"Kyoko-san, hidup saya memang berat. Apalagi di usia yang masih remaja. Ada dua pilihan dalam hidup, diam atau bertindak. Diam tidak akan merubah apapun. Bertindak, akan merubah sesuatu, dan itupun ada dua kemungkinan, ke arah baik atau semakin buruk." Matsumoto menyilangkan kakinya.
"Kalau seperti itu, lebih baik diam," timpal Kyoko.
"Hidup itu penuh dengan probabilitas."
"Probabilitas?" Kini Kyoko yang berkerut kening.
Matsumoto mengangguk. "Kemungkinan. Banyak hal yang belum pasti di dunia ini. Semua karena kemungkinan. Kita tidak tahu ke depannya seperti apa. Hanya kemungkinan yang membuat manusia berharap dan mempunyai mimpi."
"Maaf Sensei, saya tidak mengerti maksudnya." Kyoko tersenyum getir. Ia merasa tampak bodoh mendengar penjelasan lelaki di sampingnya.
Matsumoto menoleh. "Gomen. Saya sudah terlampau bicara yang berat."
Kyoko menggeleng. "Iie. Saya menyukainya. Jelaskan tentang tadi, Sensei!" pinta gadis itu.
Matsumoto melihat rombongan burung berterbangan di atas mereka. "Lihat burung itu! Burung kecil, hidupnya ada dua kemungkinan yang bergantung pada pilihan dan keputusannya, diam atau belajar terbang. Dia tidak mungkin selalu bergantung pada induknya. Jika dia diam, pasti akan ditinggal oleh kelompoknya. Jika belajar terbang, dia bisa ke manapun semaunya, itupun ada dua kemungkinan, mendapat ancaman dari burung yang lebih kuat darinya atau hidupnya akan tentram saja."
"Seperti manusia," potong Kyoko lirih.
Matsumoto tidak menjawab. Lelaki itu hanya menatap lekat wajah Kyoko dari samping dengan segaris senyuman di wajahnya.
"Sensei, apa masa lalu bisa diubah? Apa bisa memilih masa depan dengan masa lalu yang menyakitkan?" Tiba-tiba Kyoko menghujam pertanyaan tak terduga itu kepada Matsumoto.
Dokter muda itu belum menjawab. Ia diam dulu sejenak. Lalu tersenyum tipis. "Saya mempunyai masa lalu yang menyakitkan. Tapi saya punya kesempatan untuk merubah masa depan menjadi lebih baik dari masa lalu. Saya menjalani apa yang sudah terjadi dengan keikhlasan. Saya tidak ingin diam mengharapkan pertolongan orang lain. Kelemahan yang saya punya, diubah menjadi kekuatan yang kelak menjadi tameng dalam diri saya." Matsumoto menatap lurus ke depan. Ia tidak lagi memandangi sesuatu, tetapi penglihatannya seolah membawanya kembali ke masa lalu saat dirinya masih anak masuk remaja.
Waktu itu ia menangisi keadaannya di sudut rumahnya yang sepi. Di depannya terbaring lemah seorang wanita. Mata wanita itu terpejam. Di sampingnya tergeletak handuk yang penuh dengan bercak merah. Botol obat dibiarkan terbuka begitu saja. Anak itu terus memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya. Sekencang apapun ia menangis, tak ada yang peduli. Perutnya lapar dan tubuhnya mulai sakit.
"Ibu, tolong bantu aku. Kembalilah menjadi Ibu yang sehat. Aku takut." Kini anak itu menatapi wanita yang terbaring. Lantas sorot matanya berpindah ke handuk yang penuh bercak merah. "Ada apa dengan Ibu? Kenapa aku tidak tahu? Aku harus bagaimana?" Anak itu terus meracau ketidaktahuannya. Kedua lututnya masih dalam pelukan.
Anak itu bangkit lantas bergegas ke luar rumah, mencari pertolongan. Ia mengetuk pintu demi pintu danchi. Sayang sekali, semua orang seakan menutup telinga dan mengabaikan permintaan anak itu.
Anak itu berlari ke jalan raya berusaha mencari pertolongan. Lagi-lagi nihil. Ia bergegas kembali ke rumahnya. Di depan pintu tempat ibunya terbaring, ia menangis. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Tertatih anak itu mendekati ibunya. Tangannya mengusap wajah pucat ibunya. Tubuhnya dingin. Tangannya bergerak dari kepala hingga pipi. Tangannya terhenti di dekat hidung. Tak ada udara yang keluar dari lubang hidungnya. Anak itu menatapi lekat perut ibunya, tak ada pergerakkan kembang kempis. Ia memastikan sekali lagi dengan menaruh telinganya di atas dada ibunya. Detak jantungnya sudah tidak terdengar. Saat itu tangisnya pecah. Ia memeluk tubuh ibunya yang sudah kaku. Suara tangisnya menggelegar di sepanjang danchi satu lantai denganya. Tetangganya keluar dan mengintip dari pintu, berusaha mencari tahu.
"Ibu! Kenapa Ibu tidak pamit?" anak itu terus terisak. Semua sudah terlambat. Satu persatu tetangganya berdatangan dan anak itu dijauhkan dari jasad ibunya. Hingga anak itu tersadar dirinya sudah di panti asuhan.
Matsumoto menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang sudah terbendung di sudut matanya.
Kyoko menyadari perubahan suasana hati lelaki di sampingnya. "Sensei tidak apa-apa?"
Matsumoto mengangguk. "Saya baik-baik saja," jawabnya pelan.
"Sensei, saya pulang dulu." Kyoko bangkit dari tempat duduknya.
Matsumoto mengangkat kepalanya dan menganggap semua baik-baik saja, padahal suasana hatinya rapuh setiap mengingat kejadian masa lalunya. "Saya antar pulang." Ia ikut berdiri.
Kyoko mengangguk. "Arigatou," ucapnya seraya menganggukkan kepala.
Matsumoto membalas dengan senyuman. "Yamami-san menelepon?" tanyanya ketika mereka meninggalkan taman.
"Tidak. Saya tidak enak saja. Yamami-san tidak pernah marah kepada saya. Dia sangat menyayangi saya."
"Syukurlah."
Daun kecoklatan dan kemerahan jatuh berguguran. Sesekali mendarat di atas kepala Kyoko. Dengan sikap gantle, Matsumoto menanggalkannya dari kepala gadis itu. Pertemuan kali ini, berhasil menarik Kyoko untuk nyaman. Harapan Matsumoto, semoga ke depannya gadis itu bisa menceritakan masalahnya senyaman pertemuan mereka.
Iie : Tidak
Danchi : Rumah susun
Arigatou : Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me
Mystery / ThrillerTAMAT Rank #1 of hashtag geisha: 1-18 Mar 2019 Rank #1 of hashtag dua kepribadian: 19-26 Mar 19 9-12 Apr 19 9-13 Jun 31 Jul-5 Aug 2020 Yang sedang bebicara dengan kamu bukanlah orang yang kamu kenal Bukan pula dengan karakter yang kamu ketahui Dia s...