Part 22

2.9K 191 10
                                    

'Kakak.'

Reova mengusap wajahnya dan menggeleng frustasi. Salah. Dia memang salah. Kata-katanya itu dia akui bukan kata kata yang benar. Pantas jika Reava tersinggung dengan kalimatnya.

"Lo juga sih, Re. Masa baru ketemu bukannya basa basi dulu, malah langsung tancap gas ke topik utama." Ucap Devan sambil mencomot keripik kentang yang ada di stoples di ruang tamu apartemennya.

Saat ini mereka berdua ada di apartemen milik Devan, tepat di sebelah apartemen Reava. Saat Reova bersikeras untuk menunggu Reava keluar dari kamarnya, sebagai sahabat yang baik dari kedua belah pihak, Devan menyarankan agar mereka tidak bertemu dulu. Untuk menghindari pertengkaran yang bisa saja terjadi.

"Gue..." Reova bingung melanjutkan kata katanya. Banyak hal yang terlintas di benaknya. Puluhan, bahkan ratusan kata tersebar di dalam otaknya dan dia bingung harus mengungkapkan kata apa terlebih dahulu. Reova menghembuskan nafas dengan kasar dan meremas rambutnya pertanda frustasi.

Sementara itu, Devan merubah posisi dari yang tadi berdiri, menjadi duduk di hadapan sahabatnya itu. Dia meletakkan secangkir kopi di hadapan sahabatnya, dan meminum tehnya sendiri. Cuaca London yang dingin pada bulan November memang menuntut banyak orang untuk membeli dan meminum minuman hangat.

"Apa yang harus gue lakuin, Dev?" Tanya Reova sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Lo... Mulai semuanya dengan cara yang salah." Ujar Devan merendahkan Reova. Rwova menggertakkan giginya, "Pendapat lo nggak ngebantu."

Devan terkekeh melihat pria di hadapannnya frustasi. "Ya.. Lo harus baikin dia. Basa basi dulu.. Jangan langsung tanya kenapa dia ninggalin lo." Ucap Devan sambil mengamati tingkah laku Reova. Dalam hati, Devan berpikir, apa Reo sebodoh itu sehingga tidak menyadari hubungan kejadian 10 tahun yang lalu? Apa dia tidak tau penyebab Reava pergi meninggalkannya? Padahal alasannya sesederhana itu.

"Gue gak bisa terlalu basa basi, Dev. Gimana dong?" Balas Reova.
"Itu sih derita lo." Ucap Devan sambil bersandar dan menyalakan televisi dengan remote yang ada di sampingnya.

"Sialan lo." Maki Reova pelan. Devan tertawa kecil.

Beberapa saat tidak ada pembicaraan di antara mereka. Keduanya diam, Devan menonton TV, dan Reova berkutat dengan pikirannya sendiri.

"Eh, Dev." Panggil Reova.

"Hm?"

"Lo tau gak kenapa dia pergi?"

"Hah?" Devan yang tadinya enggan melemparkan pandangan kearah Reova menjadi mengalihkan pandangannya kepada laki laki itu.

"Iya.. Lo tuh temen deketnya, beberapa tahun ini. Seenggaknya dia sedikit banyak akan cerita sama lo tentang penyebab semua ini. Kasih tau alasannya ke gue. Alasan dia pergi." Ucap Reova panjang lebar. Devan menghembuskan nafas pelan.

"Sebelum gunung meletus, hewan hewan gunung pasti tau. Sebelum semua masalah ini ada, gue udah menduga dan gue udah tau kalo masalah ini akan ada." Devan mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Meletakkan kembali cangkir teh kosongnya di dapur dan meninggalkan Reova yang terdiam berdua dengan TV yang menyala.

"Lo mau kemana? Tidur?" Tanya Reova saat melihat Devan membuka salah satu pintu yang ada di apartemen itu.

Devan menggeleng sebagai jawaban. "Kerja." Reova mengernyitkan alis. "Hah? Kenapa gue gak tau kalo lo punya usaha?"

"Karena lo gak pernah nanya." Balas Devan.

"Lo makin lama makin nyebelin ya?" Reova berdiri sambil berjalan mendekati Devan, meninggalkan kopi yang dibuat oleh Devan tergeletak.

"Usaha apaan lo?" Tanya Reova sambil masuk ke ruang kerja Devan. Lelaki itu mengamati furnitur yang ada di dalamnya. Serba coklat, seperti warna kesukaan Devan.

"Lo masih suka coklat." Gumam Reova. Devan mengangguk. "Reava juga masih suka ungu lho." Ucap Devan. Reova membalikkan badannya menoleh kearah Devan dengan tatapan kesal.

"Lo tuh ya, giliran gue pura-pura gak peduli sama ucapan lo yang bikin gue penasaran, lo malah ngasih tau hal yang gak gue tau. Bikin gue pengen nyari info tentang Reava lebih dalem lagi dari lo." Dengus Reova sembari duduk di single sofa beludru coklat tua di dalam ruangan itu.

Devan menutup pintu lalu melangkah kearah meja kerjanya. Dia akan menghitung penghasilan bersihnya di akhir November ini. Tepatnya di Cafe yang dia dirikan.

"Gue usaha Cafe. Tiba tiba kepikiran aja. Kalo bisa diusahain, kenapa enggak. Lagipula, kehidupan model itu nggak selamanya." Tukas Devan bijak.

"Dan... Gue gak merasa tau banget tentang Reava. Tapi yang jelas, gue tau lebih banyak hal dari lo." Ucap Devan percaya diri. Reova menggertakkan giginya diam diam. Pasalnya dia merasakan nada merendahkan di dalam ucapan Devan.

"Oh.. Lo hebat banget. Gue salut. Dan lo bener juga. Gue rasa gue akan coba belajar bisnis habis gini." Reova memilih tidak menanggapi ucapan Devan yang kedua.

Devan menundukkan kepalanya dan mulai membuka laptopnya. Mengetikkan banyak hal disana. Dan berkonsentrasi dengan data data tersebut. Devan tanpa sengaja mengabaikan Reova untuk sesaat.

"Gue bisa nginep malam ini? Gue ngantuk banget." Ucap Reova. Devan mengangguk. "Pintu di sebelah ruangan ini itu kamar tamu. Lo bisa tidur disana. Di sebelah kamar tamu itu kamar gue, lo bisa ambil kaos yang lo mau disana." Kata Devan tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

Reova hanya menggeleng melihat sahabat kocaknya menjadi seorang workaholic sekarang. Dia membuka pintu ruang kerja Devan. Sebelum menutup pintu, dia berkata, "Lo bijak banget tadi. Ngerahasiain rahasia cewek, bahkan ke sahabat lo yang berkepentingan sama cewek itu. Lo kayak orang yang suka sama dia."

Setelah pintu tertutup, Devan tersenyum sambil melirik ke pintu yang tertutup dan bergumam, "Emang kenapa kalo gue suka dia?"

★★★★★★★★

Reava terdiam di dalam gedung apartemennya, tepatnya di kamarnya. Suasana diluar sudah sepi, dan dia yakin kedua laki laki itu sudah meninggalkan apartemennya.

Reava menatap kosong televisi yang menempel di dinding kamarnya dan sedang menampilkan music video berjudul Sign Of The Time. Pikirannya melayang layang tidak jelas arah tujuannya. Berbagai perasaan memenuhi benaknya saat ini. Bingung, terkejut, senang, dan berharap kembali, muncul pada waktu bersamaan.

Reava memeluk bantalnya erat dan menenggelamkan wajahnya ke bantal itu. Dia tidak ingin -benar benar tidak ingin- bertemu Reova untuk sekarang... Atau mungkin selamanya. Inilah yang terjadi jika dia bertemu lelaki itu. Pikirannya terarah ke masa lalu. Disaat Reava melihat Evelyn dan Reova jadian. Rasa sakit melingkupi ulu hatinya. Dan ia masih bisa merasakan rasa sakit itu sekarang, walau kenyataannya mereka sudah berpisah.

Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, perempuan itu mendengar suara bel. Dia bergegas keluar dari kamarnya. Lalu berkata melewati interkom, "Siapa ini?"

"Aku."

Mendengar suara itu, wajah Reava berubah menjadi sumringah. Dia membuka pintu dengan tergesa gesa dan tersenyum kepada laki laki yang ada di depan pintu apartemennya.

"Kakak!" Serunya.

Keduanya tidak menyadari ada yang menyaksikan kejadian itu dengan terkejut.

★★★★★★★★

Hai.. New chapter..:))

Nah.. Devan jatuh cintrong tuh.. Hehehe.. Kalian team Devan-Rea atau Reo-Rea nih?

Callista

Reova & ReavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang