THE DINNER

34 7 7
                                    

(MISTERI)

Aroma hidangan yang ada memenuhi atmosfer ruang makan. Jika diteliti lebih jauh, tak ada suara apapun kecuali dentingan jarum jam. Di meja makan yang bisa menampung lebih dari sepuluh orang ini nampaknya harus cukup puas hanya ditempati 6 orang saja. Nampak pasangan pemilik rumah duduk di kedua ujung meja makan. Sang istri di ujung kanan terlihat anggun dengan balutan gaun berwarna biru tua yang tampak sepadan dengan kedua iris bola matanya. Pandangannya yang tajam bagaikan laser yang menyapu bersih ruangan ini. Begitu juga sang suami, terlihat berwibawa meski kulit keriputnya membungkus beberapa bagian wajahnya. Memakai setelan jas dan dasi kupu-kupu bewarna hitam. Terlihat bagai sesosok orang dengan kepribadian tegas dan disiplin. Sedangkan disisi kanan, ada dua orang wanita yang duduk bersebelahan. Salah satunya adalah tetangga sebelah rumah. Indah, seorang wanita 46 tahun, pemilik toko kelontong di pusat kota. Wanita disebelahnya sudah dipastikan bukan orang sekitar sini. Pakaian yang dipakainya berupa gaun merah muda dan sepatu ber hak, jelas dari pusat kota sana, sama seperti pemilik rumah. Disisi kiri, duduk dua orang pria dan wanita, aku dan suamiku sendiri. Semuanya diam. Fokus pada pikiran masing-masing.

"Jadi..." suara anggun pemilik rumah memecahkan keheningan membuat lainnya melihat kearahnya, sebelum ia melanjutkan, "mari kita mulai makan malam ini segera? Sebelum cuaca makin dingin diluar sana." Pandangan tajamnya bagai menyiratkan perintah bagi kami semua. Tak ada sahutan apapun, kami hanya mengangguk dan segera memakan hidangan di depan kami.

"Bagaimana hidangannya? Apa kalian menikmatinya?" Lagi, suara wanita pemilik rumah memecah keheningan. Kali ini tentang hidangan yang disiapkannya. Seiris daging panggang, seperti daging sapi, tapi terlalu keras, rasanya agak sedikit manis seperti daging babi. Tapi juga ada bau sedikit menyengat, hanya saja tertutupi dengan bumbu barbeque.

Aneh, aku tak pernah merasakan daging yang seperti ini.

"Ah, daging ini lezat sekali! Saya yakin belum pernah merasakan daging seperti ini sebelumnya." Indah menjawab dengan senyum lesung pipi khasnya.

"Ya, Diana, seperti biasa. Seorang istri yang pandai memasak. Pantas saja Rio segan memiliki istri sepertimu." Kali ini wanita disamping Indah memuji keterampilan memasak rekan kerjanya . Mendengar pujian keduanya, Diana tersenyum lebar, "ah, terima kasih banyak. Tak salah aku mengundang kalian, Indah dan Rania. Sekali lagi, terima kasih," lalu Diana menengok ke arah aku dan suamiku. "Bagaimana dengan kalian? Lia? Agit? Suka dengan daging yang ku masak?"

"Ya, tentu saja kami menikmatinya." Aku tersenyum pada Diana. Agit sendiri hanya tersenyum mengangguk.

"Baguslah, waktuku tidak sia-sia memang." Diana masih dengan senyumnya hanya saja kali ini terlihat seperti menyeringai. Lalu melanjutkan, "ngomong-ngomong, Agit dan Rio terlihat agak mirip ya? Hanya berbicara seperlunya, apa memang semua pria seperti itu?" Diana tertawa kecil akan humor sarkasme yang ia katakan. Indah dan Ana ikut tertawa menanggapi.

Selera humor yang payah.

Selanjutnya makan malam berlanjut seperti biasa. Kali ini suara denting jarum jam ditemani dengan dentingan pisau dan garpu. Wajar saja bila seperti ini, karena kami semua tidak akrab satu sama lain. Diana dan suaminya, Rio, baru pindah ke daerah kami 2 minggu yang lalu dari pusat kota kabarnya karena urusan pekerjaan. Lalu mengundang rekan kerjanya dan tetangga untuk makan malam. Aku sendiri walaupun bertetangga dengan Indah, tak terlalu akrab. Karena baik aku dan dia sibuk mengurusi urusan masing-masing. Hanya Diana yang mencoba mengakrabkan diri. Mungkin karena dia yang mengundang kami.Tak terasa, waktu menunjukkan jam 8 malam. Semua piring terlihat bersih tak tersisa.

"Tak terasa waktu begitu cepat ya? Sayang sekali. Tapi tenang saja, saya masih punya hadiah untuk kalian. Untuk Indah, ku beri kau kue almond kudengar kau sangat suka. Ana, aku kirimkan printer terbaru untuk pekerjaanmu. Agit dan Lia, kalian sangat suka tanaman hias, kan? Aku memberi tanaman Anggrek." Dengan senyum khasnya Diana mengantar kami berempat keluar.

"Terima kasih banyak, Nyonya Prasetya. Tidak usah sungkan-sungkan." Aku membalas senyumnya. Diana hanya tersenyum lalu memberi sekotak kue almond pada Indah yang dibalas dengan ucapan terima kasih.

Sesampainya di rumah aku dan Agit segera mematikan lampu rumah dan segera tidur. Hingga suara bel membangunkan aku dan suamiku. Aku melihat ke arah jam, pukul 4 pagi. Ada apa ini? Kami segera saja turun menuju pintu. Kami terkejut mendapati dua orang polisi berdiri di depan kami.

"Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Catursena. Kami dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa tetangga kalian, Nyonya Indah ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Saat ini jasadnya dalam proses autopsi." Salah satu pernyataan polisi tadi membuat kami terkejut. Meninggal? Lalu polisi lainnya melanjutkan, "tapi kami menemukan catatan kecil yang tergenggam di tangannya. Aneh, mungkin saja kalian tahu?" Polisi tersebut lalu menunjukkan catatan dan diambil segera oleh Agit. Aku ikut melihatnya. Di catatan itu tertulis: Daging. 2 minggu lalu. Kami mengernyit bingung, apa maksudnya?

"Kami tak tahu apa maksudnya." Jawab Agit. Kedua polisi tersebut tampak kecewa namun segera menepisnya. Mereka mengucapkan terima kasih dan segera menuju rumah korban.

"Sayang, apa kau tahu maksud catatan yang ditulis Indah?" Saat ini kami sedang duduk di sofa dan menonton tv. Agit menggeleng, "entahlah, aku juga tak tahu. Mungkin ia masih larut dalam kematian suaminya? Ia meninggal 2 minggu lalu, kan?"

"Itu bisa saja. Tapi daging? Daging apa?" Agit hanya menaikkan bahu dan mengganti channel berita. Aku masih dalam pikiranku akan kematian Indah. Ada yang aneh. Padahal semalam ia baik-baik saja. Lagipula ia tak punya riwayat penyakit apapun. Dan apa maksudnya catatan itu?

Pikiranku teralihkan begitu mendengar suara pembawa berita di tv.

"Siang ini kota gempar dengan kematian seorang wanita bernama Ana Jessica. Diketahui ia meninggal tertembak akibat perampokan saat menuju kantor Pengawasan Makanan Kota." Layar berganti menunjukkan profil si korban. Betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa korban tersebut adalah orang yang sama dengan rekan kerja Diana. Pikiranku menjadi ribut. Bagaimana bisa? Tadi Indah, sekarang Ana? Semuanya adalah orang yang menghadiri makan malam Diana.

"Sayang, ini aneh! Benar-benar aneh! Semuanya, Indah dan Ana! Yang hadir semalam!" Aku histeris. Dalam semalam, dua orang meninggal begitu saja.

Agit menganggukan kepala, "aku setuju. Tapi mungkin saja ini takdir. Kematian tidak ada yang tahu. Sudah, jangan berpikiran aneh begitu. Seolah Diana ini adalah psikopat gila." Agit menenangkanku. Tapi aku masih saja histeris. Melihat itu, Agit segera mengganti channel berita lain. Aku mulai menenangkan diri, berusaha mengalihkan pikiran aneh ku menuju berita dalam tv.

"Sejak dua minggu lalu, Rumah Sakit Jiwa Kota sedang gencar dengan kaburnya pasien pasangan suami istri. Seorang sumber menyebutkan, mereka adalah salah satu psikopat kanibal pengidap gangguan jiwa. Mereka diidentifikasi bernama Rio Prasetya dan Dian-"

Nafasku tercekat. Aku menggenggam tangan Agit dengan erat. Agit melakukan hal yang sama. Tidak mungkin. Semua ini, kejadian ini. Aku langsung sadar apa yang terjadi. Acara makan malam, hidangan daging, 2 minggu lalu, kematian suami Indah dan Indah, kue almond, dan perampokan Ana. Semuanya masuk akal. Begitu aku akan menceritakan pada Agit, tv mati dengan tiba-tiba. Bersamaan dengan bunyi pintu terbuka. Aku takut, ditambah dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Aku menggenggam tangan Agit semakin erat. Suasana yang mencekam dihancurkan dengan suara anggun khas wanita yang familiar.

"Seandainya kalian semua berpura-pura tak tahu semua ini, maka aku dan suamiku tak usah repot-repot melakukan semua ini." Langsung saja suara senapan melesat menikam pendengaran semua yang ada di ruangan. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Ditandai dengan peluru yang menikam detak jantungku. Badanku refleks tersungkur, dengan sisa nyawaku, aku melihat Agit yang sama keadaannya dengan ku. Tidak berdaya. Samar-samar, ku mendengar langkah kaki mendekat ke arah kami. Aku melihat sekilas, Diana. Membungkuk di depan kami, dengan senyuman khasnya. Lalu meletakkan sebuah pot lengkap dengan tanaman. Diakhir kediapan mataku, aku melihat tanaman Anggrek.

Our StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang