Si A
Lia menoleh ke jam dinding memperhatikan dengan jelas posisi jarum pendeknya. Meninggalkan TV yang masih menyala, masuk ke kamar kakaknya dengan membawa penasaran dalam hati. Ada sesuatu yang tidak biasa kalau dia pulang terlambat.
Sebelum bertanya didapati buku mini tergeletak di kasur. Dikiranya Al-Qur'an karena ada tulisan arab bentuk melingkar. Di tarik pita yang terikat disamping. Saat dibuka, terpampang wajah seorang bapak-bapak, full rambut putih keperakan, dan tersenyum. Dibuka lembaran selanjutnya, berisi surah Yasin. Lia tidak mengenali wajahnya tapi namanya cukup familiar di telinga. Jika ke rumah sakit tempat kakaknya bekerja nama dokter A sering menyambar sedikit-sedikit telinga.
"Gara-gara apa meninggalnya?"
"Gagal jantung, terus nabrak pembatas jalan."
"Ini kan dokter A yang dikenal genit."
"Begitulah."
Selesai.
Si B
Masih terlalu pagi mendengar pergosipan. Tapi aku cukup penasaran kalau tidak ikutan. Baik laki dan perempuan semuanya ngumpul. Pasti bukan gosip biasa.
"Tetangga-tetangga juga masih sering ngomongin almarhum." Dua hari yang lalu, Si B salah satu kawan kerja kami meninggal.
"Padahal umurnya masih 25 tahun, meninggal muda tu," bikin heran juga dengar kalimat ini. Umur segitu giliran meninggal dikata muda. Kalau jomblo dikira akibat pemilih, atau udah kehabisan jatah jodoh. Dikiranya meninggal hanya milik kaum berambut putih.
"Si B baik banget lagi, selalu bantuin aku kalau lembur."
"Kesayangan bos pula."
"Orang baik memang selalu pergi duluan."
Selesai.
Si C
Anaknya yang masih tiga tahun berlarian di teras dengan bahagia. Sedangkan istrinya masih terbaring di kamar. Mentalnya masih down kalau melihat jasad suaminya. Aku datang bersama teman. Melayat ke tetangga sebelah.
Ibu sebelah kiri mencolek lututku. Jarak kami semakin dekat, suaranya dikecil seminim mungkin namun masih bisa dijangkau pendengaran.
"Katanya dia udah seligkuh dua kali."
"Serius! Kirain cuman sekali." Ibu sebelah kiriku ikut merapat.
"Iya udah dua kali, beruntung banget tuh Si C dapat istri setia banget."
Selesai.
Si AKu
Aku duduk termenung memandang hujan. Tak ada pertanda, paru-paruku berhenti mengerjakan tugasnya...
Sudah pukul delapan malam, tinggal satu tiga orang yang tinggal lembur. Mendadag dada sesak dan sakit, sangat jelas jantung menuju akhir usianya ....
Suasana damai dan rapi berubah riuh. Perserta yang berdiri di depan bergerak maju, tidak ketinggalan yang dibelakang. Suaraku tercekak, tidak mampu mengeluarkan kata. Pandanganku semakin kabur tidak dapat melihat jelas wajah panitia yang mengerumuni. Mulut, sudah terkunci....
Setelah ini, jejak kematianku dibibir mereka akan seperti apa...
10 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK KEMATIAN
Short Storycerita ini sangat singkat. hanya tentang renungan untukku, untuk kalian, dan untuk semuanya