Bagian Sembilan

207 32 3
                                    

Aku langsung pulang sesuai rencana dan memilih pergi ke kamar untuk tidur. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa muak pada perasaan yang masih ku miliki ini.

Sungguh, aku ingin terlepas dari jeratan rasa sakit tanpa akhir ini. Bukannya aku tak ingin, aku sangat ingin. Hanya saja akal ku masih belum sanggup mengendalikan hatiku.

Kata orang perempuan itu berfikir dengan hatinya. Sedangkan para pria dengan akalnya. Aku terjebak antara ingin mengelak dan mengiakan. Mengelak karena merasa para wanita tak sebodoh itu untuk mau-maunya dikendalikan oleh nafsu mereka dan mengiakan hal itu karena nyatanya hatiku masih memimpin pergerakanku agar selalu ada di sekitar Najam.

Aku sholat tahajud. Memasrahkan segalanya pada Yang Kuasa. Aku lelah, sungguh. Sangat lelah. Aku menangis lagi karena Najam. Menangis sampai lelah, bersandar pada kokohnya kayu ranjang tidurku. Menangis sampai aku terlalu lelah hanya untuk membuka mata.

Aku tertidur beralaskan sajadah dan memakai mukena lengkap. Bukan kali pertama aku seperti ini, aku kan memang punya kebiasaan buruk bisa tertidur dimana pun tempat memungkinkan aku untuk tidur. Meski keesokan harinya, tubuhku akan didera rasa sakit karena tidur dalam posisi yang tidak seharusnya.

Aku kembali menerawang ke masa lalu.

Sejak Najam menikah, tak pernah sekali pun hatiku menginginkannya jadi milikku. Meski begitu aku sadar, sekuat apapun akal memaki. Aku akan tetap mencintainya. Karena aku tak bisa mengendalikan hatiku kepada siapa ia akan bersandar. Melepaskan jangkar, dan menjadi tujuan akhir dari perjalananku.

Aku terbangun untuk sholat subuh. Tubuh ku sudah terasa lebih baik meski aku sakit perut karena seharian kemarin aku gak makan nasi sama sekali. Nasi itu kan katanya landasan lambung, jadi gak boleh makan apa-apa sebelum makan nasi. Masalahnya kemarin aku sudah makan macam-macam tanpa memasukkan nasi sedikit pun ke perutku.

Minum air saja rasanya seperti ada bom yang terjatuh tepat di lambungku. Sakit rasanya. Aku memasak, melihat ada gambas dan bayam di lemari es mengundangku untuk mengubahnya jadi makanan hangat siap santap.

Aku menghaluskan bawang putih, memberikan garam dan air secukupnya untuk merendam tempe yang sudah ku potong tipis-tipis. Menggorengnya hingga berwarna cokelat keemasan.

Semua sudah matang, dan aku memakannya sendirian. Bukan menghabiskan semua makanan itu sendirian tapi aku makan sendirian saat ini. Ummi belum menghubungiku bila-bila ia butuh dibawakan makanan. Jadi aku terbebas dari antar-mengantar makanan kesana.

Aku berjalan keluar menikmati udara pagi yang mulai terasa panas matahari. Melakukan peregangan sedikit, melemaskan otot-ototku yang kaku semalaman. Sedikit berlari di tempat dan melompat tinggi seakan menggapai burung-burung yang bebas terbang kemana pun ia kehendaki.

"Salu." Panggil seseorang mengagetkanku.

"Najam! Sejak kapan di sini?"

"Hm... Sejak jam 1 malam."

"Kenapa gak telepon?" Tanyaku lagi, tersadar bahwa mata Najam sarat kelelahan. Ia pasti tak tidur semalaman ini.

"Kamu pasti capek, aku gak mau ganggu."

"Terus kenapa kamu gak pulang?" Najam tersenyum. Mengalihkan pembicaraan dengan meminta sarapan padaku.

Aku menuangkan nasi ke piring Najam layaknya seorang istri menyiapkan makanan untuk suaminya. Aku sedikit membayangkan jika aku menikah nanti, aku pasti menikmati saat-saat seperti ini.

Kembali pada situasi yang kuhadapi saat ini. Najam makan dengan lambat, bukan tipikal dia sekali. Aku memilih tidak bertanya dan membiarkan Najam makan dengan tenang. Tak lupa menyodorkan segelas teh hangat untuknya.

"Tumben kamu masak bening begini? Kamu lagi sakit?"

Aku mengangguk. "Lagi sakit perut. Gak bisa makan macem-macem." Jawabku singkat.

Najam menyelesaikan makannya, dan mencuci piring sebagai ucapan terimakasih karena aku berikan makanan. Aku sama sekali tak keberatan karena jujur saja, dengan keadaan perut seperti ini aku juga tak bisa bergerak terlalu sering. Sakit rasanya.

"Kamu mau kopi?"

"Nanti aku buat sendiri."

"Najam? Kita bisa ngobrol di teras aja? Di sini cuma kita berdua aja."

Najam paham dan berjalan mendahuluiku menuju terasa rumah. Aku gak bisa mengikutinya, aku berjalan sangat pelan untuk sampai kesana.

Aku mengira-ngira apa yang diinginkan Najam padaku. Boleh gak sih kalau aku sedang bosan memahami Najam terus-menerus? Kadang dia hanya mendekatiku hanya untuk persoalan Luna saja. Aku ingin sedikit lupa atas luka yang Najam torehkan tanpa henti. Ini yang namanya sakit tapi gak berdarah, perih.

Menunggu Najam bicara itu lama. Jadi aku memilih masuk dan membuatkannya kopi untuknya. Sedikit terkejut saat kembali ke luar melihat Najam tengah mengapit tembakau di bibirnya. Mengisapnya kuat lalu mengeluarkan asapnya mantap, seperti orang-orang yang sudah biasa melakukannya.

Aku tak pernah membeda-bedakan manusia. Mau perokok atau bukan, peminum atau tidak. Hanya saja aku sedikit terkejut, karena sepengetahuanku Najam bukan perokok. Aku gak mau bertanya tentang rokoknya, aku memilih bertanya tentang Puncak Gagoan semalam.

"Buruk." Jawabnya, aku mengenyitkan dahi tak paham. Dan bagusnya Najam menangkap ketidakpahamanku.

"Semalem aku mastiin lagi soal dia mau cerai atau gak. Dan dia masih ingin bercerai."

Aku diam sejenak, berusaha mencerna dengan baik apa yang dikatakan Najam barusan

"Sumpah ya aku gak paham sama sekali alasan kalian bercerai. Entah kalian yang gak mau cerita atau gimana yang jelas aku gak ngerti. Kalau dia masih mau cerai yaudah cerai aja. Aku udah pusing." Akhirnya aku pun ikut kesal, mengatakan semuanya penuh penekanan mempertegas bahwa ini adalah batasanku membantu Najam.

"Tapi ....."

"Pernikahan itu tentang dua orang yang ingin bersama. Kalau cuma kamu yang berjuang gak akan bisa kuat penyangga rumahnya. Kamu tahu kan? Pondasi rumah gak bisa cuma sebelah aja?" Najam mengangguk terdiam sejenak dan berjalan pelan menuju mobilnya. Aku hanya bisa melihatnya sambil menahan rasa sakit perutku. Bicara dengan penuh penekanan tadi rasanya seperti otot perutku tertarik sempurna. Dan aku gak bisa menjabarkan gimana sakit yang sedang aku rasakan sekarang.

Najam kembali membawa surat cerainya. Menyiapkan pulpen dan tengah menandatanganinya. Beberapa kali mendesah kecewa dan kini menatapku penuh harapan.

"Apa?"

"Kamu yakin?"

"Harusnya aku yang tanya gitu sama kamu. Kamu yakin gak? Ini hidup kamu, pernikahan kamu, istri kamu. Kamu masih yakin gak bisa membimbing Luna? Kalau gak ya lepas aja."

"Salu... Aku cinta sama dia."

Iya. Aku juga cinta sama kamu. Pengin deh aku teriak gitu. Entah apa yang sudah ku lewatkan, hingga Najam berubah cengeng seperti ini. Konsep cinta itu menguatkan, mendukung pribadi manusia menjadi lebih baik. Bukannya menjadi kelemahan baru untuk manusia yang sedang jatuh cinta.

Aku merasakan cinta. Tapi aku bisa berfikir jernih, misalnya saja aku gak segila itu merebut Najam dahulu. Itulah alasan aku yakin cintaku untuk Najam bukan sebuah ambisi untuk memiliki, melainkan benar-benar cinta yang hakiki.

***

[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang