Lagi, aku peduli sendiri. Mengejar tak kenal henti, sedang kau lari menuju akhir yang tak pasti. Merana membuka jiwa. Bukan kali pertama, tapi kini membunuh segala rasa. Dengan juta alasan di atas ketidaklogisan, yang jelas merefleksi keegoisan. Terima penuh kenaifan seolah hati sedikitpun tak tergoyahkan. Sambil menelan pahit kata yang terlontar menyakitkan.
Menghela nafas dengan pasrah, menahan rindu yang berbuah amarah. Terbanting, aku terpelanting bagai daun tersapu baling-baling. Penantian berujung rapuh hati hingga mati serupa bongkah ranting. Berawal kaca setegar gading, berakhir pedih sehina beling. Berserak di sudut ruang, bertemankan debu di sela dinding.
Pantaskah aku menanti untuk kali kesekian? Demi sosok yang berkali isyaratkan pengabaian. Hati kini telah mengerti. Bahwa penantiannya sebatas satu sisi. Ia terbahak dengan ironi. Melihatku yang lagi-lagi peduli sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Refleksi Berdiksi
PoetryRefleksi Berdiksi. Merefleksi isi hati, dengan diksi yang menghiasi.