Deviana birthday's

1.4K 34 0
                                    

“Shit!” aku benar-benar ingin merobek-robek kertas ini. Tugas yang semalam aku kerjakan susah payah, sampai-sampai aku telat tidur sama sekali nggak bermanfaat. Hari ini Bu Nanik, guru biologiku nggak berangkat. Ada acara keluarga katanya. Dan kami diminta menyelesaikan tugas ini. Tau begini, semalam nggak bakal aku kerjain nih tugas.
“Salah sendiri jadi orang terlalu rajin!” Monica tertawa puas sambil mencontek tugas Biologiku.
“Nyebelin tuh orang! Kan katanya hari ini harus udah jadi!” sungutku tak terima.
“Lo tau kan gimana anak-anak kelas kita? Bu Nanik paham kok!” Mey yang juga sedang mencontek tugasku itu angkat bicara. Sekarang tugasku emang lagi dicontek mayoritas anak kelas ini. Cuma aku yang udah selesai ternyata.
“Ya udahlah ya! Yang penting sekarang aku nganggur!” kalo dipikir ada untungnya jugalah!
“Eh Ca, ntar malem gue nginep rumah lo ya! Gue di rumah sendiri soalnya!” sahut Mey lagi.
“Terserah, tapi jam enam gue tinggal pergi bentar ya?!”
“Keluarga lo kemana Mey?” Fika bicara sambil tetap menatap handphonenya.
Harusnya aku yang nanya gitu. Tapi aku emang nggak terlalu kepo jadi orang. Jadi aku nggak peduli apa alesan temenku nginep di rumahku.
“Pada ke Jakarta. Mau ke mana Ca?” tanya Mey.
“Kenapa nggak ikut ke Jakarta Mey? Nemenin Yusuf ke acara ultah temennya.”
“Males gue. Serius? Kalian jadian?” Mey kaget.
“Enggak, gue sama dia cuma sahabat kok!”
“Orang yang cuma lihat aja tau kalo Yusuf suka sama lo Ca!” Monica mencibirku.
“Nggak peka sih lo!” Jenifer ikut bicara.
“Apaan sih!” sungutku. Mereka terlalu berlebihan.
“Terus nanti lo pake apa? Awas aja kalo pakean lu sampe nyeleneh!” ancam Mey. Mey memang paling ahli kalo masalah penampilan. Mey dan Jenifer, mereka orang-orang yang selalu gincu on point. Penampilan nomor satu buat mereka.
“Enggak, tenang aja! Gue udah ada dress kok buat ntar malem!”
“Lo harus pake heels!” Mey menegaskan.
“Gue nggak bisa pake heels Mey!” protesku segera.
“Kan gue pernah ngajarin lo!” Jenifer tak terima.
Aku memang bisa pake heels sebenarnya, itupun karena diajari si Jenifer. “Iya-iya!” pekikku akhirnya.
“Pokoknya gue bakal bikin lo jadi cewek paling cantik ntar malem!” Mey sangat bersemangat.
“Terserah!” tungkasku. Aku nggak peduli apa yang bakal dia lakuin ntar malem, yang jelas nggak mungkin mereka ngerjain gue.
“Eh kalian gak pada ikut nginep di rumah Caca?”
“Gue sih pengen Mey, tapi Ibu gue nggak bakal ngebolehin, kayak nggak punya rumah katanya!” sungut Fika.
“Sama, Ibu gue juga gitu!” Monica ikut angkat bicara.
“Gue skip!” Lia jelas nggak bakalan boleh.
“Gue ikut deh! Daripada tidur di kos sendirian!” Jenifer memang kos di dekat-dekat sini. Rumahnya Limbangan, kasian kalo dia laju dari rumah ke sekolah tiap hari.
“Ukay! Mau langsung ke rumah gue?”
“Gue ambil baju buat besok dulu.” Jawab Mey.
“Gue juga, bareng gue aja Mey!” Jenifer memang naik motor ke sekolah.
“Oke.”
***
Aku manut-manut aja waktu Mey dan Jenifer merombak total penampilanku selesai sholat magrib tadi. Dress panjang berwarna atas putih dan bawah hitamku yang sesuai dengan dresscode, dibuat manis dengan make up yang dilakukan dua sobatku itu.
Aku akui, ini sangat sempurna. Mereka memang hebatlah, masalah yang satu ini. Make up natural tapi kelihatan cantik, dan jilbab hitam yang dibentuk dengan eloknya biar aku nggak kelihatan kayak ibu-ibu mau kondangan.
“Serius ini adik gue? Kalian hebat juga bisa bikin si buruk rupa jadi bidadari!” puji Bang Kevin pada kedua temanku tapi sekaligus menghinaku.
“Sialan! Gue emang cantik Bang!” dengusku.
“Iya dong Kak!” Jenifer.
“Eh, tapi Caca nggak akan berubahkan kalo udah lewat jam 12?” canda Bang Kevin membuat dua sobatku ikut tertawa.
“Enggaklah Kak, kan Caca bidadari, bukan Cinderella!” jawab Mey.
“Iya gue Cinderella yang merana gara-gara punya Abang kayak lo!” sungutku.
“Eh Ca, kok belum dijemput?” tanya Mey.
“Baru sholat mungkin!” benar juga kata Mey. Harusnya dia sudah menjemputku. “Btw, kayaknya gue nggak jadi pake heels deh!” karena Mey membahas tentang jemputan, aku baru ingat kalo nggak gampang naik motor pake heels dan dress gini.
“Kenapa?”
“Kan naik motor.”
“Siapa tau dia bawa mobil!” sahut Bang Kevin. Tak lama ada suara mobil yang kayaknya berhenti di depan rumahku. “Itu mungkin!” pekik Bang Kevin cepat.
“Enggaklah! Mungkin itu tamunya tetangga kita!” rasanya nggak mungkin dia meninggalkan motor kesayangannya di rumah. Tapi perkiraanku itu meleset saat seseorang mengetuk pintu rumahku.
“Tuh kan bener!” sahut Mey semangat.
Mereka bertiga langsung menggiringku, secepat mungkin.
“Woy, pelan-pelan! Gue kan pake heels!” tegasku saat aku hampir jatuh gara-gara ulah mereka.
Merekapun melepasku dan membiarkanku jalan mendekati pintu. Aku mematung saat mendapati sosok yang sudah berada di depanku ini. Dia luar biasa gantengnya kalo pake tuxedo yang dipadukan dengan hem putih dan tatanan rambut yang rapi, juga sepatu hitam mengkilatnya.
Sama halnya denganku, dia juga mematung melihatku. Untuk waktu yang cukup lama kami hanya saling memandang satu sama lain. “Kita mau berangkat atau mau liat-liatan terus?” kami akhirnya tertawa.
“Ya udah kita berangkat sekarang!” ajaknya. “Vin, gue pinjem dulu Cacanya! Duluan!” pamitnya pada Abangku dan kedua teman-temanku.
“Hati-hati, barang antik tuh!” seru Abangku.
“Tenang aja! Gue pecinta barang antik kok!” jawabnya.
“Have fun Ca!” seru kedua temanku.
“Oke!” seruku sembari berlalu.
Memang benar, dia membawa mobil ternyata. Mobil Toyota avanza warna hitam.
Dia mendahului langkahku dan membukakan pintu untukku. “Makasih!” aku segera masuk.
Dia juga segera masuk dan menjalankan mobil ini.
“Kok kesayangannya ditinggal?” motornya maksudnya.
“Masa aku ajak kamu naik motor, emangnya aku nggak tau, pake heels plus dress gini susah naik motornya!”
“Ih kok tau? Pernah?”
“Mama sih yang bilang.”
“Btw, kalo kayak gini kamu kelihatan agak ganteng!” pujiku, yang langsung membuatnya tersenyum kecil.
“Eh Ca! Ini hari apa?”
“Kamis.”
“Bukan deh!”
“Kayaknya bener! Emang ini hari apa?”
“Hari ini kamu cantik!”
Aku sudah mencoba menahan, tapi tetap saja gombalan murahannya membuat senyumku mengembang begitu saja. “Idih gombal!” pekikku.
“Tapi kamu suka kan?”
Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela tanpa menjawab pertanyaannya.
“Ca!”
Aku kembali menoleh ke arahnya yang sedang menyetir.
“Deviana itu sahabatku, dan sebenernya dia ngadain birthday party yang ngewajibin bawa pasangan cuma biar aku deket sama cewek.” Deviana itu temannya yang berulang tahun, dia pernah satu bimbel denganku dulu. Aku lumayan mengenalnya.
“Emang kamu nggak lagi deket sama siapa gitu?”
Dia menggeleng.
“Kenapa?”
“Kebanyakan cewek manja!”
Aku paling nggak suka kalo cowok seenaknya aja bilang kalo cewek itu manja. Pertama, karena nggak gampang jadi cewek. Kedua, aku bukan cewek manja. “Nggak juga! Aku enggak!” protesku.
“Makanya aku suka sama kamu!” jawabnya sambil menatapku sebentar.
Suka? Aku tau betul apa maksud tersiratnya. Kayaknya emang bener kata temen-temen, dia emang punya perasaan yang beda. “Masih jauh nggak sih?” aku mengalihkan pembicaraan. Untuk sekarang aku nggak bisa rusak moment ini gara-gara masalah cinta-cintaan.
“Udah sampai!” dia memarkirkan mobilnya di sebuah hotel tempat birthday partynya Deviana.
Dia turun duluan untuk membukakan pintu untukku.
Kami langsung masuk setelah dia mengunci mobilnya.
“Nanti aku tinggal bentar, aku disuruh ikut candle wish!” bisiknya. Buat yang belum tau, candle wish itu upacara sakral diacara sweet seventeen. Semua lampu dimatikan, dan ada 16 orang bawa lilin yang nantinya akan mengantarkan orang yang berulang tahun ke lilin ultahnya. Jadi lilin dikuenya adalah lilin ke 17. Yang berulang tahun harus meniup satu persatu lilin setelah orang yang membawa lilin menyampaikan harapannya untuk orang yang berulang tahun.
Oh iya, Deviana harusnya kelas 11 sepertiku, tapi karena dia terlalu cepat masuk TK, jadinya sekarang dia udah kelas 12. Tapi sebenernya aku sama dia sepantaran.
“Oke.”
Kami menemui orang yang berulang tahun. Dia terkejut melihatku, “Caca? Ya ampun kamu tambah cantik aja, pantesan Yusuf betah jomblo demi kamu!” dia sangat antusias.
“Happy sweet seventeen Dev, semoga panjang umur, sehat selalu, makin baik dari sebelum-sebelumnya.” Aku mengucapkan selamat sambil memberi kado dariku dan Yusuf. Yusuf memberikan sepatu futsal, sedangkan aku memberikan baju renang. Deviana emang agak tomboy.
Dia menerima kado dari kami dan meletakkannya di meja yang memang digunakan  untuk meletakkan kado. “Amin. Eh, kita udah lama banget ya nggak ketemu? Dan sekarang kita ketemu lagi dengan situasi yang beda!”
“Iya Dev. Dunia emang nggak selebar daun kelor ternyata.”
“Ini gue masih dibutuhin nggak?” sahut orang yang dari tadi cuma jadi pajangan saat aku bersapa ria dengan Deviana.
“Masih dong, kalo cewek yang lo kejar yang satu ini sih, gue dukung 100%! Dia baik!”
“Bisa aja!” sahutku.
“Ya udah ya, gue kan tamu!” Yusuf menggandengku untuk duduk disalah satu meja yang sudah di sediakan.
“See you!” aku melambai pada Deviana.
Aku merasa tiga orang cewek yang duduk di meja depanku sepertinya memperhatikanku daritadi. Tapi, entahlah! Mungkin aku aja yang ke ge-er an.
Acara sekarang adalah penampilan dari beberapa band, kata Yusuf sih itu teman sekelasnya. Gara-gara bulu mata palsu yang tadi dipasangkan Mey membuat mataku pedas.
“Ngantuk?” dia memegang pipiku lembut sambil tersenyum manis.
Aku meletakkan tangannya kembali ke meja. “Enggak, bulu matanya bikin pedes!”
“Lepas aja! Tetep cantik kok!”
“Enggak ah, ini hasil kerja keras dua sohibku. Masa nggak aku hargai?!” aku tersenyum kecil.
“Ya udah.”
Bukan aku yang ke ge-er an, tapi memang tiga cewek dengan baju kurang bahan yang duduk di meja depanku itu memang melihatiku. Prediksiku mereka suka sama Yusuf, buktinya mereka langsung menyobek-nyobek tisu saat Yusuf memegang pipiku tadi.
“Aku tinggal bentar ya! Bentar lagi candle wish!” pamitnya sebelum pergi.
Kini tiga wanita di depanku itu menatapku dengan sadis. Tapi aku sama sekali tak memperdulikannnya dan tak merasa terganggu. Bagiku, mereka itu nggak penting. Itu artinya nggak perlu diladeni.
Lampu mulai di padamkan. Para pembawa lilin sudah masuk. Aku merasa ada yang menarikku, bisa kutebak ini tiga cewek di depanku tadi. Aku sengaja menurut saja supaya nggak ada keributan. Kasian Deviana kalo acaranya gagal gara-gara ada keributan.
Mereka membawaku keluar ruangan. Di sini sepi, dan mereka langsung mendorongku ke arah tembok. Hampir aja aku jatuh, tapi untuk aku bisa kembali mengatur keseimbanganku. Kalo aku sampai jatuh, kuratakan wajah mereka dengan heelsku.
“Eh, nggak usah seneng dulu deh! Yusuf nggak bakal mau sama lo!” seseorang berbaju hitam tanpa lengan. Pernah lihat sinetron dimana ada adegan melabraknya? Ya kira-kira begitu mereka.
“Iya, lo itu nggak ada apa-apanya kalo dibandingin kita!” orang lain dengan baju putih yang juga tanpa lengan.
“Berani lo deketin dia lagi, abis lo!” ancam orang ketiga dengan baju putih berlengan hitam ketat.
“Nggerti nggak?!” bentak orang yang pertama bicara.
Aku hanya diam melihat tiga cewek nggak punya malu ini. Dari cara mereka menarikku tadi, mereka itu cuma cewek-cewek manja. Tenaganya lemah banget. Aku emang nggak suka ada yang ngatain cewek itu manja, tapi aku lebih nggak suka lagi sama cewek-cewek manja yang sok kayak mereka.
“Apa lo lihat-lihat!” cewek ketiga melayangkan tamparan.
Dengan cepat aku tangkis dan membuatnya terdorong ke arah dua orang temannya dan mereka jatuh ke lantai. Lihat, lemah banget! Padahal tadi itu aku tangkis dengan pelan.
“Anjing lo!” seru cewek kedua.
“Nantang lo?!” cewek pertama tak terima.
“Kesalahan lo cari masalah sama kita!” cewek ketiga ikut bersuara.
Mereka sepertinya mau membalas, tapi mereka kesulitan berdiri gara-gara heels mereka terlalu tinggi. “Mau gue bantu bangun?” aku mengulurkan tanganku.
Mereka malah menghempaskan tanganku, tapi tenaga mereka terlalu lemah untuk melawanku. Akibatnya malah mereka terhempas lagi ke lantai.
Walaupun kesusahan mereka kini bisa berdiri dan mengepungku.
“Lo itu cuma cewek munafik yang sembunyi di balik jilbab lo!”
“Paling juga lo ngembunyiin rambut ombre lo kan!”
“Cewek kayak lo tu nggak pantes di sini!” dia mendorongku.
Aku sedikit terdorong karena tak ada ruang untukku.
Salah satu dari mereka memegang jilababku ingin menariknya sepertinya. Ini nggak bisa ditoleran lagi. Dengan cepat aku mencekram tangannya keras dan memelintirnya, membuatnya merengek kesakitan. Kedua temannya kini agak mundur, takut kubuat sama seperti dia.
“Gue nggak peduli sama bacot kalian! Tapi sekali lagi lo berani nyentuh gue, seumur hidup lo bakal nyesel!” aku mendorongnya.
“Masih nggak berubah ya!” sahut seseorang yang tak kutaui sudah berapa lama di sini. Dia mendekat, “Saran gue sih, nggak usah cari ribut sama dia!” cowok itu sepertinya ada dipihakku.
Merasa malu, mereka bertiga kembali masuk. Gimana nggak malu? Mereka yang cari masalah, dan mereka juga yang kalah!
Aku juga berlalu meninggalkan orang yang tak ku kenal itu.
Dia mengejarku dan menyamai langkahku. “Jangan bilang lo lupa sama gue!” dia tersenyum kecil.
Aku berhenti untuk memastikan siapa dia, aku melihatnya dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi. “Ferdinan?” itu mantanku. Dia sangat berbeda dari dulu. Sekarang tubuhnya gagah, dia juga terlihat tampan, dengan hem putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana bahan warna hitam.
“Baguslah inget! Kirain udah lupa!” dia berjalan mendahuluiku sekarang.
Kami kembali ke ruang acara.
“Lho kalian dari mana?” sambut Deviana.
“Fans lo cari ribut sama Caca!” pekiknya pada Yusuf yang berdiri bersama Deviana.
“Mereka bikin kacau aja! Biar gue kasih pelajaran!” sisi tomboy si Deviana muncul. Nggak pas banget sama gaun yang dia pake. Gaun ala-ala Princess Aurora.
Ferdinan langsung merangkul  Deviana, “Hari ini kamu jadi cewek anggun kan?!”
“Gaya lo! Sok-sokan nyuruh Devi jadi anggun! Lo sendiri suka cewek tomboy kan!” pekikku. Aku tau benar selera orang yang satu ini. Dulu aku juga tomboy soalnya.
“Biarin! Pacar-pacar gue!” sahutnya tak mau kalah.
“Kamu nggak diapa-apain mereka kan?” Yusuf mengkhawatirkanku.
“Yang ada mereka yang diapa-apain Caca!” sela Ferdinan.
“Kok kalian kayaknya udah akrab ya?” selidik Deviana. Melihat ke arahku dan Ferdinan secara bergantian.
“Dunia kayaknya makin sempit aja deh! Ferdi itu mantanku waktu SD!” jelasku.
“Serius?” Deviana tak percaya.
“Iya, dulu Caca belom kayak gini, masih buluk dia!” ledeknya.
“Ih, nggak ngaca nih orang! Dulu ya Dev, dia itu item, cungkring, dekil lagi!” aku membalas.
“Kalian masih akur-akur aja?” Deviana bingung.
“Emang kalo jadi mantan harus musuhan?” tanya Ferdinan. Kita memang cukup dewasa untuk menanggapi status mantan.
“Tapi sama…” aku sudah tau siapa yang akan dia bahas.
“Udah ya! Kalian berdua have fun! Kita mau ke sana dulu!” aku langsung menarik Yusuf pergi. “Makan yuk!” sekarang sudah saatnya makan, jadi aku langsung mengajak Yusuf makan.
Selesai mengambil makan kami kembali duduk dan berbincang. Tiga cewek rese tadi kayanya udah minggat dari sini. Malu mungkin gara-gara kalah sama aku.
“Kamu beneran nggak apa-apa?” dia memastikan kondisiku.
“Nggak usah sekhawatir itu juga kali!” aku memegang tangannya berusaha membuatnya lebih tenang.
Dia menatapku lekat. Lebih lekat dari elang yang siap menerkam mangsanya
Aku rasa suasana sudah nggak kondusif. Aku menarik tanganku kembali. “Pulang kapan nih? Udah malem banget lho!” sekali lagi aku mengalihkan pembicaraan.
“Kita pamit sama tuan rumah dulu!” akhirnya setelah pamit pada Deviana dan juga Ferdinan, kami meninggalkan tempat ini.
Serius, suasana di mobil bener-bener canggung. Dia fokus dengan jalanan sedangkan aku melihat ke luar jendela. Sialnya lagi, sekarang mobil ini kejebak macet. Nggak bisa ya? Macetnya ditunda dulu.
“Kalo ngantuk tidur aja!” dia memegang pipiku lembut.
Aku menyingkirkan tangannya, walaupun sebenarnya aku suka waktu dia pegang pipiku seperti itu. “Enggak, lagian ini masih jam 8, aku belum ngantuk!”
“Orang udah lima watt gitu!”
“Ini gara-gara bulu mata yang bikin pedes.”
“Copot aja!”
“Harus pake make up remover biar nggak sakit!”
Dia mengambil tisu basah, dan langsung melepaskan bulu mataku. Sepertinya dia ahli.
“Nggak bilang dari tadi kalo ada tisu basah!” sungutku mengetahui ternyata dia punya tisu basah di mobilnya.
“Kan kamu nggak tanya.” Dia masih sibuk melepaskan bulu mataku, aku menurut saja. “Mama sering minta tolong lepasin bulu matanya kalo abis kondangan.” Jelasnya yang telah selesai melepaskan bulu mataku.
Aku mengambil tisu basah dan membersihkan make upku. “Pantesan.”
Sekarang udah nggak canggung lagi. Semua kembali normal.
“Minggu depan Nanda tanding kan?” Nanda memintaku datang ke pertandingan antar sekolahnya itu.
“Iya, bukan pertandingan besar, cuma tanding antar sekolah!” jawaban yang cuek.
“Kamu nggak dateng?”
“Enggak.”
“Tega banget!”
“Ini bukan pertandingan penting Ca, lagian aku ada kelas tambahan.” Jelasnya.
Aku tidak menjawab.
“Si kampret satu itu pasti ngerengek minta kamu datang ya?”
“Kalo adeknya kampret, kakaknya juga kampret dong!” aku tertawa.
“Kalo sama kamu emang manja banget! Sama Mama aja dia nggak pernah manja lho!”
Baru tau. Ternyata adikku yang satu itu memang cuma manja kepadaku.
Setelah menunggu lama, mobil ini bisa terlepas dari kemacetan yang luar biasa panjangnya. Ada truk pengangkut beras terguling dan menghalangi jalan, pantas macetnya sampai separah ini. Untung saja nggak ada korban jiwa.
Mobil ini langsung melaju cepat dan tak butuh waktu lama kami tiba di rumahku. Sama seperti sebelumnya, dia membukakan pintu untukku. Bang Kevin sudah menunggu di depan rumah saat kami tiba. Dia mengantarku masuk.
“Vin!” serunya sambil tersenyum.
“Aku masuk dulu ya!” aku melenggang masuk meninggalkan mereka. Aku tidak langsung pergi, aku mencoba mendengarkan apa yang akan mereka bicarakan.
“Sorry kemaleman, macet!”
“Caca adek gue satu-satunya, mainin hatinya sama aja cari mati!” Aku tau dia sangat menyayangiku. Tapi apa dia memang selalu sesadis itu sama temen-temenku?
“Gue nggak main-main sama Caca!” dengan tegas Yusuf mengatakan itu. Detik itu juga hatiku mulai meluluh padanya. Dia membuktikan, kalo dirinya adalah cowok yang tau cara memperlakukan cewek dengan baik. Mulai dari perhatian kecil seperti membukakan pintu mobil, menarikan kursi untukku duduk, membawakan heelsku yang tadi kulepas, sampai jawaban tegas yang dia berikan pada Bang Kevin.
“Lo tau kan, masih ada Dimas?!”
“Gue tau, dan bagi gue nggak perlu jadi pacarnya untuk bikin Caca bahagia!” rasanya aku ingin keluar dan memeluknya. Bukan bermaksud membandingkan, tapi sejujurnya aku lebih suka perlakuannya padaku dari pada perhatian yang diberikan Kak Dimas.
“Baguslah, lo tau posisi lo!”
“Gue cabut dulu!” tak berselang lama suara mobilnya terdengar menjauh.
Aku tersentak kaget sampai menjatuhkan heelsku, karna pintu yang tiba-tiba terbuka. Aku nyengir saat Bang Kevin melihatku.
“Nguping ya?!” tuduhnya.
“Enggak, orang Caca nggak sengaja denger!” alibiku.
“Oh iya, temen-temen kamu nggak jadi nginep di sini!”
“Kenapa? Pasti Abang ganggu ya?” aku menyelidik, walau sebenarnya tak mungkin itu terjadi.
“Lia di rumah sendiri, makanya mereka nemenin Lia.” Orang tua Lia memang sering pergi tiba-tiba dan kasihannya Lia adalah anak tunggal.
“Ya udah deh Bang! Aku mau istirahat dulu!” aku melenggang menuju kamar dan langsung merebahkan diri.
Besok keputusan final, apakah aku akan tetap bersama Kak Dimas atau mengakhiri semuanya. Aku mulai goyah. Sikap Yusuf malam ini, ditambah waktu yang kubabiskan bersamanya, membuatku luluh.
Dia cowok yang bener-bener sempurna. Tapi, diwaktu yang sama aku masih merindukan Kak Dimas. Apalagi hubunganku dengan Kak Dimas sudah cukup jauh. Aku jadi plin-plan gara-gara cinta.
“Said you needed a little time from my mistakes. It’s funny how you used that time to have me replaced…” Bang Kevin menyanyikan penggalan lagu That should be me, lagu baru dari Justin bieber saat dia melewati kamarku.
Entah sengaja atau tidak itu membuatku tersindir. Dengan cepat aku keluar dari kamar dan mengejarnya yang sedang mengambil minum di dapur. “Apaan sih Bang! Nggak usah kayak gitu deh!” sungutku tak suka.
Dia tersedak, terkejut dengan kahadiranku mungkin. “Kenapa sih Ca? Muncul tiba-tiba, kalo abang jantungan gimana!” keluhnya.
“Abang tuh yang kenapa!” aku tak mau kalah.
“Kamu kenapa sih Ca? Marah-marah nggak jelas! PMS?” Bang Kevin terlihat bingung.
Sepertinya dia memang tak bermaksud menyindirku. Aku langsung berniat pergi, tapi Bang kevin menahanku.
“Eh, enak aja main pergi! Jelasin dulu, ada apa!” dia langsung mencegatku.
“Minggir gak!” ancamku.
“Nggak!”
“Caca lagi nggak mood bercanda Bang!”
“Abang juga nggak bercanda! Kamu kenapa lagi sih?”
Aku menggeleng pasrah. Aku bingung dengan apa yang aku rasakan.
“Biar Abang tebak, Dimas?” tebaknya. Dia tau besok aku harus memutuskan kelanjutan kisahku dengan sahabatnya itu.
“Aku bingung Bang.” Sembari berlalu menuju halaman belakang.
Bang Kevin mengekor, “Terserah apa keputusan kamu, yang jelas kamu nggak perlu takut nyakitin hati orang, yang penting sekarang kamu ambil keputusan yang bikin kamu tenang!”
Aku rasa aku tau harus apa.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang