Bagian Tujuh

238 33 11
                                    

Setelah Najam pulang, aku membereskan semua minuman yang tadi ku sediakan untuknya. Dilanjut dengan mencuci piring dan menutup pintu. Beberapa hari ini Abah dan Ummi gak akan pulang kerumah. Memilih tidur di rumah yang lainnya mengurus ladang, dengan aku yang ditugaskan untuk menyuplai bahan makanan mereka.

Padahal aku sudah menyarankan untuk mempekerjakan orang lain. Tapi Abah gak mau, katanya dia masih sanggup ngurus ladang dibantu beberapa orang. Resiko punya anak lelaki tapi gak mau nerusin ladang Abah. Apa boleh buat, lagipula Abah juga tak pernah memaksakan anak-anaknya menjadi yang ia inginkan. Kata Abah "semua anak pasti punya impian yang terbentuk sejak dini, dan Abah gak sejahat itu untuk menghancurkan impian anak-anak Abah."

Abah memang yang terbaik.

Suasana rumah terlalu sepi. Berbeda dengan di rumah Abang Nur, mungkin karena aku terbiasa tinggal di Jakarta yang ramai jadi sendirian di rumah rasanya menjadi sedikit berbeda.

Aku berjalan ke arah tumpukkan kardus di sudut kamar. Menilik Zalwa ku yang sudah lama tak lagi ku sentuh, aku sampai lupa kapan pertama kali memiliki Zalwa. Karena aku mulai menyimpan Zalwa sejak 10 tahun yang lalu. Entah ada berapa Zalwa yang terdiam disini.

Membuka salah satu Zalwa yang ku tulis 5 tahun lalu. Saat-saat Luna mengutarakan perasaannya terhadap Najam padaku. Saat itu rasanya dunia ku berhenti, berlebihan rasanya untuk gadis berumur 16 tahun. Karena bagaimana pun juga, aku dan Luna sama-sama menjatuhkan hati serta dunia kami telah berpusat pada pria itu.

Kriinnngggg ...

Belum jadi aku mengingat masa lalu ponsel ku berbunyi cukup panjang. Seakan melarang ku untuk mengingat-ingat lagi hal yang telah lalu. Aku mengecek ponsel ku yang sedari tadi terus berdering dan melihat Najam sebagai id caller.

"Assalamualaikum." Sapa Najam

"Waalaikumsalam. Ngapa?"

"Gak bisa ya, lebih ramah sedikit?" Aku tertawa. Sungguh aku tak sengaja, itu seperti sudah kebiasaanku menjawab telpon dari teman temanku di Jakarta.

"Malam ini bisa nemenin gak?" Lanjutnya lagi.

"Kemana?"

"Beli sesuatu, besok kan Luna ulang tahun. Kamu lupa?" Gak lupa kok Najam. Aku ingat, masalahnya atensi ku terlalu terpusat padamu. Jadi hari ulang tahun Luna tertutupi dengan kejadian kamu perhatian tadi.

"Boleh. Pakai mobil, terus aku mau makan Miso ya." Miso itu bukan Sup Khas Jepang itu loh. Miso itu Mie Bakso, aku, Najam dan Luna suka menyingkat segala apapun sesuka kami. Kadang-kadang membuat orang di sekitar kami hanya bisa menggelenggkan kepalanya.

"Miso aja? Gampang. Aku jemput ba'da Isya ya."

"Plis Najam! Jam 12 malem juga ba'da Isya!" Seru ku. Bagaimana pun juga Najam itu makhluk paling sering terlambat di muka bumi ini. Jika kami berjanji temu jam 10, maka jam 10 lah Najam baru bangun dari kasurnya.

Najam cuma ketawa. Ya Allah, dia gak tahu apa gimana capeknya aku nunggu dia peka sama perasaan ku eh sekarang masih juga disuruh nungguin dia dateng ngajak bikin kejutan buat istrinya.

Dan pertanyaannya, kenapa aku masih tetap bertahan berada di sekitarnya? Sepertinya benar kata Kay, kalau jiwa ku terdeteksi sebagai jiwa Masokis. Golongan orang-orang yang yang senang tersiksa jiwa dan raganya. Udahlah dipikir sampai Nizam dan Azzam nikah juga gak bisa ke jawab itu. Padahal umur mereka juga masih 8 tahun.

"Jemput jam berapa? Sebut jam aja jangan ba'da isya, lupa kalo jam di rumah kamu tuh baterai habis semua." Keluh ku dan Najam masih tertawa.

"Jam 8 aku jemput. See you, Wassalamualaikum."

[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang