Suasana hari ini sedang cerah-cerahnya, seperti mengerti akan perasaan ku hari ini. Duduk aku disebuah cafe yang tak jauh dari rumahku, menunggu hadirnya dirimu. Kamu katakan bahwa kamu akan datang sepuluh menit lagi.
Tak hentihentinya, jantung berdegup kencang menunggu hadirnya dirimu. Maklum saja, ini adalah kali pertama aku bertemu denganmu. Menunggu dan tetap menunggu sambil menikmati secangkir teh yang ku pesan dari tadi. Seteguk, dua teguk. Aku tak menyukai kopi. Kopi hitam, rasanya pun tak enak, pahit.
Kini tersisa setengah cangkir teh itu. Tak terasa menunggu mu telah lewat dari setengah jam. Jauh terlambat dari yang kamu katakan. Sepuluh menit, sepuluh menit dikali tiga mungkin, kamu lupa akan kata selanjutnya yang tak kamu ucapkan 'dikali tiga'.
Langit mulai mendung, seperti perasaanku yang mulai kecewa. Kecewa dengan apa yang kamu katakan. Baru pertama kali ingin bertemu saja kamu telah mengecewakan apalagi nanti. Gerimis pun datang, suasana hatiku makin kacau, sudah empat puluh lima menit ku lewati. Aku bertekad akan pulang sepuluh menit lagi jika kamu tak datang. Aku bosan menunggumu.
Sudah sepuluh menit berlalu, tak ada kabar darimu. Mungkin kamu hanya halusinasi ku, atau bayanganku saja. Sebenarnya kamu tidak ada, iyakan. Aku berdiri dari kursi ku, segera kutinggalkan tempat itu.
Diluar masih gerimis, tak terlalu deras. Lebih baik aku menerobosnya. Baru saja aku mengambil ancang-ancang untuk berlari. Ada suara memanggil dari arah samping dan menepukku,
'Hey mau kemana?'
Aku menghentikan niatku. Laki laki tinggi disampingku ini siapa, dia mengenalku. Ku pandang wajahnya sedetik, ternyata kamu. Kamu mengajak ku kembali masuk kedalam cafe, dan mengajakku duduk. Aku kesal sekali, mukaku murung. Dan kamu memulai perbincangan setelah cukup lama keheningan antara kami,
'Maaf aku sangat telat, macet dijalan dan hujan lebat sekali.'
Kamu mencoba memberikan penjelasan, aku pun mengerti. Ku maafkan kamu kali ini. Kamu mengajakku berbincang, melontarkan lelucon, dan menceritakan segala nya tentang kamu. Kamu buat aku melupakan segala kekesalanku atas kesalahanmu.
Langit mulai kembali cerah. Terlihat pelangi bersinar setelah gerimis sirna. Bersamaan dengan kembali datangnya kepercayaan akan dirimu. Kamu kembali kan suasana hatiku. Aku percaya setelah bertahun tahun mengenalmu walaupun aku tak pernah melihat rupa mu sebelumnya, hanya lewat suara.
Hari berlalu setelah hari itu. Aku mengenalmu lebih dekat dalam keseharianmu. Ternyata kamu adalah pekerja seni. Bukan, bukan mengukir tapi sastrawan. Pantas saja jika kosakata yang kamu gunakan selalu terlihat sempurna. Setiap sela percakapan kita, kamu sisipkan kata puitis mu itu.
Kamu bukanlah laki-laki romantis. Aku tau kamu tak akan pernah mengirimkan makanan pada tengah malam, memberikanku hadiah, atau sekedar membuat kejutan semata untuk kita berdua. Kamu jauh lebih dari itu.
Kamu mengajakku untuk makan diluar bersama mu dan keluargamu, menjaga pola makanku. Kamu juga tak pernah memberikan kejutan, karena disetiap hal yang kamu lakukan selalu mengejutkan, hal yang tak pernah ku pikirkan dan ku duga. Seperti kemarin, kamu menyuruhku untuk mendengarkan radio, ku kira kamu akan merequest lagu kesukaan kita, ternyata lebih dari itu, suaramu yang tengah membacakan puisi yang kudengar. Sesederhana itu kamu membuat aku bahagia. Dan tak segan kamu mengenalkanku pada sanak saudaramu. Betapa beruntungnya aku memilikimu saat ini.
Aku mengerti, Tuhan tak hanya mengenalkan sesorang sebatas percakapan. Tapi ada makna dibalik semua itu. Mengenalmu secara tidaksengaja adalah keajaiban yang diciptakan Tuhan agar makhluknya percaya akan Nya.
Jika mencintai harus melalui fisiknya, lantas bagaimana cara kamu mencintai Tuhanmu yang tak berwujud?
KAMU SEDANG MEMBACA
[Hiatus] Tell You.
PoesíaKumpulan cerita pendek. Coba sekarang kamu rasakan, apa yang aku rasakan sekarang. Aku ingin kamu merasakan segala sesuatu yang ku alami. Tentang bahagiaku, kesedihanku maupun kegundahanku akan dirimu. Jika kamu tidak bisa memahami dan peduli, cobal...