Alergi

1.3K 45 2
                                    

Aku sedang menata pelajaran saat Mas Ridwan menelpon. Semalam dia kembali ke asalnya, ke Jogja maksudnya. Dia mengabari karena dia sudah sampai dengan selamat, dan juga dia khawatir aku kenapa-kenapa setelah putus dengan Kak Dimas.
“Kamu beneran nggak apa-apa?”
“Iya Mas! Tenang aja!”
“Ya udah kalo gitu, jangan banyak galau ya!”
“Siap komandan!!”
Aku menutup telpon itu.
Aku segera ke luar setelah selesai menata buku, Bang Kevin pasti sudah menungguku di depan.
“Are you okay?” sambutnya begitu melihatku, entah sudah keberapa kalinya Bang Kevin menanyakan keadaanku.
“Abangku sayang, aku baik-baik aja! Nggak usah berlebihan gitu deh Bang!” tegasku untuk kesekian kalinya.
“Abang nggak mau kamu galau!”
“Untuk masalah cinta-cintaan Abang nggak usah khawatir! Caca lebih ahli dari Abang!” guyonanku berusaha meyakinkannya agar tak terlalu mengkhawatirkanku lagi.
Dia tak menjawab dan langsung menyalakan mesin motornya.
Aku heran kenapa pada khawatir sama aku? Aku yang putus aja santai kok! Emangnya aku anak SMP yang kalo putus bakal nangis-nangis nggak jelas, sampai nggak doyan makan, dan males hidup! Aku udah cukup dewasa untuk menghibur diriku.
***
Aku dan komplotanku sudah stand by di depan kelas, duduk-duduk mencari udara segar. Lomba hemat energi membuat listrik di kelasku sering mati. Ada listrik aja kelasku panasnya minta ampun, apalagi kalo gak ada.
Sudah masuk jam isoma, wajar kalo sedari tadi banyak yang berlalu-lalang di depan kami. Ada sosok yang berbeda dari biasanya, Kak Dimas. Dia hanya memandangiku saat lewat di depanku, seperti yang ku minta. Kami benar-benar tak saling bicara. Anehnya aku bahkan tidak merasa sedih dengan situasi kami saat ini.
“Ca!” sapa Kak Kamal teman sekelas Bang Kevin yang saat itu sedang berjalan bersama Kak Dimas. Kak Dimas hanya memandangiku dan terus menoleh ke padaku walau sudah melewatiku.
Aku tersenyum ramah pada Kak Kamal.
“Lo berantem Ca?” Mey cepat mengenali situasi.
“Gue putus!” singkat, padat dan yang pasti cukup jelas untuk menggambarkan situasi kami saat ini.
“Kok bisa?” Jeni yang semula sibuk dengan handphonenya kini terfokus padaku.
“Dia salah apa?” timpa Fika.
“Selingkuh?” tebak Lia.
“Enggak, dia cemburu sama cinta pertama gue yang kebetulan kemarin ke rumah. Gue rasa dia udah nggak percaya sama gue, jadi gue minta putus!” jelasku singkat. “Bentar-bentar!” lanjutku, aku permisi mengangkat telpon.
“Kenapa?”
“Mau ikut nggak?”
“Ke?”
“Rumah pohon, bersih-bersih!”
“Kapan?”
“Nanti.”
“Boleh!”
“Aku jemput!”
“Oke!”
Aku memutus tepon dari Yusuf.
“Terus?” Tanya Mey tiba-tiba membuatku tak paham.
“Terus apa?”
“Udah dapet gantinya?” tatapannya membuatku bisa menebak apa maksud Mey.
“Yusuf itu sahabatku, gak lebih!” tegasku.
Kami tak membahas ini lagi dan kembali pada kesibukan masing-masing.
***
Aku tak menyangka membersihkan rumah pohon akan semelelahkan ini. Aku dan Yusuf duduk berhadapan di dalam rumah pohon yang sudah bersih ini. Seru juga, banyolan-banyolan yang terlontar dari Yusuf membuatku tak bisa menahan tawa. Itu cukup sebanding, dengan alergiku yang akhirnya kambuh. Aku alergi debu, kalo kena debu tanganku akan bentol-bentol kecil seperti habis digigit nyamuk.
“Eh iya, aku punya kue di tas!” aku teringat dengan kue buatanku yang sebenarnya itu tester untuk Mamanya Mey, tapi aku lupa memberikannya tadi. Aku segera mengambilnya dan memberikan itu pada Yusuf.
“Bikinan kamu?”
Aku mengangguk. “Cobain deh!” aku menyuapkan satu untuknya.
Matanya langsung tertuju pada tanganku. Dia mengambil kue itu dan meletakannya pada tempat makan yang kugunakan untuk membawa kue itu. Kini dia mengambil alih tanganku. “Nyamuk di sini nakal! Padahal aku udah semprot obat nyamuk tadi! Biar aku semprot sekali lagi!” dia hampir beranjak sebelum aku menahannya.
“Bukan nyamuk, aku alergi debu! Jadi gini deh kalo kena debu!”
“Kenapa nggak bilang? Alergi kamu jadi kambuh kan!”
“Nggak apa-apa, besok juga hilang! Eh, cobain kuenya! Ini resep baru, kejunya lebih banyak dari biasanya, sebenernya sih ini tester buat Mamanya Mey, dia punya toko kue. Aku sering jual kue-kue ke Mamanya Mey, lumayanlah buat tambahan uang jajan. Aku lupa kasihin ke Mey tadi!”
“Nggak usah Ca! Ini kan tester!” tolaknya.
“Kamu nggak mau cobain? Ya udah deh!” aku kecewa.
“Ya udah, mana biar aku cobain!” dia berubah pikiran.
“Nih, abisin!” aku kembali bersemangat.
“Enak!” komentarnya setelah memakan beberapa kue.
“Besok aku bikinin lagi buat kamu!” aku senang dia mau menghabiskan kue buatanku.
“Ca balik yuk!” ajaknya setelah menghabiskan kue buatanku.
Dia mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan tadi dia diam saja, pasti karena kecapekan. Aku jadi khawatir dia kenapa-napa di jalan. Lebih baik aku memastikan.
“Halo?”
“Kenapa Mbak?” bukannya Yusuf, malah Nanda yang mengangkat. Setidaknya Yusuf sudah sampai di rumah.
“Kakak kamu ke mana? Kok kamu yang angkat?”
“Lagi boker dia, dari tadi bolak-balik kamar mandi mulu. Salah makan paling, makanya alerginya kumat!”
“Alergi?”
“Tuh orang alergi keju, gini deh kalo abis makan keju.”
“Keju?!” aku kaget bukan kepalang. Gara-gara aku, alerginya kambuh.
“Kenapa emangnya Mbak?”
“Aku kasih dia kue keju tadi.”
“hahaha…” Nanda tertawa puas.
“Sumpah, aku nggak enak sama dia!”
“Biasa aja kali Mbak!”
“Sekarang keadaannya gimana?”
“Dia baik-baik aja Mbak!”
“Makanan kesukaannya apa sih Nan?” mungkin aku bias minta maaf lewat masakanku.
“Apa ya? Dia omnifora sih! Batu direbus aja dia doyan!”
“Ih, seriusan ah!”
“Dia suka brownies cokelat.”
“Dia cuma alergi keju atau masih ada yang lain?” aku memastikan agar kali ini masakanku tidak meracuninya lagi.
“Kalo makanan sih cuma itu, tapi dia juga alergi kucing sih! Kalo ada kucing tuh orang bakal bersin-bersin terus!”
“Ya udah Nan, makasih infonya!”
Aku mematikan telepon itu.
Aku harus melewati depan kamar Bang Kevin untuk menuju dapur. Kamarnya tidak ditutup. Dia sedang menatap layar laptopnya, sedangkan Kak Dimas sibuk membaca buku. Sepertinya mereka sedang mengerjakan tugas. Aku berlalu begitu saja tanpa menyapa salah satu dari mereka.
Aku mendengar suara langkah kaki saat tengah sibuk membuat adonan brownies untuk Yusuf. Kulihat ke sumber suara ternyata itu Bang Kevin. Aku melempar senyum padanya dan kembali sibuk mengaduk adonanku.
Dia membuka kulkas, mengambil air dingin. “Dimas kangen tuh!” serunya.
Aku tak menghiraukannya.
Merasa kuabaikan diapun pergi.
Aku juga tak tau, apa yang salah dariku. Sejauh ini aku tak merindukan Kak Dimas sedikitpun. Mungkin karena baru beberapa hari.
***
Aku dapat SMS dari Nanda tadi pagi, dia bilang Yusuf tepar. Jadi aku memutuskan untuk menjenguknya sekalian memberikan brownies yang semalam kubuat.
“Nyariin Yusuf ya? Langsung ke kamar aja Ca nggak apa-apa!” sambut Tante Hesti ramah.
Aku langsung menuju kamarnya. Pintunya tidak ditutup, dia sedang terbaring di bawah selimut. Kamarnya bagus, kelihatan banget kalo dia itu pecinta vintage.
Aku duduk di dekatnya, “Mau brownies nggak?”
Dia langsung bangkit dari bawah selimutnya. “Ngapain ke sini?”
“Ini nggak ada kejunya kok!” aku menyodorkan brownies itu padanya. Kini posisi kami berdekatan dan saling berhadapan.
Dia tersenyum manis. “Makasih!” dia mulai memakan brownies itu. Dia sempat menyuapkannya padaku, tapi aku menggeleng.
“Tenang aja kali ini aku nggak pake keju kok! Cuma pake bulu kucing aja!” candaku.
Sekali lagi dia tersenyum dengan sangat manis. Aku tak menyangka dia berubah jadi sangat manis kalo lagi sakit.
Aku ikut tersenyum melihatnya. “Selain debu ada lagi yang bikin aku alergi.” Seruku.
“Apa?”
“Senyum kamu, aku mendadak nggak bisa kedipin mata kalo lihat kamu senyum.” Candaku.
“Mulai pinter gombal ya!”
“Dari dulu juga aku udah pinter gombal!”
“Ke sini sama siapa?”
“Naik ojek online.”
“Nanti aku anterin aja pulangnya!”
“Eh nggak usah! Kamu kan lagi sakit!”
“Udah sembuh kok!”
“Nggak usah, kamu istirahat aja!”
“Ya udah biar dianter Nanda aja ya?”
“Iya gampanglah nanti!”
“Kalo lagi sakit gini, kamu manis!” lanjutku.
“Biasanya enggak?”
“Enggak!”
“Ya udah aku sakit terus aja!”
“Eh, kok gitu!”
“Biarin!”
“Nggak boleh gitu!”
“Kenapa?”
“Mau aku khawatir terus?”
“Kamu khawatir?”
“Banget!”
“Nggak boleh!”
“Nggak apa-apa dong!”
“Nggak enak sama Dimas!”
“Aku putus.”
“Kok bisa?”
“Nggak usah dibahas!”
Dia menganggu paham.
“Maaf ya! Gara-gara aku kamu jadi alergi!” aku memecah keheningan yang terjadi sepersekian menit.
Dia mengangguk. “Kamu cuma bawa brownies aja? Seret tau!” sahutnya.
Aku tersenyum. “Ya udah, aku ambilin minum!” aku berlalu mengambilkan minum untuknya.
Di dapur ada Tante Hesti. Dia tersenyum saat melihatku.
“Hai Tante!” sapaku.
“Ada apa Ca?”
“Mas Yusuf minta diambilin minum.”
“Ya udah sini dulu, temenin Tante! Tante lagi bikin jus nanas buat kalian!”
Aku langsung mendekat kearahnya yang sedang sibuk menyaring jusnya. “Yusuf itu emang rada aneh.” Keluh Tante Hesti.
“Aneh gimana Tante?” tanggapku.
“Sebenernya dia itu anak baik-baik, tapi dia sukanya main sama anak-anak urakan. Gara-gara itu dia sering ikut kena masalah, Tante sampai pusing ngurusin anak yang satu itu. Kalo diingetin langsung pergi dari rumah, bingung mau digimanain lagi!” Tante Hesti mencurahkan isi hatinya tentang anak pertamanya itu.
“Tante tenang aja, Caca yakin Mas Yusuf bisa jaga diri kok!” aku berusaha meyakinkan Tante Hesti. Bagiku, bagaimanapun sikapnya dia pasti bisa menjaga diri baik-baik, aku percaya itu.
Sekali lagi aku melihat senyum mengembang di wajah Tante Hesti, “Yusuf suka nanas, mau diapain aja asalkan itu nanas, dia tetep doyan!” Tante Hesti memberikan info, entah apa tujuannya.
“Mas Yusuf itu pecinta vintage ya Tante?” berhubung sudah terlanjur membahas Yusuf, aku teruskan saja sekalian.
“Ya gitu deh! Eh, Caca tau nggak? Dia itu takut sama kupu-kupu!” jelas Tante Hesti.
Kupu-kupu? Yang benar saja, binatang secantik itu dia takuti. Aku tertawa mendengarnya.
“Ini udah jadi!” Tante Hesti memberikan jus yang sudah tersaji di teko yang diletakan di atas nampan bersama dua gelas kosong itu padaku.
Aku segera menerimanya dan kembali ke Kamar Yusuf, “Makasih tante.”
“Lama banget Ca!” sambutnya.
“Tadi ngobrol dulu sama Mama kamu!” aku meletakan nampan itu di meja yang ada di kamrnya.
“Ngobrolin apa?”
“Kamu.”
“Pasti tentang temen-temenku?”
“Enggak juga!”
“Terus?”
“Ih kepo! Udah nih, minum!” aku memberikan segelas jus nanas untuknya.
Kami terus mengobrol sampai matahari bergantian tugas dengan bulan. Aku selalu nyaman ngobrol dengannya. Dia selalu bisa menanggapiku sesuai dengan keinginanku. Bahkan aku tidak senyaman ini saat bersama Kak Dimas.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang