Gadis itu terus memandang ke langit. Melihat sekumpulan awan mendung yang menggelayut. Mengadahkan tangannya untuk merasakan tetesan-tetesan air hujan yang jatuh melalui celah-celah atap sekolahnya.
"Haah"
Dia benci hujan. Benci saat hujan menyita waktunya untuk pulang ke rumah. Kalau tak karena tugas dari guru untuk membantu mengoreksi soal ujian adik kelas, mungkin sekarang dia sudah merasakan nyamannya selimut dan hangatnya susu panas. Hal yang paling disukainya saat hujan.
Udara dingin mulai meresap ke pori-pori kulitnya. Cardigan tipis tak mampu menahan dinginnya angin yang berhembus kala hujan. Susah payah dia merapatkan tangannya, berharap hal itu membantu menambah hangat suhu tubuhnya.
Tiba-tiba seseorang muncul dan berdiri di sampingnya. Mereka tak saling mengenal. Satu sekolah memang, tetapi tak pernah sekelas, walau gadis itu tau orang di sampingnya itu satu angkatan dengannya. Hanya diam yang tercipta di antara mereka. Tak ada sepatah kata menyapa.
Gadis itu bergerak gelisah. Jujur saja dia tak nyaman dengan keadaan seperti ini. Bersama seseorang, tetapi serasa tak ada orang. Sekolah telah sepi, hanya ada dia dan orang di sebelahnya. Atmosfer terasa mencekam, ditambah hujan dan suasana sekolah yang sepi, membuatnya menggidik ngeri.
"Kenapa?" Orang di sebelahnya tenyata mengerti kegelisahan gadis itu.
"Ehh. Ng..nggak. nggak papa. Ada apa?" Gadis itu tersentak. Tak menyangka orang itu berbicara kepadanya.
"Oh. Yaudah. Keliatannya gelisah. Sakit?" Terkesan dingin memang, tapi dalam nada suaranya terselip rasa khawatir. Padahal mereka tak saling kenal.
Gadis itu tersenyum samar. " Nggak. Cuma dingin dan sedikit ngeri. Sepi." Jawabnya jujur.
Lelaki itu terkekeh. Ya orang selama ini di samping gadis itu adalah seorang pemuda. "Ada aku di sini, kenapa ngeri?" Lanjutnya di sela tawa kecilnya.
"Yah. Gimana nggak ngeri coba? Kita cuma diem dari tadi. Berasa nggak ada orang sama sekali."
"Udah terang. Aku pulang ya." Pemuda seraya berlari di tengah gerimis, tak lupa melambai sebagai pengganti salam perpisahan.
"Huuh terang apanya? Masih gerimis gini. Mana main tinggal aja lagi." Gadis itu mengeluh, mulutnya mengerucut tanda merajuk. "Sepi. Udah ah nekat aja."
Gadis itu berlari menerobos gerimis. Menuju ke halte depan sekolah. Tubuhnya sedikit basah, tapi daripada sendiri di sekolah, membuatnya nekat pulang ke rumah.
Kali ini tak lagi di sekolah. Hujan menyapanya saat dia sedang ada di luar. Kalau tak karena tugas yang harus dikumpul besok tak mungkin dia repot-repot beranjak ke toko buku di musim hujan seperti ini.
"Hei!" Suara yang mulai familiar menyapa telinga. Gadis itu menengok dan mendapati pemuda yang menunggu hujan bersamanya tempo itu.
"Hai! Kok di sini?" gadis itu mengrenyitkan dahinya.
Pemuda itu tersenyum. "Main. Sendirian aja?"
"Iya nih. Mana hujan lagi." Keluh sang gadis.
"Kok nggak suka banget sama hujan?"
"Ada alasan yang buat aku suka hujan?"
"Banyak."
"Apa?"
"Suatu saat kamu pasti tau salah satunya."
Dahi gadis itu kembali berkerut tanda tak mengerti. Dia memandang lekat pemuda di dekatnya. Pemuda itu begitu misterius.
Keduanya kembali terdiam bergelut dalam pikiran masing-masing. Sepanjang menunggu hanya diisi dengan diam. Hanya terdengar suara tetesan hujan di atap toko buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Terindah
Teen FictionTak selamanya yang tak kau sukai itu buruk. Aku belajar berdamai dengan hujan, hal yang paling tak aku sukai, tapi hal itu membuatku bersamanya