"Kamu boleh tinggalin aku kalau kamu mau." Alden membuang wajahnya, enggan menatap mata Via yang sejak empat tahun terakhir ini selalu jadi pilihannya menatap.
"Kenapa?" tanya Via dengan pandangan yang tak dapat Alden definisikan. Kecewa dan bingung jelas tergambar di mata Via yang mulai berkaca-kaca.
Alden menangkupkan wajahnya di lipatan tangan. "Kamu bisa lihat sendiri sekarang. Bisnis aku udah mulai mati." Via mengangkat wajah Alden, menangkup wajah Alden yang terlihat murung dalam tangan mungilnya.
"Kamu lupa, Den? Kamu lupa sama apa yang pernah aku bilang sewaktu di kaki Gunung Rinjani?" Nada lembut yang Via lontarkan membuat hati Alden bergetar. Ingatannya tiba-tiba terlempar pada kejadian dua tahun yang lalu.
"Kamu yakin mau naik ke sana?" Alden bertanya dengan ragu. Bukan apa-apa, ia tau pasti Via akan kelelahan. Ini bukan idenya, mengajak Via naik Gunung Rinjani.
Via tersenyum hangat, "kamu pernah lihat aku seyakin ini sebelumnya? Aku yakin banget, Den."
Binar mata Via yang terlihat sangat semangat dan bahagia menumbuhkan sepercik semangat di hati Alden. Dalam hatinya ia bersyukur bertemu dengan Via. Seorang gadis baik yang cantik luar dan dalam. Pribadi Via yang ceria itu selalu membawa warna tersendiri di hidup Alden.
Via menengadahkan kepalanya, mengira-ngira ketinggian gunung di depannya ini. "Kita bisa sampai di puncak tepat hari Sabtu nggak ya?"
Alden tersenyum. Tangannya meraih telapak tangan Via yang hangat. Via mengalihkan pandangannya, tawanya menyembur begitu saja saat melihat keringat yang turun dari dahi Alden.
"Kamu masih takut ketinggian?"
Alden membeku. Perasaan malu mulai membakar dirinya sampai wajah dan telinganya pun berubah menjadi merah.
Gemas, akhirnya Via mencubit kedua pipi Alden. "Ada aku, kamu nggak usah takut. Kita jalanin aja, nggak usah mikir macam-macam, kita lihat apa yang ada di depan." Via menenangkan Alden. Lagi, dan akan terus seperti ini, Alden selalu dibuat kagum oleh tingkah Via yang tak pernah terduga.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, batu-batuan dan tumbuhan liar yang mereka lewati pun menjadi saksi perjalanan mereka yang jauh dari kata mudah, Alden dan Via sampai di puncak Gunung Rinjani dengan perasaan bahagia dan lega yang luar biasa.
Via melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam pagi. "Gimana, Den? Sejuk kan? Kita sampai tepat waktu. Hari sabtu pagi yang bahagia." Via bertanya yang dijawab anggukan oleh Alden. Keduanya menatap ke arah yang sama. Di mana matahari tanpa malu mulai menunjukkan cahayanya.
"Dua tahun lalu, kamu berusaha susah payah manjat balkon kamar aku, nempelin secarik kertas yang sialnya bisa langsung bikin kupu-kupu terbang di perut aku. Dua tahun lalu, kamu berjuang buat bikin aku dan kamu bisa nyatu lalu bahagia. Tapi sekarang, kita berjuang bersama. Daki gunung, ngelewatin senang dan susah bersama, demi ngegapai bahagia yang sama juga."
Via menatap tepat ke manik mata Alden yang hitam pekat, "aku mau kamu ingat kejadian ini. Aku nggak mau biarin kamu berjuang sendiri. Aku mau kita berjuang bersama, selalu bareng waktu senang maupun duka. Aku mau jadi pendamping kamu, bukan wanita yang menunggu di puncak aja yang nunggu untuk bisa kamu bahagiain."
Alden merasakan oksigennya hilang entah kemana. Kekagumannya tak pernah berhenti tertuju untuk gadis di hadapannya.
Dengan sekali sentakan, Alden memeluk gadis berumur dua puluh tahun di depannya. Mencium puncak kepala Via seraya berkata: "makasih Vi. Makasih sudah mau berjuang demi aku. Selamat tanggal tujuh belas ke 24 kalinya, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldevia's Cafe (1)
Short Story-Aku, kamu dan secangkir kopi racikanmu.- Mimpi, setia, dan prinsip kita.