“Ab, ayo kita sarapan,” suara seorang wanita dari arah dapur menghentikan kegiatanku yang sedang menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini.
“Iya bu, sebentar lagi Ab kesana,” ucapku, lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti itu. Setelah semua siap, aku langsung menuju dapur.
“Pagi, Bu,” kukecup pipi ibu yang sedang sibuk menghidangkan makanan di atas meja.
“Pagi juga, Ab,” ucap ibu dengan senyum hangatnya. Ya Tuhan, senyumannya itu selalu membuatku nyaman, membuatku tenang. Jadi aku mohon, jangan renggut senyuman itu dari wajahnya.
Aku duduk di depan ibu, dan kami mulai sarapan bersama. Hanya aku dan ibu. Ya, hanya dialah yang aku punya sekarang. Setiap mengingat hal itu, aku jadi sedih. Entah mengapa, takdir seakan mempermainkan hidupku. Ia memisahkanku dari orang-orang yang kucintai. Sudahlah, aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Aku tidak mau tampak lemah dihadapan ibu.
“Ibu, Ab sudah kenyang. Ab berangkat dulu ya,” ucapku bohong, padahal baru beberapa suapan yang masuk ke dalam mulutku. Aku hanya tidak ingin ibu melihat wajah sedihku. Sebelum pergi, aku menyalami ibu dan mengecup pipinya lagi.
Tanpa kusadari, rupanya ibu terus menatap wajahku yang agak murung. Ia juga sempat bergumam, tapi sayang aku tidak mendengarnya. “Maafkan Ibu, Ab. Ibu tak bisa membantumu, hanya ini yang bisa Ibu lakukan. Sekali lagi maafkan Ibu.”
Kakiku yang berbalut kaos kaki putih dan sepatu hitam, terus menapaki jalanan yang mulai ramai ini. Dari pada naik bis, aku lebih memilih untuk jalan kaki saja, apalagi jarak antara rumah dan sekolahku tidaklah jauh. Selain bisa menghemat biaya, berjalan kaki di pagi hari akan membuat tubuh semakin sehat. Tapi yang jadi masalah adalah lalu-lalang kendaraan bermotor yang menghembuskan gas karbon monoksidanya itu membuat polusi disetiap harinya.
Tak terasa akhirnya aku sampai juga di sekolahku, SMP Nusantara yang merupakan salah satu sekolah terfavorit di Pulau Jawa. Disini aku dikenal sebagai murid yang misterius, karena tidak ada satupun yang mengetahui latar belakang keluargaku. Bukan itu saja, selama aku bersekolah disini aku juga tidak pernah mengeluarkan ekspresi sedikitpun. Namun, hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Ya, semenjak hari itu semua kebahagianku hilang dan aku sudah tak punya alasan lagi untuk tersenyum. Bahkan sekarang aku sampai lupa bagaimana caranya tersenyum. Miris.
Namun, ibu selalu ada disampingku. Ia melakukan berbagai cara agar aku tersenyum dan terus mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Mulai saat itu akhirnya aku bisa menerima kenyataan. Walau senyumanku belum kembali, tapi setidaknya aku merasa sedikit bahagia karena masih ada seseorang yang mau memberikan bahunya untuk tempatku bersandar. Dan aku sangat berterima kasih untuk itu.
Aku berjalan melewati koridor dengan wajah dingin, tidak ada satupun murid yang berani menatapku. Hingga mereka akan melakukan berbagai cara agar tidak bersitatap dengaku, mulai dari menunduk sampai pura-pura tidak melihatku. Tak jarang juga aku mendegar mereka mengataiku aneh bahkan bisu, karena aku jarang sekali berbicara. Dan karena sifatku yang anti sosial itu, aku tak pernah punya teman. Tapi tak apalah, aku juga tidak akan mati kalau mereka tidak mau berteman denganku. Jadi, dibawa santai saja.
Sebelum masuk kelas, aku terlebih dahulu memasukkan baju olahraga ke dalam lokerku. Tapi saat pintu lokerku terbuka sempurna, aku melihat sebuah kotak beludru.
“Apa ini,” aku membolak-balikkan kotak itu dan membukanya setelah memasukkan baju olahraga ke dalam loker. Aku terkejut, didalam kotak itu ada sebuah kalung dengan liontin berlian hitam berbentuk gigi serigala.