prologo.

68 18 2
                                    

PROLOG

"Hope is not the conviction that something will turn out well but the certainty that something makes sense, regardless of how it turns out." - Vaclav Havel

***

Bau obat-obatan menyeruak kala Aghista memasuki ruangan bernuansa putih ini. Suara dentuman alat pendeteksi jantung berbunyi tenang, sama tenangnya dengan laki-laki yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Ritme nafasnya terdengar beraturan, namun kelopak matanya terpejam damai.

Aghista diam, menatap nanar laki-laki di hadapannya. Meneliti tiap inci bagian tubuh laki-laki itu yang terhubung dengan berbagai alat medis. Aghista bersyukur alat medis tersebut masih bekerja sama dengan tubuh laki-laki itu. Tanpa adanya alat itu, mungkin laki-laki di hadapannya sudah tak berdaya lagi.

Ah... membayangkannya saja, Aghista sudah meringis ngeri.

"Masih belum sadar juga?" Aghista bersuara lirih, meraih tangan lemah laki-laki itu, dan menggenggamnya erat.

"Udah hampir satu bulan. Lo masih nggak mau bangun juga?" Aghista berharap laki-laki di hadapannya itu merespon. Walaupun hanya dengan gerakan kecil dari salah satu anggota tubuhnya.

Sepersekian detik Aghista menunggu respon laki-laki itu, namun tetap saja hasilnya sama. Kenyataan seolah menamparnya keras-keras. Menyadarkan bahwa ini kemungkinan kecil. Bahkan sangat kecil. Dan ia hanya bisa berharap, berharap, dan berharap. Tetapi... mau sampai kapan ia terus berharap pada keajaiban?

Aghista menghela nafas perlahan. "Mau sampai kapan lo biarin gue nunggu kayak gini? Gue kangen..."

Setetes air mata yg sedari tadi tertahan, kini mulai turun. Rasa sesak di dada mulai terasa. Aghista menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, ia mulai terisak. Setiap kali ia datang ke rumah sakit, keadaannya selalu seperti ini. Aghista selalu keliatan rapuh di hadapan laki-laki ini.

"Please, bangun," ucap Aghista yang semakin melemah.

Melihat laki-laki itu tak kunjung merespon, Aghista semakin terisak. Bahunya gemetar hebat, rasa takut mulai menjalar di tubuhnya. Tidak. Ia tidak boleh seperti ini. Aghista menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tangannya bergerak menepis air matanya dengan kasar. Aghista harus pergi sekarang. Ia harus pergi sebelum terlihat semakin rapuh.

Seperti biasa, sebelum meninggalkan ruangan itu, Aghista membisikkan sesuatu di telinga laki-laki itu. Sebuah kalimat dengan penuh harap yang tak pernah terlewat diucapkan.

"Cuma lo yang gue punya, dan gue harap lo cepet sadar."

Setelah itu, Aghista pergi. Meninggalkan laki-laki yang terbaring lemah, serta sejuta harapan yang selalu tertanam di hatinya.

***

ASDFGHJKL! Yap. Ini cerita udh lama dan baru sekarang berani publish x_x gue harap, kalian bisa suka❤mwa.

VENTISEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang