JENAZAH

604 45 4
                                    

Bibi Arum menjambak rambutnya. Ia berteriak histeris. Anak-anak ikut menangis dan memeluk para pengasuh. Suasana menjadi kacau. Tangisan bersahut-sahutan. Bibi tidak tahan. Rencananya gagal. Mereka semua akan mati, pikirnya.
Galih ragu untuk mencari Mariyem. Ia tidak mau bertemu dengan Mayang ataupun kawan-kawannya. Namun, ia kasihan kepada Mariyem.

Pintu salah satu kamar tertutup tiba-tiba. Bibi berhenti menjambak rambutnya. Air liur menggelantung di bibirnya yang bergetar. Ia menyaksikan ketika pintu itu tertutup, kemudian sunyi. Tiba-tiba, menjeblak terbuka. Ada orang berlari di lorong. Disusul tawa anak-anak. Pandangan bibi menjadi liar. Ia waswas. Dinding-dinding diketuk.

Sebuah cahaya merah muncul dari dalam kamar itu. Semula redup, kemudian terang benderang.

Sesaat kemudian,  sebuah buntalan sebesar manusia merangkak keluar. Buntalan itu berwarna putih. Dibebat dengan seprai, dan terlihat seperti tubuh manusia. Buntalan itu terus merangkak di lantai sampai beberapa meter di belakang bibi Arum dan yang lainnya. Sejenak, benda itu diam. Dan mendadak menggeliat. Bibi Arum akhirnya dapat melihat sosok itu secara jelas. Itu manusia, manusia yang dibungkus dengan seprai putih. Kepalanya mengangguk-angguk diikuti bercak merah kehitaman merembes ke lantai. Anak-anak menjerit kalap. Mereka berlari menuju pintu panti asuhan bersama pengasuh lainnya, kecuali bibi Arum. Bibi terpaku. Tubuhnya kaku. Galih menarik- narik tangannya.

Buntalan itu tersentak. Sebuah tangan kurus yang dihiasi lebam keunguan merobek kain putih itu. Perlahan-lahan, kain itu tersingkap dan menampakkan sesosok tubuh kurus berlumuran darah. Rambut panjang kusut membingkai wajah sosok itu. Kedua bola matanya seputih susu. Bibirnya menganga membentuk huruf O. Pakaiannya robek. Mariyem.

Bibi Arum menggeleng. Ia membekap mulutnya dan mundur. Galih merangkulnya dan menariknya menuju pintu keluar. Mariyem mengerang. Kakinya terseok- seok. Ia menyeret tubuhnya menyusul Galih dan bibi Arum.

" Bi.....bi......Gah....lih!!!!!"

Galih dan bibi Arum berlari kencang ke pintu. Mariyem semakin dekat. Lehernya patah,  sehingga kepalanya menggelayut bebas. Roknya menyisakan bekas berwarna hitam di lantai.

Anak-anak sudah di pekarangan. Para pengasuh cepat- cepat membuka pagar dan mendorong anak-anak asuhnya keluar. Dada mereka berdebar keras. Mereka sangat takut. Gelapnya malam menyambut mereka. Galih dengan kalap menarik bibi Arum menerobos pagar.

Kretek kretek kretek

Tulang kaki Mariyem berkeriut nyaring saat ia ikut berlari mengejar yang lainnya. Matanya melotot. Bibi Arum menahan isak tangis saat Galih menutup pintu pagar di belakangnya. Mariyem menjulurkan tangannya melalui celah pagar. Ia meronta-ronta. Ia mencoba menggapai bibi. Mulutnya semakin melebar. Gumpalan merah meletup dari mulutnya dan berhamburan di atas pagar. Bibi mundur selangkah. Dari pintu panti asuhan, muncul secercah cahaya merah. Seorang gadis berdiri di sana.

Mayang menyaksikan mereka yang ada di luar pagar. Gadis itu memegang lilin. Tetesan lilin menimpa jemarinya. Kawan-kawannya merangkak menuju Mariyem dan menarik kaki perempuan itu. Mariyem menjerit. Bocah- bocah kuburan semakin kuat menyeretnya kembali ke dalam. Sebuah sosok hitam bermata merah menyala membayang di belakang Mayang.

Bibi Arum melihat tubuh ringkih Mariyem diseret ke dalam panti. Mayang tersenyum dan melambaikan tangan. Ia berbalik dan menghilang.

Bibi Arum, Galih beserta para pengasuh dan anak-anak panti asuhan menyusuri jalan setapak. Mereka menunjukkan tampang ketakutan dan letih. Merek berharap, itu hanya mimpi buruk. Mimpi buruk yang terlalu panjang.
Mereka sampai di rumah paman Matun. Bibi mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, ia sudah pingsan dan jatuh menimpa kaki orang yang ada di depannya.

" Ada yang bisa paman lakukan untuk kami?" tanya Galih sambil mengulurkan segelas teh kepada salah satu anak asuhnya. Bibi Arum tergolek lemas dan dibaringkan di atas karpet anyaman.  Beberapa warga datang ke rumah paman Matun dan mendengarkan kejadian mengerikan tadi. Mereka mengumpat marah dan tidak sabar ingin ke sana dan menghabisi Mayang.
" Kita tunggu sampai besok." ujar paman Matun. Ia memikirkan cara agar dapat berbicara sejenak bersama Mayang. Ia penasaran, apa sebenarnya yang gadis itu inginkan. Apakah ia ingin balas dendam? Apa ia marah karena neneknya mati tidak dikuburkan melainkan dibakar dengan api bersama rumahnya?
Paman Matun mengelus dagunya bimbang. Gadis itu bukan gadis biasa. Atau, ia memang gadis biasa, namun, ada sesuatu yang telah membangkitkan setan di dalam dirinya.
" Saudara-saudara, saya minta kalian untuk pulang dulu. Besok kita rundingkan bersama. Kalau bisa, kepala desa juga harus hadir." ucap paman Matun. Ia mengunci pintu rumah. Rumahnya mendadak ramai oleh kehadiran para penghuni panti asuhan. Ia sampai- sampai takut menginjakkan kaki karena lantai penuh dengan manusia. Ia pergi ke kamarnya sendiri dan meraih sebuah kotak hitam. Kalung yang diberikannya kepada bibi Arum tidak berfungsi. Dengan gampangnya Mayang merasuki akal sehatnya dan membuatnya gila. Ketika ia membuka tutup kotak itu,  diingatnya kembali ucapan bibi Arum saat ia pertama kali datang dan menceritakan semua tentang kedatangan gadis itu. Mula-mula, gadis itu bersikap normal. Ia berperilaku seperti anak- anak lainnya di panti asuhan. Tapi, ia didatangi oleh sosok hitam dan anak-anak kecil tanpa mata. Paman Matun akhirnya mengerti. Ia mengurungkan niat untuk tidur dan mengambil lampu pijar.

Pria tua itu seorang diri pergi ke panti asuhan. Ia berdiri di depan pagar dan mengamati keadaan. Suara nyanyian terdengar. Nyanyian itu mengalun pelan menelisik telinganya. Paman Matun menangkap sekilas bayangan gadis kecil lewat. Baju tidur putih menyentuh lantai, rambut hitam mengayun di pundaknya dan tongkat hitam di tangannya. Sebuah lilin dialasi piring kecil di tangan yang satunya lagi. Pria itu menyaksikan bocah- bocah kuburan berjingkrak-jingkrak di belakangnya. Merek semua berwajah seputih pualam dan selayu daun kering.
Sekujur tubuh paman merinding. Bulu kuduknya meremang. Kedua kaki gadis itu melayang-layang saat berjalan. Tidak menapak lantai.

Gadis itu, sudah lama mati.

***
Read.vote.❤
Thank you.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang