Bagian Sepuluh

238 32 21
                                    

Selesai sudah drama yang kami lalui di rumah. Aku sudah menyuruh Najam untuk pulang ke rumah untuk istirahat sebentar. Sedangkan aku sedang menikmati perjalananku menuju rumah Luna. Menggenggam erat surat cerai Najam yang telah ia tanda tangani.

"Assalamualaikum, Luna." Aku sudah mengetuk pintu itu beberapa kali dan belum ada tanda-tanda ada orang di rumah ini.

"Assalamualaikum." Panggilku lagi, hingga suara Mama mengagetkanku.

"Salu sayang, kamu di sini?"

"Iya Mah. Luna gak ada di rumah ya?" Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Luna di sekitar Mama Ani.

"Dia pergi sama Papanya. Katanya mau makan Lamang Tapai."

Aku mengangguk paham. "Oh, yaudah. Aku pulang ya Mah." Pamitku dan langsung dicegah Mama Ani untuk tinggal sebentar.

"Mampir dulu sayang. Mama bikin Pinyaram nih, Luna yang pesen."

Karena aku gak bisa menolaknya, aku menurut saja. Duduk manis di kursi yang dipersilahkan Mama Ani. Aku merasa canggung di sini, sejak kedatanganku terakhir kali. Saat aku menyatakan perang pada Luna.

Mama Ani datang membawa sepiring Pinyaram ditemani teh manis hangat.

"Dicicipi sayang."

"Iya Mah." Kucicip Pinyaram buatan tangan Mama Ani, aku yakin ini buatan tangannya sendiri karena ia sangat suka memasak beda sekali dengan Luna yang terlalu dimanja Papa Aldi.

"Itu surat cerai Luna ya?" Mataku bergerak ke arah tangan Mama Ani menunjuk. Sebuah amplop bening memang membalut surat ini. Hanya saja amplop itu tak cukup kuat untuk menghalangi pandangan orang lain mengetahui apa yang ada di dalamnya.

"Mama gak ngerti sama anak-anak. Mereka mau bercerai, tapi sama sekali gak cerita kenapa. Mama bingung mau bantu mereka bagaimana." Aku tersenyum. Seperti ingin mengiakan kalimat yang baru saja kudengar.

"Aku juga gak ngerti. Aku udah coba cari tahu pun Luna gak mau bilang kenapa."

"Papanya sama sekali gak ngebantu. Ngebiarin anaknya bertindak sesuka hati." Aku mengelus punggung Mama Ani yang terlihat gusar menceritakan kegundahan hatinya. Jujur aja, aku sama bingungnya dengan Mama Ani. Sama-sama tak ingin mereka bercerai juga. Tapi ini adalah pernikahan mereka, dan aku tak memiliki wewenang lebih untuk bisa menghentikan perceraian itu terjadi.

Mama Ani meneruskan curhatannya. Aku mendengarnya dengan sungguh-sungguh. Menerima semua pemikiran-pemikiran orang tua memandanga pernikahan sang anak. Banyak pesan-pesan juga yang disampaikannya, mengingat aku belum menikah dan Mama Ani ingin aku mengambil banyak pelajaran dari Najam dan Luna.

Cukup lama aku di sini, cukup lama sampai Luna akhirnya kembali dengan Papanya. Menatapku sedikit terkejut mungkin karena mendapatiku duduk manis di rumahnya entah sejak kapan. Pemikiranku tepat karena tak lama kemudian Luna memulai pertanyaannya.

"Udah lama?" Aku tersenyum mengiakan. Tak lupa memberi salam pada Papa Aldi yang kini telah menanyakan kabarku.

"Baik Pah. Papa sehat juga?"

"Alhamdulillah. Kamu ke sini kok gak bilang sama Luna?"

"Mendadak Pah. Lagi pengin aja main ke sini."

Luna datang menghampiri kami setelah kembali dari kamar untuk mengganti pakaiannya. Meminta izin pada Papanya untuk menculikku ke dalam kamarnya. Tak lain dan tak bukan untuk diintrogasi.

Aku menatap mata Luna lekat-lekat. Menangkap kegelisahan dari matanya, rasa tak suka sedikit terlihat ketika melihat apa yang ku bawa untukknya.

"Ini buat kamu."

"Kamu gak malsuin ini kan? Atau maksa Najam untuk tanda tangan?" Luna terlihat tak puas. Dia terus membolak-balikkan surat yang tengah di genggamannya itu. Masih tak percaya.

"Kamu yang buat Najam tanda tangan dengan sukarela tanpa harus aku bujuk. Lagipula harusnya kamu seneng, keinginan kamu untuk cerai terpenuhi. Kalau kamu gak sanggup bawa surat itu ke Pengadilan ya biar aku aja sini gak apa-apa." Tawarku.

"Kamu jangan ikut campur Salu."

"Aku? Gak sama sekali." Elakku. Lagipula mereka itu memang harus disadarkan. Terlalu kekanakkan untuk pasangan yang sebentar lagi akan memiliki buah hati.

"Kamu selalu begitu. Ikut campur! Sok tahu! Sok paling paham dengan apa yang aku atau Najam butuhkan. Ngerasa paling ngerti kami berdua, padahal yang kamu lakuin cuma berfikir sendiri. Gak pernah bertanya apa kami benar-benar butuh atau gak semua hal itu sesuai dengan apa yang kamu pikirkan selama ini." Aku diam. Gak bisa menjawab omongan Luna sama sekali. Jiwaku berontak menyangkal semua yang Luna katakan.

Aku tak seperti itu. Tidak seperti yang Luna katakan. Aku memang memahami mereka yang nyatanya adalah sahabatku sejak kecil. Dan aku melakukan apapun yang terbaik untuk mereka, aku akan bantu mereka saat mendapatkan masalah. Apa itu salah? Aku hanya ingin membantu para sahabatku. Aku selalu ada untuk mereka, membantu mereka tanpa mereka pinta.

Apa itu salah?

Aku diam, memilih diam dan membiarkan Luna melanjutkan ocehannya. Menjawabnya sama sekali bukan tindakan yang baik, dia sedang hamil apabila aku menjawabnya yang ada hanyalah kami akan berakhir dengan berteriak satu sama lain.

"Atau kamu ngelakuin semua ini karena mau ngerebut Najam dari aku?" Stop! Tuduhannya semakin tak mendasar. Selama ini yang aku lakukan hanya untuk membuat mereka rujuk. Dan Luna masih saja berfikir bahwa aku mengkhianatinya dengan merebut suaminya itu.

"Aku gak tahu sekotor apa aku di pikiran kamu Lun. Demi Allah, aku sayang dan cinta sama Najam. Sejak dulu, sekarang dan entah sampai kapan. Tapi tak pernah sedetikpun dalam hatiku ingin mengambilnya darimu." Luna diam, menangis dalam diamnya.

"Aku pulang Luna. Dan aku dengan senang hati akan menunjukkan sama kamu, bagaimana jadinya kalau aku benar-benar mau rebut Najam dari kamu. Wassalamualaikum."

Aku berlari keluar rumah Luna. Gak pamit sama sekali dengan orang tuanya yang kini memanggil-manggil namaku bingung karena melihat kondisiku saat keluar dari kamar putrinya.

Wajahku basah penuh air mata. Dan siapapun yang melihatnya pasti berpikir ada yang salah denganku.

Aku kembali memikirkan semua kalimat yang terlontar tanpa bisa tertahan dari mulut Luna. Aku memang tak pernah bertanya, karena aku kenal mereka sejak kecil. Apa yang Najam dan Luna suka atau tidak aku pun hafal semua itu. Lalu dengan semua itu, Luna masih saja meragukanku?

Cukup.
Aku selesai.
Aku berhenti.

***

[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang