Poor Kitten

11 2 0
                                    

Siang yang terik membuatku betah berlama-lama di bangku perpustakaan kota yang memiliki pendingin ruangan yang menyejukkan. Dengan ditemani beberapa buku setebal kamus, membuatku mudah mencari sumber materi presentasiku dua minggu lagi. Ada sekitar 4 buah buku yang kuambil, namun baru 1 buku yang selesai kubaca. Itupun yang kubaca hanya dibagian bab-bab tertentu yang menarik bagiku dan yang menurutku bisa kuambil kesimpulannya. Andaikan aku membacanya sambil meminum coklat mungkin bisa menyegarkan otakku, sayangnya ini adalah perpustakkan umum, bukan perpustakaan pribadi, hahaha.

Sebelum aku melanjutkan aktivitasku, perkenalkan, namaku Johanna van Doesburgh, dari namaku pasti kalian mengira aku berasal dari Netherland. Sayangnya, namaku itu hanya salah satu warisan dari ibuku yang meninggal sepuluh menit setelah aku lahir, sayang sekali ya. Selain itu, warisan lainnya adalah iris mata bewarna biru, dan masih banyak lagi. Dan untuk ayahku, entahlah, sudah 21 tahun aku hidup dengan ayah yang tak peduli pada putrinya sejak ibuku meninggal, itu kata pengasuhku.

Ku lirik jam tanganku, dan waktu menunjukkan pukul 4 pm, waktunya aku pulang dan memperbaiki materi yang ku dapat. Yah, walaupun masih kurang sekali.

Aku merapikan buku-buku yang kubaca dan membawa tiga buku ke penjaga perpustakaan untuk ku pinjam. Setelah itu aku menaruhnya dalam tas ranselku dan segera keluar dari perpustakaan. Awalnya pikiranku selalu memerintahkan untuk pulang, namun aku justru mampir ke kafe yang tak terlalu jauh dari perpustakaan.

*

Setibanya, aku duduk di spot paling belakang dekat taman kafe. Seorang pemuda seumuranku datang menghampiri. "Nona Anna, apakah nona pesan seperti biasanya?", tanyanya. Dia bernama Jonathan, salah satu karyawan kafe ini yang akrab denganku. Aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Jo atau Jojo

"Jo, sudah kubilang jangan memanggilku nona setiap aku di kafe ini" kataku dengan tertawa dan memukul pudaknya sebagai tanda protesku.

"Dan kau nona, jangan terlalu sering memukul pundakku, okay", kini dia yang protes

"Mungkin tak ingin kulakukan", aku membantah dan menjulurkan lidahku. Dan dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Oiya, Jo tolong tambahkan sedikit gula untuk tehku nanti"

"Siap nona".

Sepuluh menit kemudian pesananku datang, secangkir teh rosella dengan ditemani sepotong kue macha. Jonathan sendiri yang selalu mengantarkan pesananku walaupun sebenarnya jam kerjanya sudah selesai. 

Setelah mengantarkan pesananku langsung menyambar kursi di depanku, dan menatapku intens. Ku abaikan saja lebih baik, kemudian mengambil buku yang kupinjam tadi serta membuka tabku untuk melanjutkannya sedikit. Lebih efektif jika aku scan melalu kamera tab lalu ku coret-coret mencari kalimat hingga paragraf-paragraf yang penting, daripada mencoreti buku aslinya. 

'Hmm sepertinya menarik bagian ini' gumanku

Sesekali aku menyesap teh rosellaku juga menyuapkan kue macha ke mulutku untuk selingan kegiaanku.

 Kulirik, dia masih intens menatapku, lama-lama aku risih dengan tatapannya. Padahal masih 30 menit aku duduk disini. Kuputuskan untuk menghentikan aktifitasku dan memasukkan semua barang-barangku ke dalam ranselku kembali.

Jonathan langsung memulai pertanyaannya, "sudah selesai rupanya, eh?".

Sudah kuduga pasti itu pertanyaan yang akan muncul pertama kali. "Kalau iya kenapa? Dan kenapa tatapanmu intens sekali hari ini, tak seperti Jo yang biasanya?".

"Entahlah, aku melihatmu terlalu serius dengan benda kotak yang menyala itu hingga kau melupakan sahabatmu yang paling tampan ini, huh?"

"Eiw", ucapku berlagak jijik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Felis CatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang