Mobil kami memasuki pelataran rumah yang lumayan luas, perkiraanku luas rumahnya 10x10 dengan total luas tanah 15x15. Dari bentuknya aku bisa menebak pasti si pemilik rumah asli orang Jawa, rumahnya ala-ala rumah Joglo. Masih ada orang yang mempertahankan warisan budaya, aku salut.
Kami berempat keluar dari mobil, dan bergegas masuk karena Tante Hesti sudah menyambut kami. Ayah, Bunda, dan Bang Kevin masuk duluan bersama Tante Hesti, sedangkan aku mengambil parsel di bagasi. Parsel berisi bermacam kue kering buatanku ini, kami jadikan oleh-oleh untuk mereka, tak mungkinlah kami mengunjungi tetangga lama tanpa membawa sesuatu.
Aku sudah berhasil mengeluarkan parsel ini, dan segera menutup bagasi. Sebuah motor berhenti di samping mobilku. Secara otomatis aku melihat ke arahnya. Seorang cowok membuka helmnya dan turun dari motor berboncengan tinggi itu. Prediksiku dia seumuran denganku, atau mungkin lebih tua setahun dariku.
Mengetahui keberadaanku, dia menghampiriku. “Cari siapa Mbak?” tanyanya.
Aku hampir tak berkedip melihat ketampanannya. Tingginya 175 cm, dengan rambut yang rapi, kulit sawo matang, dengan gaya berpakaian yang trendi, dan juga lesung pipi yang tak kalah menggoda dibandingkan Kak Dimas.
“Mbak?!” serunya membuatku sedikit tersentak.
Aku segera mengendalikan diri, agar tidak terlalu ketara kalo aku terpesona dengan makhluk ciptaan tuhan yang satu ini. “Oh maaf, aku anaknya Ibu Karina, temennya Tante Hesti.” Jelasku.
“Tante Karina yang istrinya Om Sanjaya?” tanyanya antusias.
Aku sedikit heran, kenapa dia seantusias ini. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
“Kencana?” serunya terlihat sangat bahagia.
Sedikit heran bercampur bangga, orang seganteng dia mengenalku. Aku hanya tersenyum dan menyaksikan dia yang terlihat sangat bahagia. Memang aku sepenting itu ya? Sampai-sampai dia jadi sebahagia ini.
“Kamu apa kabar? Tambah cantik aja!” dia mulai berbicara dengan akrabnya.
Walaupun aku tidak mengenalnya, tapi aku ini tipe orang yang ramah dan friendly. Jadi jika ada orang yang mengaku mengenalku, aku akan tetap menanggapi. Aku sadar diri, aku ini sulit menghafal orang, sudah seharusnya aku ramah pada semua orang untuk menutupi kekuranganku itu. “Baik, kamu sendiri apa kabar?”
“Setelah ketemu kamu kabarku bakal selalu baik!”
“Bisa aja!”
“Tunggu, emang kamu inget siapa aku?”
Aku tersenyum polos. Bingung mau jawab apa.
“Aku tau kok, kamu nggak tau namaku!” dia tersenyum manis.
“Tapi, by the way, kamu siapa?”
“Nanda, anak yang dulu kamu kasih kalung koin ini!” dia menunjukan kalung yang terikat di lehernya. Kalung accessories dari tali hitam dengan sebuah koin, yang mitosnya kalung ini kalung keberuntungan.
Aku mencoba membuka kembali memori masa lampauku. “Oh, kamu anak yang suka menyendiri itu ya?” aku pernah punya tetangga yang mendapat cobaan bertubi-tubi, kira-kira 6 tahun yang lalu saat aku masih kelas 5 SD. Ibunya mengalami keguguran, tak berselang lama Ayahnya meninggal karena sebuah kecelakaan, kakaknya sibuk mengurusi Ibunya, dan sejak saat itu dia jadi pendiam dan tidak pernah keluar rumah. Sampai saat aku hendak pindah ke kontrakan yang baru, aku melihatnya duduk dibawah pohon mangga di depan kontrakanku, sendirian. Aku menghampirinya dan memberikan kalung keberuntungan yang aku beli di depan sekolah padanya, pikirku supaya dia mendapat keberuntungan dihidupnya yang malang itu.
“Iya.”
“Jadi nama kamu Nanda? Aku baru tau!” dulu memang aku nggak terlalu mengenalnya, dia nggak suka bergaul soalnya.
“Pasti dulu nggak ada yang tau namaku ya?”
“Gimana kita bisa kenal kamu, kalo kamunya aja nggak pernah keluar rumah!”
“Makasih ya!”
“Buat?”
“Keberuntungan yang kamu kasih 6 tahun yang lalu!”
“Aku seneng lihat kamu yang sekarang! Pasti sekarang kamu udah banyak temen ya?”
“Berkat kamu!”
“Ayolah! Jangan berlebihan gitu!”
“Ayo masuk!” ajaknya.
Aku mengangguk dan kami masuk ke dalam.
Di ruang tamu, semuanya sudah berkumpul. “Lho, kalian kok bisa barengan gini?” sambut seorang wanita yang kira-kira sepantaran dengan Bunda, Tante Hesti.
“Kita ketemu di depan Ma!” jawab Nanda.
Aku segera menyerahkan parsel buatanku, sekaligus cium tangan pada Tante Hesti. Nanda juga melakukan hal yang sama pada orangtuaku.
“Wah, makasih lho! Jadi nggak enak ngerepotin gini!” tanggap Tante Hesti setelah menerima parsel dariku.
“Santai aja Hes! Ini buatan Caca lho!” Bunda membanggakanku.
Aku duduk di samping Bang Kevin, sedangkan Nanda duduk di samping Mamanya.
“Caca cantik ya Nda!?” Tante Hesti menyenggol Nanda dengan tangannya.
“Iya Ma!” jawab Nanda.
Aku jadi melting, karena jawabannya itu.
“Mau Mama jodohin sama dia?” goda Tante Hesti.
“Dia udah punya pacar Ma!” sahut seseorang yang baru masuk. “Assalammualaikum!” lanjutnya sambil mencium tangan Tante Hesti dan orang tuaku. Dia segera duduk di dekat Nanda.
“Lho?” aku bingung mengetahui Yusuf ada di sini.
“Ini Yusuf, kakaknya Nanda!” Tante Hesti memperkenalkan Yusuf. Jadi dia pernah menjadi tetanggaku dulu? Pantas saja, dia tau banyak hal tentangku.
“Udah kenal kok Ma!” sahut Yusuf.
“Jadi Yusuf ini anak kamu? Kenapa kemarin nggak bilang!?” sahut Bunda antusias seperti ibu-ibu pada umumnya.
Sedari tadi aku hanya menyimak pembicaraan mereka. Aku bingung harus berkomentar apa. “Maaf Tante, saya permisi keluar dulu, mau cari signal, jaringan saya agak jelek di daerah sini!” pamitku sambil melihat layar handphoneku.
“Oh nggak apa-apa!” Tante Hesti mengizinkan.
“Makasih Tante! Yah, Bun Caca mau cari signal dulu, mau ngabarin Kak Dimas, seharian Caca belum ngabarin dia!” pamitku lalu pergi ke luar. Aku bohong, aku cuma bosan saja di dalam. Tapi memang sih, di sini jaringanku jelek banget. Nggak masalahlah! Lagian aku lagi nggak minat main handphone juga.
Aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan yang luas ini. Pohon mangganya besar, jadi teduh banget.
Tak berselang lama seseorang duduk di sebelahku, aku duduk membelakangi arah kedatangannya. Sempat sedikit kaget, tapi setelah tau itu Nanda, aku biasa saja.
“Hai!” sapaku.
Dia hanya tersenyum, senyum yang manis. Maaf ya Kak Dimas, aku tetep cinta kok sama kamu! Tapi aku nggak bisa bohong, senyumnya memang manis.
“Bosen ya?” tebaknya sangat tepat.
“Kelihatan banget ya?”
“Enggak sih!”
Syukurlah, aku kira ketara kalo aku bosan di dalam sana. “Satu sekolah sama Kakak kamu?” aku membuka topik baru.
“Kamu juga kan?”
“Iya.”
Hening sesaat, aku bingung mau membicarakan apalagi.
“Beneran udah punya pacar?” dia memecah keheningan.
“Hah?” aku kaget dengan pertanyaannya itu.
“Nggak usah dijawab nggak apa-apa, itu urusan pribadimu! Maaf!”
“Kalo belum, kamu mau jadi pacarku?” ups, kelepasan. Kenapa aku sebodoh itu, wajahnya jadi merah seketika. Aku memang sering bercanda seperti itu, tapi kali ini aku bercanda pada orang yang salah. “Aku bercanda!” sambungku sebelum dia semakin salah tingkah.
“Aku punya pacar, tapi aku siap putus demi kamu!” jawaban yang jujur membuatku speakcless.
“Ih, kok gitu?”
“Aku memang nggak deket sama kamu, tapi kamu itu segalanya! Aku nggak mungkin bisa hidup, kalo 6 tahun yang lalu kamu nggak kasih keberuntungan buat aku!”
Aku berdecak. Itu kedengaran terlalu berlebihan. “Nggak usah bahas itu lagi, kamu nggak perlu ngerasa utang budi sampai kayak gini!”
“Aku pengen punya kakak perempuan kayak kamu!”
“Hah? Maksudnya?”
“Baik, ramah, pinter masak, sempurna banget!”
“Kamu udah punya Kakak yang sempurna kok! Yusuf itu baik! Sangat baik!”
“Baik apanya, temen-temennya suka mabuk gitu!”
Aku tersenyum melihat cara bicaranya yang seperti anak kecil. “Yang penting dia enggak!”
“Dia baik?”
Aku mengangguk.
“Kalo gitu kamu pacaran sama dia aja, biar aku bisa punya kakak kayak kamu!” pekiknya dengan begitu polosnya.
Aku tertawa geli mendengar apa yang dia katakan. “Aku nggak perlu jadian sama Yusuf untuk jadi kakak kamu!”
“Maksudnya?”
“Kamu boleh anggap aku sebagai kakak kamu!”
“Beneran?” dia terlihat bahagia, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan balon.
“Iya!”
“Kalo gitu aku boleh kan, panggil kamu Mbak?”
“Boleh!”
Dia melompat kegirangan seperti Dora yang baru saja menyelesaikan misi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.