Menghilangnya Sela

35 6 1
                                    

Pagi itu Sela masih tak habis pikir mengapa gurunya lebih memilih karya Adel dibanding miliknya. Padahal, jika diperhatikan dengan baik-baik, tentunya karya Sela lebih bagus dari segi mana pun. Yah, meskipun kovernya, sih, lebih catchy punya Adel. Namun tetap saja, Sela masih tak bisa menerimanya. Apalagi tugas itu sudah dibuatnya selama berbulan-bulan, dari pagi hingga malam, tetapi hasilnya nihil.

***

"Sela pulang," ucapnya saat berjalan menuju kamarnya.

"Jangan lupa ganti seragamnya!" teriak seorang ibu dari arah dapur. Yup, beliau adalah Mamanya Sela.

"Ya, ya, ya." Sela berjalan gontai menuju lemari pakaian. "Ih, ngeselin banget. Kenapa, sih, Adel nggak berubah-ubah dari dulu?! Nggak capek, apa, bikin tugas kok sempurna mulu?"

       Ia membanting badannya di kasur. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba...

"Sela! Ada temennya, tuh!"

Huft...., batin Sela. "Siapa, Maaa?"

"Nggak tahu, cek aja sendiri. Mama lagi masak," sahut sang Mama.

"Grrr," gerutu Sela. Ia pun berjalan menuju ruang tamu. "Lo-loh, Adel?!"

"Hai, Sel," sapanya dengan senyuman khasnya.

***

       TOKO BUKU ANNETTE

     Papan spanduk besar tersebut berhasil menarik perhatian Sela. Ia melangkah masuk ke dalam toko dan terkejut bukan kepalang.

"Ma—maaf, Mba, tapi toko bukunya disebelah mana, ya?"

Kedua mata pelayan tersebut terbelalak, kaget. Ia bergegas lari ke lantai atas. Entah apa yang membuatnya sangat terkejut saat melihat Sela.

"Loh, cuma ditanya, kok malah kabur?!" gumam Sela kebingungan.

Puk! Seseorang menepuk pundak Sela dari belakang. Ia pun menoleh perlahan.

"Andrea?" tanya orang itu sambil memamerkan senyum lebarnya.

"Andrea?" Sela menunjuk dirinya sembari menoleh ke arah kanan maupun kiri. Memastikan apakah orang tersebut benar memanggilnya.

"Iya, kamu," jawab orang itu.

       Sela memasang wajah kebingungan untuk beberapa saat. "Tapi, aku Sela," ucapnya.

"Sela? S-E-L-A?! Hahaha, jangan bercanda, deh."

Bercanda? Emangnya siapa yang bercanda? Sela menaikkan salah satu alisnya.

"Ah, udah, deh, Andrea. Jangan sok bengong gitu, kita juga tahu kamu pasti bakal rindu rumah," ujar orang asing tersebut.

Hah? Andrea? Kita? Rumah? Ada apa, sih, ini?!?

       Tanpa basa-basi, orang tersebut tiba-tiba menarik lengan Sela lalu membawanya ke sebuah rak buku besar. Sela pun 'melongo' dibuatnya.

"Nah, sekarang, Andrea...."

"SELA! Namaku Sela, bukan Andrea!" potong Sela cepat. Ia pikir semua kesalahpahaman ini harus segera berakhir. "Aku ini Marsela Fidelya Engrasia, bukan Andrea, atau apalah itu."

"Ta—tapi, kamu Andrea."

        Sela menghembuskan napasnya panjang. Orang ini susah banget, sih, dikasih tau. Kalau Sela, ya Sela, gumamnya kesal.

"Aku bisa buktikan kalau kamu itu Andrea," ucap orang itu. "... sekarang, coba sebutkan novel favorit kamu akhir-akhir ini."

"Novel? Aku jarang baca novel."

"Ah, serius?"

"Iya, sekarang mah lagi panen tugas dari sekolah, nggak ada waktu untuk baca novel."

"Jangan bohong. Aku tahu kamu sering baca novel diam-diam," tuduh orang itu.

       Mata Sela terbelalak. Ia terkejut mengapa orang itu bisa tahu bahwa ia baru saja berbohong.

"Ayolah, sebutkan judul novel favorit mu. Lalu akan aku buktikan."

"Huh, iya, iya." Sela berpikir sesaat. "Novel Time After Time-nya Aditia Yubis."

"Oke, sekarang coba kamu cari novel itu di rak buku ini."

"Apa? Cari? Di rak buku yang besar ini?!"

"Iya, palingan sebentar aja, kok. Coba cari dari bagian yang paling bawah dulu."

       Sela pun mencari novel favoritnya itu. Dan yang benar saja, tak sampai 1 menit ia telah menemukannya.

"Sekarang, tarik bagian atas buku itu keluar perlahan-lahan."

       Kreettt... Terdengar suara gesekan antara lemari kayu dengan lantai.

"I-itu apa?" tanya Sela sembari menunjuk sebuah istana megah didepannya.

"Nanti kamu akan tahu sendiri." Orang asing—yang Sela belum ketahui namanya—tersebut tersenyum manis seakan-akan ada sesuatu yang istimewa disana.

       Maka terbukalah pintu menuju Kerajaan Chavali saat itu.

***

Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kedua orang tua Sela dihantui perasaan khawatir, sedih, maupun gelisah disaat yang bersamaan. Sekarang jarum jam sudah menunjuk angka 10 malam. Dan Sela, anak semata wayang mereka, belum menampakkan batang hidungnya sejak sore tadi.

"APA?!" teriak suara diujung telepon itu. "Aduh, kok bisa sih?! Terus kalau temannya? Mama udah telpon?"

"Udah, Pa, tapi yang angkat malah orang lain."

"Orang lain siapa? Orang tuanya?"

"Bukan, dia malah bilang nggak kenal sama Adel."

"Waduh, jadi gimana, nih? Papa lagi meeting sama bos besar. Nggak bisa izin-izin."

Mama Sela menghembuskan napas, pasrah. "Atau Mama laporin ke polisi aja?"

"Polisi? Apa tidak  terlalu cepat? Jangan sampai Sela kita...."

"Sela kenapa? Sela kenapa, Pa?!"

"Diculik Chavalian."

BRUK! Telepon itu jatuh saat itu juga. Salah satu sambungan telepon terputus.

***

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ChavaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang