XI: The Spirit of Thou

10 2 1
                                    

Beberapa hari setelahnya, aku yang masih murung hanya menetap di rumah tanpa melakukan apa-apa. Sesekali aku membayangkan wajah seorang Tomino yang senantiasa tersenyum kepadaku dalam keadaan apapun. Mengingat senyuman gilanya waktu itu membuatku sangat terpukul dan sedih, aku merasa kalau dia sudah menjadi orang lain.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku yang hanya duduk di atas kasur memutuskan untuk membukakan pintu utama. Tak heran, aku melihat Astrea yang membawakan sebuah makanan kepadaku. Dia sudah melakukan hal ini semenjak kejadian waktu itu.

"Nih, kubawakan makanan. Kau lapar kan?" Tanyanya.

"Maaf... aku tidak lapar." Ucapku.

Astrea memaksaku untuk menerima makanan itu. Ia lalu pergi meninggalkanku dengan begitu saja dengan wajah yang murung.

"Dengar, bukan kau saja yang merasa kehilangan. Aku juga sama. Dasar bocah." Ujarnya.

"Oh ya? Bukannya kau malah senang? Kini sainganmu sudah pergi, kau sudah menang." Ucapku dengan jengkel.

"Kau.."

Astrea mendatangiku kembali, ia terlihat marah. Ia meninju dinding di sebelahku hingga dinding itu retak.

"Kau meremehkanku nona! Kau pikir aku sehina itu?! Ya, aku dan dia memang bersaing tapi kau lupa? Kami adalah sahabat! Kami ada untuk satu sama lain! Dan sekarang, kau seenaknya berfikir yang tidak-tidak sambil murung layaknya perempuan lemah! Kau yang seperti ini membuatku kesal dasar bocah!" Bentaknya.

Dia benar, aku mengatakan sesuatu yang tidak berbasis. Aku merasa bodoh. Aku tidak berusaha kuat seperti apa yang Astrea lakukan.

"Kau benar, aku minta maaf. Aku tidak berpikiran secara lurus." Ucapku.

"Ya aku tahu itu, aku juga minta maaf karena aku terlalu keras. Kau tahu? Kepalaku pusing dengan berbagai pikiran yang tak menentu arahnya." Ujarnya.

"Iya aku juga." Kataku sambil melepaskan sebuah nafas.

"Yasudah, kalau begitu makan lah. Oh ya, Shannon meminta kita untuk berkumpul di gereja. Katanya dia ingin berbicara." Kata si rambut merah.

"Baiklah."

Astrea mengangguk dan mengucapkan salam perpisahan. Ia berjalan ke arah pusat kota dengan cepat. Baru beberapa detik, ia sudah tak terlihat.

Aku kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu. Aku pergi ke kamar sambil membawa makanan yang Astrea berikan kepadaku. Aku duduk di kasur lalu aku langsung memakan roti yang ia berikan.

Rumah terasa amat sepi. Sejak Theo tidak ada, aku tidak pernah memasak untuk orang selain diriku lagi. Sejak Tomino tidak ada, tak ada lagi yang suka berkunjung dan sekedar menumpang tidur.

Begitu pula hatiku, rasanya sepi seperti tanpa cahaya. Tangan kanan yang terselimuti oleh sarung besi ini terasa berat. Aku seperti tidak ingin menjadi geist jika tahu hal ini akan terjadi. Aku hanya ingin mati dibawa arus waktu agar tidak dapat merasakan kesakitan ini.

"Kau apa kabar, Tomino? Aku merindukanmu."

Senyuman wajahnya yang amat tampan selalu terekam dalam pikiranku. Aku rindu akan sosoknya, aku rindu akan tawanya, aku rindu kata-katanya yang dapat membuatku tenang. Sungguh, tidak ada yang dapat membuatku merasa begini kecuali dia.

Tetap saja, aku merasa bingung dan putus asa. Aku tahu kalau aku harusnya bangkit, tapi aku juga tetap seorang manusia. Melihat orang yang kusayang menjadi jahat adalah hal yang membuatku sangat terpukul.

TenebrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang