Ribut

2K 51 0
                                    

Jam kosong, waktu dimana kami merasakan nikmat sekolah yang sesungguhnya. Jam kosong itu lebih menyenangkan daripada libur. Apalagi kalo nggak ada tugas. Tapi ada dan tiada tugas tak berbeda bagi kelasku. Kalaupun tugasnya dikumpulin, nanti bisa nyontek temen yang udah. Di sinilah tinggkat kekompakan kami. Jangan ditiru ya, boleh kompak tapi jangan kayak kita.
Hari ini Bu Lilis, guru PKWU sedang ada keperluan. Jadi dia tidak masuk, dan Bu Lilis memang guru yang terbilang santai. Makanya beliau tidak memberi tugas.
Aku, Mey, Jenifer, Fika, dan Lia duduk lesehan di belakang kelas. Mey, Fika, dan Lia terlihat fokus menatap layar handphonenya, sedangkan Jenifer terus menerus usil dan mengganggu Mey, entah dengan mencoret-coret tangan Mey atau menyenggol-nyenggolnya.
“Apa sih Jen! Usil banget!” tegas Mey.
“Ya gitu yang gue rasain kalo lo ngusilin gue!” pekikku bercanda. Mey memang hobi mengusiliku, katanya aku orangnya sabar, kalo diusilin nggak banyak protes.
Bukannya nggak mau protes ataupun terima diusili, tapi aku mengerti memang Mey itu jahil dan tak ada gunanya menegurnya. Nanti juga diulangi lagi.
“Tapi Jeni usil banget! Daritadi pelajaran pertama juga usil!” pembelaan Mey. Mey memang duduk dengan Jenifer, Fika dengan Lia, dan aku dengan Monica.
“Heleh! Ya gitu yang gue rasain kalo lo duduk disebelah gue!” protesku.
“Besok gue duduk sama lo aja, biar Jeni sama Monica!” tungkas Mey bercanda sebenarnya, tapi dengan gaya khasnya yang judes.
“Ya udah, besok gue duduk sendiri aja!” sahut Jenifer, dia terlihat marah.
“Ngambek! Ngambek!” ledekku. Tujuanku biar suasana mencair lagi, tapi ternyata tak berhasil.
“Jeni, jangan ngambek!” Lia ikut-ikut, mencoba mencairkan suasana.
Sialnya tak berhasil. Sampai pelajaran terakhir, bahkan sampai pulang mereka berdua masih saja marahan. Aku harap ini tak akan lama. Aku harap semua akan membaik besok. Aku harap Jenifer tidak benar-benar pindah tempat duduk. Aku hanya bisa berharap.
Harapan hanya tinggal harapan. Jenifer benar-benar pindah tempat duduk. Aku, Fika, dan Lia jadi bingung harus bagaimana. Jenifer menjauh dan lebih memilih bersama Fina, sedangkan Mey sepertinya lebih memilih diam dan tak kemana-mana.
“Aduh, kok mereka beneran sih marahnya!” sahut Fika padaku dan Lia.
“Ini pertama kalinya kita berantem sampai selama ini, biasanya sebentar juga udah damai!” tanggap Lia.
Memang benar, biasanya kami marahan kalau ada yang diajak ke kantin nggak mau, tapi akhir nyusul juga ke kantin. Dan itu cuma sebentar, beberapa menit kemudian udah baikan. Kali ini berbeda, lebih dari sehari.
“Gue takut persahabatan kita pecah, satu setengah tahun lebih kita bareng-bareng! Masa harus berakhir kayak gini?!” tanggapku. Entah bagaimana kami bisa dekat, tapi yang jelas sudah sejak kelas 10 kami bersama. Dan sejauh ini squad kami yang paling kompak dan paling awet di kelasku. Yang lain sudah pecah dan membentuk squad baru.
“Ca, temenin Mey sana!” sahut Fika.
Aku mengangguk. Memang ada baiknya salah satu dari kami bertiga menemani Mey. Cukup salah satu, kalau kami bertiga yang menemani takutnya Jenifer merasa tersisih.
“Mey!” seruku sambil duduk disebelah Mey.
Dia hanya tersenyum lalu kembali bermain handphone. Aku tau dia merasa tidak nyaman juga dengan keadaan ini.
“Beneran marah?” tanyaku.
“Lo tau kan gimana temen lo ini? Kalo sampai sakit hati berarti dia nggak bisa nggertiin temennya!” jawab Mey. Dari jawabannya, kayaknya susah mendamaikan mereka berdua. Mereka sama-sama merasa benar.
Seharian ini aku menemani Mey, dan memisahkan diri dari Lia dan Fika, sedangkan Jenifer masih saja bersama Fina. Ada waktu di mana Mey bersama Fika dan Lia, saat itulah aku mendekati Jenifer, tapi aku tidak membahas tentang peristiwa ini bersama Jenifer. Belum saatnya, pikirku.
Sampai pada pelajaran Fisika kami diminta membentuk kelompok. Jenifer memilih satu kelompok dengan Fina. Aku berusaha memecahkan diri dari Lia, Fika, dan Mey agar Jenifer tidak merasa diasingkan.
“Mon, kita cari kelompok yang masih kurang aja!” pekikku pada Monica.
“Kita sama Lia, Fika, Mey sekalian aja!”
“Jangan, takutnya Jeni ngerasa terasingkan! Pokoknya kita mecah dari mereka bertiga!”
“Lho masih marahan?”
“Iya.”
“Coba kalian ngebujuk mereka dong!”
“Susah Mon, dua-duanya ngerasa bener! Nggak ada yang mau ngalah!”
“Ya udah kita cari kelompok lain!” Monica mengerti.
Usahaku dan Monica sia-sia. Semuanya sudah mendapat kelompok. Tinggal aku, Monica, Fika, Lia, dan Mey yang belum dapat kelompok. Mau tidak mau kami akhirnya menjadi satu kelompok. Aku masih cemas sebenarnya, takut Jenifer makin marah. Takut juga jarak diantara kita makin bertambah.
***
Dengan lunglai aku menuju parkiran, Bang Kevin sudah menungguku. Aku masih memikirkan teman-temanku. Bagaimana jika ini menjadi akhir dari persahabatan kami? Aku rasa kami kena karma karena sering bergosip tentang perpecahan teman-teman kami. Aku tak bisa membayangkan jika kami akan terpecah hanya karena masalah yang menurutku sepele.
“Kenapa lagi nih anak?” sahut Abangku begitu melihatku.
“Nggak apa-apa Bang, biasa masalah cewek! Abang nggak usah ikut-ikut!”
“Sama squad kamu?”
Aku mengangguk.
“Ya udah, sekarang kita pulang!”
Baru saja aku memakai helm seseorang memanggilku, “Ca!” dia berlari kecil.
“Kenapa Kak?” tanyaku datar setelah dia agak dekat. Moodku sedang tidak bagus, jadi walaupun dia orang yang kucintai aku akan tetap seperti ini.
“Vin, gue mau ngajak Caca jalan!” Kak Dimas meminta izin pada Bang Kevin. Mau mengajakku kemana dia?
“Iya udah, tapi pulangnya jangan malem-malem!” sudah kuduga, kalo Kak Dimas yang ngajak, pasti dia ngizinin.
“Maaf Kak, tapi aku lagi nggak mood! Next time aja ya!” tolakku. Suatu saat pasti aku bakal menyesali keputusanku ini, tapi tidak untuk saat ini.
“Ya udah nggak apa-apa.” Jawabnya dengan seulas senyum penuh kekecewaan. Maaf Kak, aku tak bermaksud membuatmu kecewa.
“Sorry ya Dim, Caca emang lagi ada masalah sama temen-temennya, jadi dia badmood gini!” jelas Bang Kevin.
“Santai aja! Gue ngerti kok!” jawabnya.
“Duluan ya!” pamit Bang Kevin sebelum motornya melaju meninggalkan Kak Dimas sendirian. Aku bisa merasakan Kak Dimas terus menatapku hingga aku tak terlihat lagi.
***
Aku pasrahkan semua pada Allah. Aku memohon padanya agar besok semuanya kembali membaik, bagaimanapun caranya. “Hanya engkau yang bisa membolak-balikkan hati manusia, maka lembutkanlah hati kedua sahabatku yang sama-sama keras itu!” pintaku dalam doa.
“Habis solat kok masih cemberut?” Abangku menoleh ke arahku. Aku baru selesai shalat isya berjamaah dengan Bang Kevin.
Aku mencium tangan Abangku. “Kalo Jeni sama Mey belum baikan, aku belum bisa tenang Bang!” sahutku.
“Jadi mereka berantem?”
Aku mengangguk malas.
“Gara-gara apa? Cowok?”
Aku menggeleng.
“Terus gara-gara apa?”
“Jeni marah, gara-gara candaan Mey. Abang tahu kan, Mey emang kalo ngomong pedes, nah si Jeni malah nanggepinya serius. Ya udah mereka marahan.”
“Kalian bertiga coba nyatuin dong!”
“Aku nggak yakin bisa Bang, mereka sama-sama ngerasa bener!”
“Kalo nggak ada yang ngalah ya kemungkinan bubrah!”
“Ih Abang, kok malah ngedoain yang jelek sih!” sungutku. Langsung memasukan mukena ke lemari tanpa melipatnya lalu berlalu meninggalkan Bang Kevin.
Baru juga masuk kamar, handphoneku sudah berbunyi. Ada telpon masuk dari Kak Dimas.
“Halo?” aku segera mengangkatnya. Tadi aku sudah membuatnya kecewa, mungkin saat ini aku bisa minta maaf padanya. Aku tak mau masalahku dengan sahabatku, mempengaruhi hubunganku dengan Kak Dimas.
“Assalammualaikum!”
“Waalaikumsallam! Maaf ya Kak, aku tadi lagi nggak mood pergi!”
“Udah nggak usah dibahas! Kamu masih badmood?”
“Iya.”
“Pernah denger cerita tentang kancil nggak?”
“Pernah.”
“Kamu tau kenapa kancil belom nikah?”
“Hah?” aku memutar otakku. Kayaknya aku belum pernah denger cerita tentang kehidupan asmaranya si kancil.
“Tau nggak?” tanyanya lagi.
“Emang ada ceritanya ya Kak?”
“Ada dong, mau denger?”
“Boleh.”
“Jadi sebenernya waktu Pak Tani nangkep Kancil dia lagi mau nikah, tapi keburu ketangkep! Karena kancil nggak ada kabar, pacarnya akhirnya nikah sama buaya yang pernah ditipu sama kancil!”
Aku tak bisa menahan tawa saat dia bercerita. “Apaan sih Kak! Nggak jelas deh!”
“Yang penting kamu bisa ketawa.”
“Iya deh makasih!”
“Sekarang masih badmood?”
“Udah enggak kok!”
“Ya udah, aku mau ngelanjutin bikin tugas dulu ya!”
“Iya!”
Aku menutup telpon itu.
“Kancil?” aku tertawa mengingatnya. Aneh-aneh saja, tapi aku akui itu membuatku merasa lebih baik. Senang rasanya dia mau menyempatkan waktu untuk menghiburku. Agak kaget juga, Kak Dimas bisa jadi konyol gitu.
Aku mau tidur saja. Mumpung gak ada tugas, dan semoga semua akan membaik besok. Aku yakin.
***
Speakless, aku harus bilang apa? Mey dan Jenifer duduk semeja lagi. “Terima kasih ya Allah!” syukurku dalam hati. Aku tau mereka memang masih agak canggung, tapi aku senang mereka mau duduk bersama lagi. Setidaknya ini menjadi awal agar mereka kembali berbaikkan.
Meja kami memang berdekatan. Jadi kami bisa bergerombol dulu sebelum pelajaran.
“Nih liat!” Jenifer menunjukan notifikasi handphonenya yang berisi chat dari Mey. Mey minta maaf pada Jenifer.
“Alhamdulillah!” pekikku.
“Abis si Fika terus-terusan ngebujuk gue sih!” pembelaan Mey. Aku tahu dia gengsi sebenarnya.
“Udahlah Mey, yang tua ngalah!” sahutku.
“Hore kita barengan lagi!” Lia ikut bersuara.
“Sebenernya aku tuh nggak marah, tapi  Caca sih! Pake ngatain aku ngambek!” pembelaan Jenifer.
“Wah berarti ini gara-gara Caca!” Fika ikut menyalahkan.
“Wuu!! Caca!” Lia ikut menyalahkan.
“Wah Caca! Parah!” Mey ikut-ikutan.
“Iya-iya!” aku tau itu hanya gurauan. Aku tak tau apa pembelaan Jenifer itu benar atau hanya untuk menepis anggapan kalo dia memang baperan. Yang penting sekarang aku bisa bernafas lega. Persahabatan kami tetap bertahan. “Kemarin seharian aku berdoa biar kalian baikan, dan aku seneng Allah mengabulkan doaku!” lanjutku.
“Aku tuh kemarin nge-PING Mey terus, biar dia mau minta maaf sama Jeni!” sahut Fika.
“Udah-udah, yang penting kita bareng-bareng lagi!” tungkas Lia.
“Kemarin Kak Dimas ngajakin jalan, tapi akunya nolak gara-gara badmood soal masalah kemarin!” curhatku.
“Lha terus dianya gimana?” tanggap Mey.
“Bilangnya sih nggak apa-apa…”jawabku.
“Bilangnya!” sahut Fika.
“Tapi aslinya kecewa.” Lia melengkapi.
“Tapi malemnya, dia nelpon aku nanyain masih badmood nggak. Terus dia ngehibur aku, agak kaget sih dia bisa jadi konyol gitu!” jelasku.
“Ngehibur gimana?” Jenifer penasaran.
“Dia cerita kancil.” Jawabku.
“Kancil nyuri timun?” tanya Mey.
“Bukan! Dia cerita kenapa kancil belom nikah sampai sekarang.” aku menerangkan.
“Emang kancil belum nikah ya?” tanya Lia dengan polosnya.
Yang lain tertawa dengan pertanyaan Lia.
“Emang ceritanya gimana sih Ca? Gue belom pernah denger lho!” lia masih penasaran.
“Gini ceritanya, waktu Pak Tani nangkep Kancil dia lagi mau nikah, tapi keburu ketangkep! Karena kancil nggak ada kabar, pacarnya akhirnya nikah sama buaya yang pernah ditipu sama kancil.”
Mereka keheranan dengan cerita dari Kak Dimas itu.
“Setahuku, dia itu nggak konyol gitu lho!” Mey terlihat sangat heran. Kak Dimas itu memang orang yang pendiam, cerdas, cool, begitu covernya. Jadi biasanya tiap dia ngomong itu selalu sesuatu yang bermutu. Makanya agak heran semalem dia bisa konyol gitu.
“Mungkin dia khilaf!” tungkasku. Tak peduli apa yang terjadi padanya, tapi aku suka sikapnya semalam. Berkat dia semalam moodku kembali bagus.
Kami terus membahas hal-hal yang kemarin tidak sempat kami bicarakan. Seperti si Fika yang putus dengan pacarnya. Sekarang dia nyesel, tapi dia gengsi kalau mau minta balikan. Untunglah dia masih punya stok cowok lagi.
Berbeda dengan Fika, Jenifer justru semakin dekat dengan mantan gebetan, Aldi anak kelas 12. Dulu Kak Aldi pernah mendekati Jenifer tapi Jenifer tidak terlalu menanggapi gara-gara dia lagi ngegebet Okta, tapi Oktanya sekarang malah deket lagi sama mantannya. Jenifer jadi nyesel karena nggak menanggapi Kak Aldi. Tapi sekarang Kak Aldi kembali mendekatinya, dan mereka semakin hari semakin dekat. Semoga saja Jenifer mendapat akhir yang bahagia, kasihan kalo harus di PHP terus.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang