Naruto menatap intens bergantian antara Hinata dan Sumire. Jika dipikir-pikir, mereka lumayan mirip dari segi sifat. Sama-sama pemalu, gugup, dan gampang panik. Dia berdoa untuk anaknya. Kalau ini pilihan Boruto, aku bisa apa?
"Ada yang mengganggu, Sayang?" tanya Hinata yang melihat ekspresi suaminya berubah-ubah.
Naruto menggeleng, beralih ke arah Sumire. "Apa kau betah bersamanya?"
Pertanyaan Naruto mengingatkan Hinata pada Toneri. Saat Toneri dan Hinata di perpustakaan, dia menanyakan hal yang sama, yaitu apa kau betah bersamanya? Dia menjawab dalam hati. Namanya juga cinta, dibetah-betahkan saja walau aku sebenarnya tidak betah. [Baca Shitteru kalau tidak percaya.]
"Adanya Boruto, kehidupanku mulai berubah." Sumire mengelus kepala Boruto yang berada di pangkuannya. Keluarga Namikaze ini memang sedang kumpul bareng calon menantu di ruang keuarga. Karpet sehangat kasur pun ikut.
"Berubah?" tanya Naruto dan Hinata bebarengan.
"Kenapa kau ikut-ikut ucapanku," lawan Hinata.
"Aku mengucapkan satu detik lebih dulu daripadamu, Sayang." Naruto menunjuk jam di dinding.
Hinata bersikukuh menyangkal. "Tidak, kau pasti mengarang, Sayang."
"Ayah, Ibu, kenapa kalian bertengkar karena hal sepele. Padahal, cuma kata yang tidak berpengaruh," ucap Boruto menengahi ayah ibunya.
"Diam!" bentak mereka bebarengan lagi.
"Yawla ..., aku malah dibentak. Sumire aku dibentak," adu Boruto. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang Sumire. Menyembunyikan wajahnya yang merengut.
"Kau meniruku lagi, Sayang."
"Tidak. Aku lebih dulu seperempat detik darimu."
"Kau mengarang. Aku lebih cepat darimu."
"Coba kita hitung dengan stopwatch." Naruto mengambil benda itu dari atas meja.
"Baiklah. Satu ... dua ... tiga ...," hitung Hinata perlahan, "Diam!"
"Berubah?"
"Yang mana, berubah atau diam. Kau ini bagaimana, Sayang."
"Ulangi. Yang diam saja, baiklah silakan menghitung, Ma Sweety."
"Memangnya popok, sewita sewiti." Hinata mencubit bagian sensitif Naruto. Di mana lagi jikalau bukan pinggang.
"Aduh, sakit."
"Ayo ulangi. Satu ..., dua ..., ...."
"Berubah?"
"Sayang, aku belum mengucapkan tiga."
"Ini kan yang tercepat."
"Tidak bisa kau curang."
"Anu ..., Paman dan Bibi jadi bertanya padaku tidak?" Daripada Sumire menonton debat tidak berujung, lebih baik to the point saja.
Naruto menggaruk pipi berguratnya. Kikuk di hadapan calon anak. "Kubiarkan Hinata bertanya padamu. Silakan, Madam Hinata."
"Jadi, apa yang berubah?"
"Karena yatim piatu, hidupku kosong."
"Tidak apa-apa, sekarang kami juga orang tuamu," timpal Hinata.
"Sejak hari pertama, dia mengangguku terus, Bibi. Berlanjut hingga hari berikut-berikutnya."
"Dia memang mirip ayahnya yang ..., seperti itulah." Hinata melirik Naruto yang menyengir ria.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Scat
FanficSequel 'Shitteru' Naruto pulang ke Jepang. Dia telah menyelesaikan kuliahnya. Berniat mencari kekasih hatinya yang bahkan tak pernah memberi kabar selama ini. Di mana dia? Di mana Hime-ku? Apa dia sudah menyerah untuk menungguku? Aku mencintaimu. A...