Part 3 - Blood in The Bathroom

24 2 0
                                    

06.15 AM

Aku tersenyum dan tersenyum. Hari ini aku merasa senang sekali. Alasannya tak lain dan tak bukan karena aku tidak terlambat ke sekolah. Menyenangkan sekali, rasanya seperti mendapat pacar baru-meski sebenarnya aku belum pernah merasakan punya pacar baru sih. Guru botakpun sampai belum stan by di samping gerbang sekolah, mungkin saat ini dia sedang diomeli isterinya di rumah karena tak kunjung gajian. Teman-temanku pun masih belum datang. Hanya ada aku di kelas sekarang. Sendirian.

Tadi pagi, aku berhasil bangun lebih awal-tanpa dibangunkan oleh alarm brengsek itu. Akibatnya aku dapat berangkat sekolah lebih pagi daripada biasanya. Aku tak tahu mengapa aku bisa bangun sepagi ini. Mungkin ini suatu kebetulan yang amat sangat jarang terjadi. Bahkan aku tak mengira ini bakalan terjadi.

Hari ini hujan, sangat deras. Sejak kemarin malam, hujan ini belum berhenti. Aku merapatkan blazer, mengencangkan syal, dan mengusap-usap kedua tangan. Cuaca hujan seperti ini memang lebih nyaman meringkuk di kasur dan membenamkan diri di dalam selimut tebal daripada harus pergi ke sekolah.

Dan hujan lebat seperti ini membuat sebagian besar orang bolak-balik ke kamar mandi. Kau tahu? Hujan membuat tubuh kita sedikit mengeluarkan keringat karena hawa yang dingin. Akibatnya air hasil sistem eksresi, kita buang melalui air seni. Itulah alasan mengapa orang-orang sering ke bathroom saat musim hujan-karena ingin buang air kecil.

Seperti saat ini, aku sejak tadi menahan kencing karena harus mengejar jadwal bus sekolah sebab aku tidak ingin terlambat lagi. Ah sudahlah ceritanya, aku ingin pipis dulu.

Cepat-cepat aku pergi ke kamar mandi. Koridor masih sepi sehingga aku bisa bebas berlari. Tak sampai lima menit aku sudah sampai di depan kamar mandi yang paling dekat dengan kelasku. Aku langsung masuk dengan tergesa dan betapa terperanjatnya aku. Di dalam kamar mandi ada Alison dan gerombolannya. Casey dan Callista sedang menarik tangan seorang anak, mencegah dia untuk lari. Alison sedang mengacungkan pisau kepada... eh tunggu... Aria? Mereka sedang memojokkan Aria.

Mata Aria berkaca-kaca, dia menangis. Ada bekas memar di pipi sebelah kanannya, tampaknya dia habis dipukuli. Alison dan teman-temannya segera memelototkan mata kepadaku begitu mereka menyadari ada orang lain yang masuk ke kamar mandi. Sementara aku... berkeringat dingin. Untuk sekejap aku lupa akan tujuanku ke kamar mandi. Aku menjadi tidak ingin pipis lagi.

"To... tolong aku!" Kata Aria di sela-sela isakannya.

"Jangan ikut campur Athena!" Ancam Alison.

Aku menelan ludah. Takut.

"Selesaikan saja urusanmu!" Sahut Casey.

Begitu mendengarnya, aku langsung menuju bilik kamar mandi yang paling dekat dengan pintu keluar. Kamar mandi ini cukup luas. Ada sepuluh bilik kamar mandi yang dibangun bersebelahan satu dengan yang lainnya. Sisi lain kamar mandi yang tidak ada biliknya diberi cermin yang superbesar, membentang dari pintu keluar sampai ujung kamar mandi. Aria dipojokkan di ujung kamar mandi sehingga aku bisa pipis di bilik dekat pintu keluar tanpa harus melewati mereka.

Setelah selesai dengan urusanku, aku segera keluar bilik. Dari cermin besar itu, aku dapat melihat mata Aria yang memohon pertolongan padaku meski aku tidak melihat wajahnya secara langsung. Sekejam itukah pembullyan yang dilakukan para bedebah itu? Mereka sudah keterlaluan. Para cecunguk itu tidak hanya menghina Aria tapi juga melukainya. Sebelumnya Alison dan teman-temannya tidak sampai sebrutal ini, bahkan dikasusku mereka hanya sebatas menghinaku dan memukulku saja, itupun jarang dan tidak sampai membawa-bawa pisau atau melukaiku.

"Tutup mulutmu Athena! Atau kau akan menyesalinya," kata Alison lagi-lagi mengancamku. Dia meletakkan telunjuknya di depan bibir seraya tersenyum jahat, "Jangan katakan pada siapapun!"

Aku lalu lari keluar kamar mandi. Dasar pengecut! Aku bahkan tidak berani memandang dua kali pisau yang dibawa Alison dan aku lebih memilih lari daripada harus menolong temanku sendiri.

"Aku harus kembali dan menolong Aria," kata hatiku.

"Dasar bodoh! Apa kau ingin mati? Pisau itu bisa merobek lambungmu!" Sahut otakku. Ingin mengalahkan kata hatiku.

Sesampainya di depan kelasku, aku mengepalkan tangan. Buku-buku jariku memerah. Aku harus menolongnya!

Segera aku lari tunggang langgang, seperti orang yang sedang kesetanan. Kusambar sapu yang ada di depan kelasku. Kudobrak pintu kamar mandi dan kupukul kepala Alison dengan gagang sapu-kupukul sekencang-kencangnya sehingga gagang sapu itu patah menjadi dua-horor sekali. Alison kaget dan tidak sempat menghindar, dia jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Pisau yang dia pegang jatuh entah kemana.

Sementara Casey? Kujambak rambut panjangnya dan kutendang ulu hatinya. Dan sebelum dia mengaduh kesakitan, kujedorkan kepalanya ke tembok kamar mandi. Seperti Alison, dia jatuh dengan kepala mengucurkan darah.

Dan untuk Callista, aku kehilangan kesempatan untuk melampiaskan amarahku padanya. Dia menusukku dengan pisau yang tadi terjatuh dari tangan Alison, tepat di lambungku. Perih sekali dan kepalaku serasa berkunang-kunang. Aria yang sudah bebas langsung merebut pisau itu dari tangan Callista dan menusuk Callista tepat di bahunya.

Aku terhuyung-huyung ke belakang hendak jatuh dan sebelum aku sempurna jatuh, Aria menarik tanganku dan menyeretku keluar kamar mandi. Dia berteriak-teriak minta tolong sambil memelukku. Pandangan mataku agak redup dan sepertinya aku hanya separuh tersadar. Blazerku dipenuhi cairan kental berwarna merah. Darah cepat sekali keluar, tampaknya juga sulit untuk berhenti.

Orang-orang segera berkerumun. Yang perempuan terkaget-kaget melihat darah dan melihatku yang hampir pingsan. Yang laki-laki segera memanggil guru dan menelepon ambulans. Aku samar-samar melihat Jasper dan Calvin yang merangsek maju di antara kerumunan. Mereka menghampiriku dengan kalap. Jasper menutup lukaku dengan tangannya meskipun dia sebenarnya tahu dengan cara begini lukaku tidak akan mau tertutup dan darah akan terus memancar dari sana. Calvin terus memanggil-manggil namaku. Tidak jelas apa yang dia katakan tapi sepertinya dia menyuruhku untuk tetap tersadar dan menahan rasa sakit.

Guru-guru segera berdatangan dan menghalau kerumunan agar menyingkir dan memberi jalan. Karena berapa saat kemudian, ambulans datang, sirinenya meraung-raung memekakkan telinga.

Calvin menggendongku menuju ambulans sementara Jasper ada di depan menghadang orang yang tetap nekat mendekatiku meskipun sudah diperingatkan guru untuk menyingkir. Setelah itu aku pingsan.

Aku tak tahu bagaimana caranya tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Terbaring lemah dengan muka pucat pasi seperti mayat-sepertinya aku kehilangan banyak darah. Perutku dibebat oleh perban putih yang super tebal. Bau anyir darah samar-samar kucium. Aku jadi serasa seperti melahirkan anak.

Ada Aria di samping ranjang tempatku berbaring. Dia panik setengah mati ketika menyadari aku telah sadar dan langsung memanggil-manggil dokter. Dokter pun segera masuk dan melakukan beberapa pemeriksaan kepadaku.

"Lukamu tidak cukup dalam, kau akan baik-baik saja. Tapi teruslah istirahat dan berbaring di sini sampai kau cukup kuat untuk kupulangkan," kata dokter itu. Dia memelotot kepadaku. Tampaknya dia sadar bahwa aku ingin memberontak padanya dan ingin segera pulang.

"Baik Dok. Terima kasih," Aria yang menjawabnya.

Setelah dokter keluar, Jasper dan Calvin segera masuk ke ruangan. Keduanya sama paniknya dengan Aria. Padahal aku saja yang sakit hanya tenang-tenang saja dan terkesan tak peduli aku akan mati atau tidak. Aku melirik jam yang tergantung di dinding rumah sakit.

09.03 AM

"Apa kalian tidak sekolah?" Itulah kalimat pertama yang kulontarkan pada ketiganya setelah aku pingsan.

Tanpa aba-aba, Jasper langsung memukul kepalaku dengan amat keras.

"Aduh, hei! Apa kau tidak lihat aku sedang sakit?" Kataku sambil mengusap-usap kepala.

"Apa kau tidak lihat kami hampir gagal jantung karenamu Sayang?" Kadang-kadang Calvin memanggilku dengan sebutan 'Sayang', aku tidak tahu dia memangilku demikian karena benar-benar sayang atau sebagai candaan saja.

"Apa kalian tidak sekolah?" Tanyaku lagi. Mengabaikan kepanikan mereka.

ZoneperestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang