F I V E

49 9 9
                                    

Langit dan laut dan hal-hal yang tak kita bicarakan

-Banda Neira-

Lautan adalah tempat favoritku di dunia ini, zona amanku. Sudah lama aku jatuh cinta pada lautan, pada bibir-bibir pantai, juga pada kelembapannya. Aku sering menghabiskan masa kecilku di pantai bersama keluarga besarku, terutama karena pantai adalah salah satu daya tarik utama wisata alam di Provinsi Lampung. Saat memasuki usia remaja, Ayah kerap mengajakku ikut memancing di tengah laut bersamanya hanya sekedar untuk menemaninya atau menghabiskan akhir pekanku di tengah lautan. Lama setelahnya baru aku memutuskan untuk belajar memancing. Ikan pertama yang berhasil kutangkap adalah ikan kerapu kecil yang menggeliut hebat di ujung mata kailk. Namun karena tidak tega melihat ikan yang masih begitu kecil sekarat, aku meminta ayahku untuk membebaskannya dan membiarkannya kembali berenang bebas di lautan. Sejak itu, aku tak mau lagi ikut ayah memancing.

Matahari pagi membiaskan warna merah mudah dan semburat jingga yang cantik di ufuk langit. Aku menikmati keheningan pagi dengan bertelungkup di atas papan selancarku, membiarkan arus gelombang pagi membawaku. Kepalaku kurebahkan di atas kedua tanganku yang bersilang, memerhatikan kapal-kapal nelayan yang kembali ke tepian.

Pagi ini aku pergi berselancar tanpa Logan dan Max. Mereka masih terlelap nyenyak di balik selimut mereka dan aku butuh udara segar untuk berpikir jernih tanpa kehadiran mereka.

Ini bukan kali pertama aku tertarik dengan seseorang. Tuhan tahu betapa mudahnya aku jatuh cinta. Salah satunya bahkan membuatku patah hati habis-habisan. Aku sama sekali tak berencana untuk jatuh cinta lagi, tapi kehadiran Logan membuatku mengharapkan sesuatu yang lebih darinya.

Kilasan kenangan tentang Farouq kembali membanjiri ingatanku. Betapa mudahnya tertarik pada sosoknya yang dewasa dan berkepala dingin. Meskipun aku tahu ia diluar jangkauanku dan menjalin hubungan dengannya melanggar kode etik perusahaan tempatku bekerja, tapi toh nyatanya hal itu tidak berhasil membuatku berpikir jernih. Sejak kecupan pertamanya di balik remang cahaya lampu malam kota Bandar Lampung, aku membiarkan hatiku terjatuh di hadapannya. Tapi sesuatu yang tak seharusnya terjadi memang tak bisa dipaksakan. Itu adalah pelajaran hidup yang ku dapatkan dengan cara yang tidak menyenangkan.

Perhatianku begitu teralihkan hingga aku tak menyadari kedatangan ombak yang cukup besar, membuatku terdorong jatuh dari papan selancarku, dan membuatku terperangkap di bawah ombak dan terdorong hingga punggungku menabrak benda keras yang kuduga adalah batu karang. Aku mengerang kesakitan, membuat sejumlah air laut tertelan dan masuk ke dalam hidungku, sehingga membuatku panik seketika. Aku merasakan leash-ku menarik-narik kakiku, dengan mengabaikan rasa sakit yang menjalari punggungku dan perih di saluran pernafasanku, aku segera berenang kembali ke permukaan dan menarik papan selancarku mendekat.

"Arrgh." erangku.

Susah payah memanjat kembali ke atas papan selancarku. Aku menyesali keputusanku berselancar tanpa wetsuitku dan hanya dengan menggunakan sport bra dan celana pendek. Kini, punggungku menjerit-jerit perih karena terpaan air garam.

Aku mendayung kembali ke bibir pantai, menancapkan papan selancarku ke pasir dan menjatuhkan diri di atas pasir dengan sedikit dramatis. Sejak kali pertama belajar berselancar, jatuh dari papan selancar bukanlah hal yang baru bagiku. Tapi menghantam karang, ini adalah pengalaman pertama yang rasa-rasanya tak ingin kuulang lagi.

Aku berusaha melihat kerusakan kulit punggungku. Selain luka gores yang perihnya minta ampun dan sedikit darah yang keluar, nampaknya aku baik-baik saja. Aku mencoba menarik nafas dalam-dalam tanpa kesulitan. "Semoga tidak ada tulang yang retak" gumamku dalam hati.

Di kejauhan, para nelayan menurunkan peti-peti ikan hasil tangkapan mereka. Seandainya kondisi punggungku tidak seburuk ini, aku pasti sudah menyambangi para nelayan untuk melihat-lihat ikan hasil tangkapan mereka. Tapi akan lebih bijak bila aku kembali saja ke penginapan dan meminta tolong seseorang untuk membersihkan luka di punggungku.

Reaksi pertama Max saat melihat kondisi punggungku adalah ekspresi melongo-nya selama beberapa detik, lalu diikuti dengan kerenyitan dalam. "Geez, aku pernah mengalami hal yang sama di Lisbon dan aku masih ingat rasanya."

Aku memutar bola mataku. "Paling tidak kau bisa membantuku membersihkannya, kan?"

"Apa kau bawa antiseptik atau alcohol?"

Aku menggeleng membuat Max menghela nafas panjang. "Aku akan tanya Logan saja." Ia buru-buru masuk ke dalam, mencari Logan.

Tak lama kemudian, Logan dan Max muncul dari balik pintu. Tatapan Logan langsung terpaku pada punggungku dan aku tak pernah melihatnya sekhawatir itu. Ia sefera menghampiriku dalam langkah-langkah lebar. "Apa yang terjadi?"

Aku mengangkat bahu seakan itu bukan masalah besar. "Tergulung ombak dan menabrak karang. Ku rasa lukanya tidak dalam."

"Yah, tapi lukamu mengeluarkan darah cukup banyak."

"Tidak seburuk kelihatannya kok."

Logan mengabaikanku. Ia berpaling kearah Max yang berdiri di belakangnya. "Tolong ambilkan air panas dan kotak P3K dari ranselku."

Tanpa banyak bicara Max kembali menghilang ke dalam sementara Logan kembali menekuni luka-lukaku.

"Kenapa kau pergi berselancar sendirian?" ada kekhawatiran dalam suaranya yang tak bisa ku maknai. "Kenapa tidak membangunkanku atau Max?"

"Aku tidak ingin mengganggu tidur kalian."

Logan mendengus. "Kita ke tempat ini untuk berselancar Luna, bukan untuk tidur. Jadi lain kali jangan ragu-ragu untuk membangunkan kami."

Aku menggangguk pelan. Seluruh kata terkunci di bibirku.

Aku merasakan jari terlunjuk Logan menyusuri punggungku yang terluka, membuatku merinding dan melupakan rasa perih dari lukaku barang sekejap. Sentuhannya seringan bulu, namun meninggalkan jejak panas disepanjang jalur sentuhannya.

"Semoga lukamu tidak berbekas." gumamnya kelam.

Lagi-lagi tak ada kata yang dapat kuucapkan. Tenggorokanku tercekat karena efek sentuhannya.

Saat Max muncul kembali dengan sebaskom air, handuk dan kotak P3K, Logan segera membersihkan lukaku dengan hati-hati, menyingkirkan sisa-sisa darah yang mulai mengering dan mengerak di kulit punggungku yang tak terluka. Ia juga mengoleskan salep antiseptik yang membuat luka-lukaku terasa dingin.

"Lukamu sudah bersih." Logan merapihkan kotak P3K, mengeluarkan sebotol ibuprofen dan mengeluarkan dua butir yang ia sodorkan padaku. "Minum ini dan beristirahatlah. Siang ini kita kembali ke Sunny Side."

"Aku baik-baik saja, Logan."

"Sekali ini saja, hibur aku oke?" nada suaranya menuntut dengan lembut. Matanya yang sewarna perak cair menatapku dengan cara yang membuatku kesulitan bernafas. Aku bahkan telat menyadari tangannya yang menangkup pipiku dengan hangat. "Sudah cukup bagiku untuk mengkhawatirkanmu hari ini."

Andaipun ia mendengar Max yang berdeham dan kembali masuk ke dalam dengan linglung, ia tidak menunjukkannya. Perhatiannya tak teralihkan dari wajahku.

Akhirnya aku mengangguk pelan. "Baiklah. Terima kasih sudah membantuku membersihkan lukaku."

Ia menyunggingkan senyuman miring yang menonjolkan lesung pipit yang selama ini luput dari perhatianku. "Cukup berhenti membuatku khawatir, oke?"

Aku tertawa pelan dan mengangguk sepenuh hati. "Pastinya."

Seluruh kesadaranku ingin meneriakkan pertanyaan yang tak berani kutanyakan padanya.

Apakah ia merasakan apa yang saat ini ku rasakan?

-0-

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang