Gibran dan May Ziadah

1K 12 6
                                    

“Kamu pernah nyayangin orang sebesar itu?” tegurnya di sore hari ketika aku menghadiri MEET THE AUTHOR di Gramedia PIM.  Aku tersenyum dengan ibu-ibu di hadapanku dan mengembalikan bukunya yang ada di genggamanku.  Engkau ada di barisan terakhir antrian yang diisi kebanyakan wanita itu.  I could’ve gone anywhere in the world, and never forget that voice. Ever.  Berat aku menoleh ke arahmu.  Kalau tidak mendengar suaramu terlebih dulu, aku mungkin tak lagi akan mengenalmu di usiamu yang ku tahu hanya bertaut dua tahun dariku.  Rambutmu sudah menipis di bagian atas, perutmu menggemuk.  Aku tak pernah tahu seberapa berubah diriku di hadapan orang lain, dibanding SMA dulu.  Tapi matamu, masih sama.  Mata yang selalu mampu membuatku seperti siap menumpahkan semua rahasia yang ada di dalam diri. 

“Sebesar apa, Wisnu?” 

“Sebesar tulisan-tulisan Gibran dan May Ziadah.”

Aku tersenyum tipis, masih ingat ternyata kamu, Wisnu.  Engkau menggenggam bukuku.  Buku itu berisi begitu banyak cerita tentang aku dan dia, tentu dengan nama yang berubah.  Dan karena cerita kami begitu saru dari mata orang lain, maka satu-satunya orang yang tahu bahwa cerita buku itu berdasarkan cerita pribadi hanyalah aku, dan tentu saja dia, Wisnu.  Berapa banyak waktu yang telah lewat?  Empat puluh satu tahun?  Tetapi terkadang ada satu cerita yang engkau simpan begitu dekat dengan hatimu, sehingga waktu empat puluh satu tahun itu seperti tak pernah terlewatkan bahkan hanya dengan sehari.  Seperti saat ini, ketika Wisnu berdiri di hadapanku, yang kulihat adalah sosoknya di malam terakhir sebelum aku berangkat ke belahan dunia yang lain.

Rringgg...Rriinggg...

“Halo?”

“Na, lo ngomong ama temen gue dulu yah?”

“Apaan Pur, Purwa! Sialan orang, Purwa!” tetapi suara Purwa, kakak kelas dua tahun di atasku yang sedang PDKT dengan teman sekelasku berubah suara dengan suara beratmu.  Suara yang kemudian berbulan kemudian menjadi rutinitas di keseharianku.

Terus terang sore itu tujuanku cuma satu, membuat siapa pun teman Purwa yang aku harus temani ngobrol di telepon itu untuk bosan sehingga akan mengakhiri pembicaraan dengan secepat mungkin.  Dan satu-satunya cara yang ku tahu untuk membuat orang lain bosan berbicara denganku adalah untuk berbicara tentang satu topik yang amat aku suka, sementara kebanyakan laki-laki yang kukenal tidak ada yang tertarik membicarakannya: buku.

“Halo” suara beratmu menyapa

“Oh, halo? Ini siapa?”

“Ini Wisnu, temannya Purwa. Lagi ngapain, Na?”

“Gue lagi baca.” (that’s it! Pasti langsung ganti topik, gak menarik kan?)

“Baca buku apa?” (kok nadanya malah tertarik? aneh...)

“Bukunya N.H Dini, Di Atas Sebuah Kapal. Udah pernah baca?” (smirking, paling dengar nama penulisnya aja gak tau)

“Belum, gue belum pernah baca Di Atas Sebuah Kapal. Bagus ceritanya?” (Loh, kok gak kedengeran bosen ngomongin buku??)

“Ngg...bagus sih, lumayanlah...udah mau abis sebentar lagi. Coba aja pinjem di perpus.”

“Kamu suka baca?”
“Suka banget! Elo?”

“Iya, gue juga suka buku dan tulisan. Pernah dengar Kahlil Gibran ama Cak Nun?”

“Pernah, dulu pas SMP pernah coba baca bukunya Gibran, tapi gak ngerti.”

“Coba deh baca lagi, mungkin sekarang udah ngerti.”

“Hmm...iya juga ya, mungkin juga...”

“Nanti kalau kamu udah baca bilang yah, kamu ama gue bisa obrolin.”

Percakapan sore itu mengalir, dan sungguh aneh untukku karena sebelumnya jarang sekali yang bisa menemaniku bertualang dengan buku-buku.  Buku sepertinya adalah sesuatu yang selalu kunikmati sendirian.  Tidak menjadi topik yang banyak disinggung dengan banyak sahabat-sahabatku yang lain.  Bahkan tidak dengan sahabat lelakiku, Putra, yang hampir tak pernah terpisahkan dari langkah keseharianku.

Gibran dan May ZiadahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang