Part 4 - The Mysterious Letter

27 1 0
                                    

Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke sekolah. Sebenarnya Dokter Brad-dokter yang mengurusku selama aku sakit-tidak memerbolehkan aku pulang karena luka di lambungku belum sembuh benar, aku masih dalam tahap pemulihan. Dan tentang lukaku, ternyata Dokter Brad berbohong, sebenarnya aku terluka cukup parah dan dalam, tidak heran darah terus mengucur dari sana. Rasanya aku ingin menyalahkan Aria karena tidak menusuk Callista di bagian lambung saja-biar dia juga merasakan sakit yang sama denganku.

Saat aku menapakan kaki di sekolah, pandangan semua orang sempurna tertuju padaku. Entah karena mereka terkejut sebab aku tidak terlambat lagi atau karena heran sebab aku terlalu cepat kembali ke sekolah. Beberapa ada yang berbisik-bisik di belakangku saat aku lewat di koridor seperti...

"Wahh... lukanya pasti parah sekali ya? Jalannya saja sampai berjingat-jingat," kata temanku dari kelas sebelah.

"Kenapa dia mau menolong orang lain sampai ditusuk begitu? Aku sih ogah," kata adik kelasku yang ingin kutimpuk kepalanya.

Sampai yang freak begini, "Dia masih terlihat cantik dan fresh ya? Aku harus segera menembaknya sebelum dia ditusuk lagi."

Aku langsung mempercepat langkahku supaya sesegera mungkin masuk kelas dan menghindari keributan ini. Meski aku harus berjingat-jingat saat berjalan. Aku juga harus memegangi lukaku saat bergerak untuk mengurangi rasa sakit.

Ketika aku berhasil selamat sampai kelasku dan menyampirkan tas di kursi, Calvin dan Jasper langsung menghampiriku. Mereka tak mengatakan apapun bahkan mereka menunduk, tidak berani memandangiku. Aku pun mendiamkan mereka. Aku masih malas berinteraksi dengan orang lain setelah kejadian berdarah itu.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelasku. Ada yang aneh. Hei... dimana bedebah-bedebah itu? Alison dan komplotannya yang brutal itu.

"Dimana mereka?" Tanyaku pada Aria yang baru menghampiriku.

"Mereka siapa?" Tanyanya. Dasar tidak peka.

"Para kunyuk itu pindah sekolah. Aku tidak tau alasannya. Mungkin mereka drop out atau malu sehingga memutuskan pindah," potong Calvin menjawab pertanyaanku.

"Mereka tidak punya rasa malu," sahutku ketus.

Kau tahu? Aku ingin cepat-cepat pulang bukan tanpa alasan. Dokter Brad mati-matian menyuruhku untuk tetap di rumah sakit tapi aku menolaknya-mentah-mentah. Kukatakan padanya bahwa aku masih harus mengurus pekerjaanku serta membenahi apartemenku sebab aku ini anak sebatang kara dan dia pun luluh. Kini aku bebas melenggang menjalankan aktivitasku, sebenarnya tidak bebas sih mengingat aku masih meringis kesakitan ketika berjalan.

Yang rutin menungguiku di rumah sakit adalah Aria dan Pak Andrew. Setiap akhir pekan dan sepulang sekolah, Aria mengunjungi rumah sakit, menunggui dan menjengukku. Dia juga dengan senang hati menjelaskan materi pelajaran yang tidak kuterima karena aku sakit. Sebenarnya Aria tidak perlu melakukan itu. Toh aku sudah menguasai materi itu jauh-jauh hari.

Sedangkan Pak Andrew rutin menjengukku karena motivasinya menjadikanku anak angkatnya. Dia baru tahu bahwa aku tidak memiliki orang tua dan wali setelah menguping pembicaraanku dengan Dokter Brad. Tapi usulnya kutolak, juga dengan mentah-mentah. Sebab dia ingin menjadi waliku agar aku mengubah tingkah polah putranya yang pemalas dan menjadi saudara yang baik bagi anaknya itu.

Sebenarnya aku tidak senang-senang amat atas kepindahan para bedebah itu. Meski mereka pindah atau lenyap dari muka bumi ini, kasus bullying di sekolahku masih tetap ada. Karena tukang bully di sekolah bukan mereka saja. Masih banyak jajaran nama-nama tukang bully dari yang masih kelas teri sampai yang sudah kelas kakap. Mereka hanya tiga orang yang sayangnya kena sial karena kedok pembullyannya terbongkar.

Tapi ada senangnya juga sih mereka enyah dari sekolah ini karena hanya mereka saja orang-orang yang berani membullyku. Jika mereka sudah enyah maka tidak ada lagi orang yang akan membullyku atau mencari gara-gara denganku. Yah... setidaknya aku bisa lega untuk saat ini.

Tapi sepertinya aku tidak akan lega untuk saat ini dan bahkan tidak untuk selamanya...

Sepulang sekolah, aku pergi ke koridor untuk mengambil kalkulator sciencificku yang kusimpan di loker. Memang kalkulatorku ada disana dan aku dapat dengan mudah mengambilnya. Tapi yang aneh adalah di lokerku ada sepucuk surat-kuperingatkan bukan surat cinta-yang berstempel seekor naga yang sedang melilit singa pada bagian sampulnya.

Aku mengerutkan kening. Bingung. Kenapa ada orang yang bisa membuka lokerku? Aku selalu membawa kunci lokerku dan memastikannya tidak dicuri orang lain. Untuk kunci cadangannya ada di tangan petugas keamanan sekolah yang tidak mungkin mengirimiku surat-jika mungkin maka mereka kurang kerjaan sekali-lagipula mereka tidak pernah menyerahkan kunci cadangan pada orang lain kecuali pada siswa yang kehilangan kuncinya dan mereka tidak pernah sekalipun membuka loker para siswa.

"Sayang!" Calvin memanggilku dengan sangat keras, tepat di telingaku. Dan aku langsung memukul kepalanya.

"Ada apa Cal? Aku masih bisa mendengar dengan baik kau tau? Kamu tidak perlu melakukan itu lagi," kataku dengan sebal.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri," kataku seraya cepat-cepat menutup loker.

"Hei apa itu?" Calvin menunjuk surat yang kupegang.

"Ini surat," kataku dengan wajah yang kubuat sepolos mungkin.

"Ya aku tahu," sahut Calvin sambil menggapai surat yang kuangkat menjauh darinya, "Apa kau selingkuh Sayang?"

"Ini bukan surat cinta. Lagipula aku tidak berpacaran denganmu dan aku bukan isterimu! Jadi aku tidak selingkuh."

Calvin berhenti menggapai surat yang kupegang. Dia menatapku amat dalam.

"Baiklah aku akan memaafkanmu Athena, asal kau memperbolehkanku mengunjungi apartemenmu," kata Calvin sambil menarik tanganku ke luar sekolah.

"Hei... hei... aku tidak bersalah dan jangan seenak jidat mengunjungi apartemenku!"

Seperti bisa kau duga, Calvin tidak mendengarkan kata-kataku dan terus menarikku. Aku tidak bisa membantahnya dan lagipula tenaganya jauh lebih kuat dariku sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dan lebih memilih menurut.

Teman-temanku yang belum pulang ke rumah memelototiku dan Calvin. Mereka mungkin sangat kaget karena sebelumnya Calvin tidak pernah menarik-narikku begini dan biasanya jika sedang mendekatiku, dia selalu bersama Jasper.

Setelah sampai di luar gerbang sekolah dan menjauh dari kerumunan para siswa, Calvin melepaskan tanganku. Dia lalu memasukkan tangannya di saku celananya. Aku lalu menyejajari langkahnya dan berjalan di sampingnya.

"Hei Cal? Dimana Jasper? Bukannya pacarmu itu selalu ada di sampingmu?"

"Bedebah itu sekarang sedang privat," kata Calvin tak acuh.

"Eh? Dia ikut privat sekarang?"

"Ya. Ibunya memaksanya. Dia jadi harus pulang lebih cepat dari biasanya."

"Baguslah kalau begitu, setidaknya nilai Jasper tidak akan terjun payung lagi."

"Ya kau benar. Juga dengan begini aku bisa rutin mengunjungi apartemenmu sendirian sepulang sekolah," sahut Calvin dengan entengnya.

"Tapi kau tak perlu menarik-narikku sampai begini."

"Itu untuk mencegahmu kabur sayang."

"Jangan panggil aku 'sayang'!"

"Bukankah setiap gadis di sekolah kita selalu ingin dipanggil yang manis-manis seperti 'Sayang' dan 'My Little pumpkins' atau yang sejenis dengan itu?"

"Itu tidak berlaku padaku," kataku sambil melihat-lihat surat yang ada di lokerku tadi.

"Apa isinya?" Tanya Calvin sambil melirikku.

"Aku tak tau. Kau tadi menarikku pulang sebelum aku membuka surat ini."

"Nanti saja, kau bisa membaca surat cinta itu di apartemenmu sepuasnya."

"Ini bukan surat cinta!" Kataku berteriak.

Saat itu aku tidak tahu bahwa surat yang kupegang akan mengawali segalanya.

ZoneperestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang