Teman-temanku sedang harap-harap cemas di depan kelas. Orang tua sedang berkumpul di kelas. Aku hanya duduk santai melihat yang lain ketakutan. Ada untungnya juga aku belajar sungguh-sungguh, aku jadi tidak khawatir sekarang. Aku berani bertaruh tidak ada nilai C di rapotku. UKK kali ini kukira menjadi ujian terakhirku, sampai-sampai aku benar-benar menyiapkannya dengan matang.
Aku semakin senang karna tidak lagi ada peringkat sekarang. Menurutku peringkat itu justru mendiskriminasi siswa. Seolah-olah peringkat atas adalah mereka yang hebat, sedangkan peringkat bawah milik mereka yang payah. Padahal tidak semua orang membutuhkan pelajaran-pelajaran sialan itu.
Para musisi tidak butuh logaritma untuk bisa sukses. Para atlet tidak butuh teori fisika untuk bisa berjaya. Para pengusaha tidak butuh unsur periodik untuk menjalankan usahanya. Biarlah para penemu sibuk dengan sainsnya, tapi tidak semua orang harus menjadi penemu bukan? Sebagian lainnya akan menjadi pencipta! Tapi justru ilmu yang tak berperi kemanusiaan itu membuat para pencipta terlihat payah.
Aku rasa Tuhan punya selera humor yang tinggi. Begitu lucu dia menyusun hidup ini.
Aku akan ke tempat faforiteku saja. Saat kelas 12 nanti, mungkin nggak ada waktu untuk ke sana.
“Ca, mau ke mana?” tanya Mey saat aku menjauh dari mereka.
“Cari angin!” aku meneruskan langkahku tanpa menoleh.
Aku menghirup udara segar dalam-dalam. Pemandangan dari sini sangat indah. Banyak yang bersenda gurau bersama temannya. Ada yang lagi kasmaran. Beberapa juga terlihat sedih. Dunia SMA memang yang paling identik dengan drama. Drama yang terlalu ‘INDAH’ untuk dibagikan.
“Aku tau kamu di sini!” seru seseorang
Aku menoleh dan tersenyum padanya.
Dia duduk di sampingku, memandangi seisi sekolah ini. “Jadi, semuanya udah selesai!” pekiknya tersenyum sambil menatap ke atas.
“Hah?” aku tak paham maksudnya.
“Perjuanganku di sekolah ini dan…” dia sengaja tidak melanjutkan perkataannya.
“Dan?” aku mencoba membuatnya melanjutkan perkataannya.
“Hubungan kita!” kini dia menatapku.
Aku juga menatapnya.
“Dia bisa jaga kamu, aku yakin dia nggak akan kecewain kamu!” lanjutnya.
“Kamu juga baik, terlalu baik malah!” tungkasku.
Dia bergerak begitu saja memelukku. “Jangan cari sahabat cowok lagi! Jadi sahabat kamu itu susah! Kamu terlalu sempurna untuk sekedar jadi sahabat!” dia membelai kepalaku, dengan masih memelukku.
“Kak!” seruku pelan.
Dia melepaskan pelukannya. Dan menatapku.
“Sebelumnya kita teman baik, setelah ini aku tetep mau kita berteman baik!”
Dia tersenyum, lalu merogok kantong celananya. Dia mengeluarkan sebuah kotak perhiasan, dan mengambil sebuah cincin yang sangat indah dari kotak itu. Digapainya tangan kiriku, dia memasukan cincin itu pada jari manisku, “Semoga kamu selalu panjang umur!” namun baru setengah, dia tarik kembali. “Ini bukan hakku lagi!” dia memasangkannya pada jari telunjukku.
Aku menarik kembali tanganku dan melihat cincin putih bermata biru itu. “Sahabat.” Aku tersenyum melihatnya. “Aku harap kamu selalu bahagia!”
Dia mengangguk dan kembali melihat ke depan. “Jadi ke Solo?”
“Iya.”
“Besok aku ke Kanada! Aku lanjut di sana!”
“Salam buat keluarga kamu!”
“Akhirnya aku kumpul lagi dengan keluargaku. Ini berkat kamu, makasih!”
Entah itu ucapan terima kasih, atau ungkapan sakit hati.
“Ayo pulang!” ajaknya beranjak dari sini.
Aku mengekor di belakangnya.
***
“Happy sweet seventeen Caca!” teriak mereka kompak saat aku memasuki halaman belakang.
Ini sangat indah. Pesta kebun, semua teman-teman sekelasku dan teman dekatku ada di sini. Hiasan yang begitu ramai, seingatku saat berangkat sekolah tadi halaman belakang masih kosong. Ini benar-benar luar biasa.
Abangku langsung memelukku. “Selamat ulang tahun adek bawel gue! Panjang umur, sehat selalu, dan semoga daya ingat lo nambah!” ucapnya.
Aku memeluknya lebih erat, “Makasih Bang!”
Dia melepas pelukannya. Yang lainnya mengucapkan selamat juga padaku bergantian. Setelah itu Bunda membawakan kue dengan lilih 17 di atasnya. Bersama dengan lagu tiup lilin, aku meniup lilin itu. Ulang tahun kali ini, aku meminta agar Bang Kevin selalu bahagia, karna aku sudah sadar bahwa aku nggak akan sanggup lihat Abangku sedih.
“First cake?” senyum nakal Bunda mengembang.
“First cake! First cake! First cake! First cake!” semua orang ikut bersorak.
Aku memotong kue itu sesuai keinginan mereka.
“Eits! Ayah sama Bunda nggak menerima first cake hari ini!” tegas Ayah sebelum aku sempat memberikan kue itu padanya.
Wah, sepertinya orang tuaku sedang mengerjaiku. Baiklah! Aku memberikan kue itu untuk Kak Dimas, semoga saja itu bisa jadi obat atas rasa sakit akibat perpisahan kami. “Besok Kak Dimas ke Kanada, mungkin setelah ini kita bakal jarang ketemu!”
Dia menerima kue itu dengan senang hati.
Waktunya makan. Orang-orang terdekatku lebih memilih mengobrol bersamaku ketimbang makan. Agnes juga menceritakan semua rencananya yang belum sempat di ceritakannya padaku. Aku baru tau kalo dia sudah kenal baik dengan Aji. Dan ternyata Irfan satu bimbel dengannya, dia mengintrogasi Irfan tanpa sepengetahuanku.
“Rencana lo bener-bener rapi Nes!” pujiku.
“Makasih, berkat lo sahabat gue baik-baik aja!” teman-temanku ikut berterima kasih pada Agnes.
“Santai aja, Caca juga sahabat gue!”
“Tapi lo hebat juga Nda, bisa ubah planning dalam waktu singkat!” pekik Bang Kevin.
“Gue hampir mati rasanya gara-gara Mbak Caca tiba-tiba mau pergi ke prom nanti malem! Harusnya ini semua ntar malem Mbak! Semuanya hampir gagal, untung temen-temennya Mbak Caca pada bantuin aku!” keluh Nanda terlihat sangat frustasi.
“Kamu nemenin Kevin nanti malam?” tanya Kak Dimas.
“Aku nemenin kamu! Jangan telat jemputnya!” tegas.
Dia terlihat kaget.
“Gue kira kalian putus!” pekik Abangku dengan frontalnya.
“Kita punya banyak hubungan yang nggak bisa diputus, ya nggak Kak?” tegasku.
Kak Dimas mengangguk setuju.
“Gue mau ke toilet dulu!” pamit Yusuf. Aku rasa dia tidak benar-benar ke toilet.
“Apa cuma gue yang ngira dia cemburu?” Lia memperjelas keadaan.
“Nggak usah diperjelas!” pekikku beranjak menyusulnya.
Dia duduk di teras, aku menyebelahinya. “Langitnya berawan, tapi kok panas banget ya!” sindirku.
“Salah sendiri bikin avatar marah!” jawabnya nyeleneh.
Sial, aku tak bisa menahan tawa.
Dia menarik tanganku, dan memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Kayaknya hari ini aku banyak dapat cincin deh!
Dia masih memegang tanganku, dan melihat cincin yang ada di telunjukku. “Gue keduluan!” pekiknya.
“Lo nggak gesit sih!” sahutku sambil menarik tanganku kembali.
“Oh, nantang!” pekiknya tersenyum kecil. Dia memegang lenganku memaksaku untuk melihat padanya, dia memperdekat jarak kami, tatapan itu rasanya hampir bikin jantungku lepas. “Aku sayang kamu!” ucapnya mantap.
Aku nggak bisa menjawab. Aku hanya terpaku dengan tatapan itu. Aku jadi bertanya-tanya, apa aku benar-benar cinta pertamanya? Beruntung sekali dia bisa mendapatkan cinta pertamanya.
Dia tertawa dan melepaskanku, tapi aku masih saja tidak bisa bergerak. Rasanya badanku membeku.
Dia membelai kepalaku lembut, “Jangan natap cowok lain kayak gitu, apalagi bentar lagi kamu ke Solo kan?”
Aku langsung tersadar karena perkataannya. Dia dan Kak Dimas kompak melarangku ternyata. “Kalian kenapa mendadak kompak sih? Yang satu ngelarang aku cari sahabat cowok, yang satu ngelarang aku natap cowok lain! Dasar!” sungutku.
“Nggak gampang untuk nggak jatuh cinta sama kamu! Kamu terlalu istimewa!” kini dia menyetuh pipiku lembut.
Aku menahan senyum, apa dia sedang merayuku? Dan kenapa aku selalu melemah tiap dia sentuh lembut pipiku?
Aku menyingkirkan tangannya dari pipiku, dan menggenggamnya dengan kedua tanganku. “Kamu lanjut ke mana?”
Dia tersenyum, “Kamu mau aku lanjut di mana?”
“Kok malah tanya aku? Harusnya kamu tentuin masa depan kamu sendiri dong!”
“Kan masa depanku kamu!”
Lagi-lagi gombalan recehnya membuatku tersenyum, “Kuliah yang bener!”
“Tenang aja, aku nggak akan biarin kamu kelaparan! Aku jamin masa depan kamu!”
“Ahh, aku lupa kamu pewaris perusahaan keluarga kamu ya? Keuangan kamu stabil kan?” tanyaku menggoda.
“Human naturenya cewek!” dia bergeming.
“Eh biarin! Ayah aja mati-matian banting tulang biar gue nggak sengsara, terus kamu mau bikin aku sengsara gitu? Ya kali Ayah ngizinin!”
“Iya-iya, tapi perusahaan keluarga nantinya bakal aku kasih ke Nanda. Aku bakal mulai usahaku sendiri, kamu mau nemenin?”
Aku mengangguk.
“Wah, udah janji yang macem-macem sama Adek gue! Ingkar janji sama Adek gue sama aja cari mati lo!” sahut Bang Kevin yang tiba-tiba muncul dengan menggandeng Mey.
“Kalian…?” aku kaget melihat mereka.
“Iya dong Ca! Thanks bro, saran lo ngebantu banget!”
Kami berdua berdiri mendekat ke dua sejoli ini.
“Kapan?” tanyaku heran.
“Barusan.” Jawab Mey.
“Ihh, gara-gara lo gue nggak lihat moment berharganya Abang gue!” gerutuku pada Yusuf.
“Ehh?? Itu juga berkat saranku tau!”
“Jeni sempet ngerekam tadi, lo bisa lihat!” sahut Mey.
“Tapi kok kamu bisa bikin Abangku yang goblok ini berani nembak Mey?”
“Biasalah, trik buaya!” jawabnya meremehkan.
“Oh kamu buaya ternyata?” candaku.
“Kadang-kadang!” bisiknya sengaja dibuat agak keras.
“Abang, hajar dia bang!” aku mengadu pada Abangku.
Kamipun tertawa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe
Teen FictionApapun hubungannya, jika sudah tak ada rasa saling percaya, bertahan akan sangat menyakitkan. Sesakit apapun itu, aku tak pernah sanggup meninggalkanmu sendiri. Biarlah aku saja yang merasakan perihnya, karna terlalu sakit melihatmu terluka.