4. Petaka

4.4K 264 3
                                    

Awal nya Gilang tidak ada niatan untuk ikut kerja kelompok bahasa Indonesia di rumah perempuan yang sering di panggil Ica itu. Tapi karena teman nya--Acong--datang, dan pemandangan halaman depan rumah nya kali ini terpaksa membuat laki-laki itu berubah pikiran.

Acong--sebenarnya nama asli anak laki-laki itu adalah Alvin, tapi karena kejadian saat ia masih duduk di bangku smp kelas awal, saat itu ia sedang memakai earphone di sekolah ketika Gilang memanggil nya tapi anak laki-laki itu tidak juga bergeming. Jadi lah nama nya di ganti oleh Gilang menjadi Acong--Alvin conge. Dan nama itu sekarang lebih terkenal ketimbang nama asli nya.

"Keren!" Acong berseru lantang ketika menonton Ghifari--kakak Gilang--yang sedang bermain bola basket di depan rumah nya. Tangan nya yang tadi memegang pintu pagar kemudian bertepuk tangan. Ghifari tersenyum ke arah nya.

"Mau kemana Cong?" Anak laki-laki yang usia nya satu tahun di atas Acong itu langsung mengambil gelas air yang ada di samping ring basket, juga handuk kecil untuk membersihkan keringat.

"Kerja kelompok." Jawab Acong tanpa mau repot-repot mendekat ke arah Ghifari yang jarak nya memang terlampau jauh. "Gilang ikut kerja kelompok? Perasaan semalem ga ada petir."

Acong lantas tertawa, "kesamber petir di Parung kemarin dia."

Obrolan hangat kedua nya terhenti ketika yang menjadi topik muncul dari pintu rumah. Mengenakan kaos hitam lengan pendek, celana jeans dengan warna senada, juga sandal jepit biasa. Gilang berjalan sambil memasukan kedua tangan nya di saku celana--kebiasaan nya. "Mau pergi kemana, Lang?"

Yang di tanya diam saja dan terus melanjutkan gerakan nya tanpa mau melihat ke arah kakak nya yang ada di sebelah kiri. "Pergi dulu Ghif!" Ghifari mengacungkan ibu jari kanan nya ke udara setelah melihat Acong dan adik nya menaiki motor masing-masing.

Acong sempat memicingkan kedua mata nya ke arah Gilang sebelum mereka memakai helm. "Baik-baik kek ke abang lo. Kasian dia."

"Udah pernah," jawab Gilang sambil memakai helm full face nya. Menyisakan Acong dalam keheningan sebelum deru motor Gilang menyala.

Di balik helm nya, Acong tersenyum kecut melihat tingkah sahabat dari kecil nya itu. Acong bukan orang baru bagi kehidupan Gilang, jadi laki-laki itu mengetahui semua nya.

----

Grafisa sedang menyiapkan makanan bersama Sarah--Mama nya ketika suara yang sangat ia kenal meneriaki nama nya dari luar pagar. Mulut Grafisa membentuk huruf O sempurna--sangat hiperbola memang--saat perempuan itu berdiri di belakang pagar rumah nya, melihat siapa yang datang. "Ca, hati-hati ada beruang masuk ke mulut lo."

Grafisa reflek menutup mulut nya, kemudian terbuka lagi untuk tertawa. "Akhirnya lo berdua ga di jadiin bahan jualan Mail nya nanti." Mail adalah anak perempuan yang mempunyai nama asli Putri. Tapi karena wajah nya yang di mirip-miripkan dengan tokoh Mail dalam kartun animasi Upin&Ipin, jadi lah nama nya seperti itu sekarang. Selain menjadi Mail, ia juga kerap di sama-samakan dengan Kak Ros akibat galak nya kalau menyangkut hubungan tentang 'tugas dan sekolah'.

Satu kelompok dengan Mail adalah neraka bagi anak-anak yang malas, karena siapa yang tidak ikut mengerjakan tugas tersebut, akan di coret. Tidak ada pengampunan.

Gilang tersenyum ketika berkenalan dengan kedua orangtua Grafisa, walaupun ia jarang tersenyum--tapi ia masih punya etika, ya walaupun dikit. "Nama saya Alvin, Oom, Tan."

Grafisa yang mendengar Acong memperkenalkan diri sebagai Alvin kemudian mendecih, "alah biasa juga di panggil nya Acong."

"Acong? Alvin Conge?" Revan menyahut, hampir tertawa. Dulu, saat SMA teman sekelas nya juga ada yang di panggil dengan nama tersebut, beda nya nama asli nya Aldi, bukan Alvin.

"Oh? Dulu pas jaman Papa ada juga?"

"Tolong hilangkan kata dulu nya, Papa ga se-tua itu."

Sarah langsung menyuruh Acong dan Gilang untuk duduk di ruang tamu. Sebab Grafisa masih asik berdebat dengan Revan. Saat duduk di karpet, mata Acong tidak sengaja menangkap bingkai-bingkai kecil yang di taruh di atas meja televisi.

Jahil, Acong kemudian mengeluarkan ponsel nya dan memotret bingkai foto tersebut yang semua nya adalah foto masa kecil Grafisa. Mulai dari yang baru bisa tengkurap, berjalan, hingga saat mengenakan seragam putih merah, rambut nya di kuncir dua dengan aksesoris rambut dimana-mana, kedua bola mata nya yang besar menyipit sedikit karena anak perempuan usia enam tahun itu tersenyum cerah menampakan satu gigi depan bawah nya yang hilang.

Masa putih merah Gilang juga seindah itu.

----

Dua jam kemudian rumah Grafisa sudah penuh. Semua nya sudah lengkap. Acong, Bian, Mail, Riva, Gilang, dan Grafisa sendiri. Semua tugas sudah di bagi dengan kesepakatan bersama. Inti nya, Mail menjadi moderator dalam kelompok ini.

Selesai. Mail dan Riva kemudian pamit pulang dengan alasan masing-masing. Sedangkan Bian, terpaku lemas bersender di sofa karena tadi terlalu banyak memakan puding buatan Sarah. "Anying kenyang banget gue, besok-besok gue main ke rumah lo ya Ca."

"Lo kira rumah Ica warteg!" Seru Bian sambil memukul kepala Acong yang ada di bawah nya.

Acong malah nyengir, "engga, kan biar bisa deket juga sama calon mertua."

Bian, Gilang, dan Grafisa lantas menjitak kepala Acong kuat-kuat, sampai anak laki-laki itu meringis kesakitan. "Ca, pinjem toilet dong."

"Pinjem? Nanti balikin ya." Gilang sama sekali tidak tersenyum menanggapi candaan Grafisa untuk nya. Laki-laki itu menatap Grafisa malas, heran ada saja spesies seperti nya.

"Itu dari dapur belok ke kanan." Unjuk Grafisa. Gilang lantas pergi kesana.

Tidak lama kemudian Acong dan Bian ikut meninggalkan ruang tamu. Ingin membeli camilan lagi kata nya, padahal masih banyak camilan di rumah Grafisa. Masih duduk di karpet, perempuan itu diam saja. Mungkin Mama Papa nya sedang di dalam kamar, atau tadi pergi ke supermarket.

Getaran dari samping tubuh Grafisa membuat nya menoleh. Mendapati ponsel hitam yang tergeletak dengan pop up messages dari salah satu apilikasi chat. Sesuai dari tempat nya, benda itu pasti milik Gilang.

Grafisa kemudian menarik benda tersebut agar lebih mendekat, tubuh nya menunduk ke kanan, melihat pesan apa yang masuk.

Ghifari Alfaridzi: dicariin papa

Ghifari Alfaridzi: mau kapan pulang?

Dengan tangan bergetar, Grafisa akhirnya membuka ponsel tersebut yang untung nya tidak di kunci. Suara Gilang saat memarahi nya waktu itu seakan mengiang di telinga, tapi rasa ingin tahu Grafisa mengalahkan segala nya.

Makin lama ia men-scroll chat Gilang dengan laki-laki bernama Ghifari itu membuat Grafisa tahu kalau hubungan kedua nya adalah adik-kakak. Grafisa hampir berteriak saat membuka display picture dari Ghifari. Otak nya seketika penuh dengan tanda tanya. Itu Ghifari?! Kak Ghifari? Kapten tim basket? Mereka berdua adik-kakak?!

Kakak kelas yang selalu Grafisa idam-idamkan setengah mati adalah kakak dari orang yang sangat tidak ia inginkan hadir di hidup nya.

"Ngapain lo?!" Suara itu dingin. Bahkan terasa sangat menyeramkan dari biasa nya. Grafisa lantas menggeleng, lalu menegapkan tubuh nya kembali.

Gilang tentu tahu betul apa yang terjadi, anak laki-laki tersebut kemudian duduk di samping Grafisa. Lebih dekat dari yang tadi, ingin rasa nya melenyapkan anak perempuan itu sekarang juga, atau minimal memaki. Tapi semua itu tidak dapat terlaksana karena sekarang anak itu sedang ada di rumah Grafisa.

Kepala nya mendekat ke arah Grafisa, lalu mulut nya sengaja ia dekatkan ke telinga Grafisa yang sepertinya mengalami gangguan. "Ga denger kemarin gue ngomong apa? Lo udah tahu apa aja karena ke-kepoan lo itu?!"

NuncaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang