi Honda atau Ngeng. Kata-kata semacam itu mungkin tercipta dari pengucapan, pendengaran maupun penglihatan yang keliru tapi semua itu demi untuk kesepakatan mempermudah pemahaman dan terciptalah konotatif-konotatif yang apabila kita cermati tidak ada artinya sama sekali. Bunyi bedug yang ditabuh dari bertalu-talu dari selesai shalat ashar sampai masuknya waktu shalat magrib diwaktu Kanjeng Sunan Kudus telah menentukan masuknya bulan Ramadhan dipenanggalan qomariyah, dahulu semasa hidup Kanjeng Sunan Kudus dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan sangat dinanti-nanti para santri dari berbagai daerah, tak jarang pula santri-santri dari pesantrennya Sunan Kudus sendiri maupun santri kampung semua berkumpul didepan masjid Al-Aqsha samping menara kudus yang menjadi ikon kotaku, hal ini dimanfaatkan para pedagang minuman maupun makanan untuk berjualan. Tahun semakin larut acara dhandhangan semakin diminati para santri diberbagai daerah dikudus maupun sekitarnya, tak jarang pula ulama-ulama kampung senantiasa menantikan kabar keputusan penanggalan masuknya bulan ramadhan oleh Kanjeng Sunan Kudus sendiri, tak jarang pula santri maupun ustadz-ustadz kampung yang datang nun jauh dari berbagai asalnya datang lebih awal dan menginap disekitar kompleks menara kudus. Hingga saat ini tak kurang dari empat abad sepeninggal Sunan Kudus, Dhandhangan masih menjadi ikon budaya yang dielu-elukan masyarakat Kudus maupun sekitarnya dalam penyambutan Bulan Puasa. Tapi semua itu terlepas dari esensi Dhandhangan itu sendiri. Dhandhangan bukanlah Dhandhangan semasa Sunan Kudus dahulu dimana menyambut dengan suka cita bulan yang penuh berkah ini dengan menjadikannya masa transisi untuk raga sekalian jiwanya yang selama sebelas bulan dikoyak-koyak nafsu, ongkang-ongkang duniawi, serta semakin mendekatkan diri kepada sang Khaliq dengan cara memperkuat sistem kontrol nafsu salah satunya nafsu konsumtif, namun lain masa lain pula ceritanya. Dhandhangan saat ini hanyalah sebuah pasar malam dimana berputarnya ekonomi masyarkat Kudus maupun sekitarnya yang memancing konsumtifitas masyarakat. Apakah ini produk modernisasi budaya? Dimana secara tidak langsung terjadi kapitalisasi? Budaya yang dielu-elukan manusia sebagai makhluk berakal serta bermartabat hanyalah modernisasi? Dimana yang maju hanyalah alat dan modalnya?. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 18, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HUJAN DEPAN FAKULTASWhere stories live. Discover now