.
.
.
Napasku mampat. Nyaris. Terlampau sulit mendapatkan oksigen tak kala dadaku dipenuhi bongkahan-bongkahan pilu. Aku berteriak keras dan hanya angin yang menjawabku. Merasa terlalu sulit menghadapi hidup. Seharusnya takdir tidak menyiksaku seperti ini. Kenapa keadilan begitu absurd memihakku? Aku hanya ingin memiliki sedikit cintanya, namun ia pergi tanpa menyisakan apapun yang bisa aku simpan.
Hanya rasa sakit, hanya kenangan pahit yang tersimpan dan tak ada artinya untuk dikenang. Rasa itu semakin jadi, aku tahu, seharusnya aku tak memikirkan apa-apa. Namun aku tak bisa. Setiap menutup mata, sosoknya ada disana, kalau aku menutup telingaku, terdengar suara tawanya. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Namun... Pilihan apa yang ada? Tidak ada pilihan lagi. Ragaku seolah mati, mesti aku menjalani hidup seperti orang normal. Aku bagaikan mayat hidup. Aku kehilangan diriku.
.
.
.
"Kau menangis bahkan disaat kau sedang kedinginan. Apa kau tidak bisa berhenti menjadi orang cengeng?" aku kaget dan menoleh dan tanpa sadar sudah berteduh dipayung seorang namja.
"Kau patah hati lagi?" tanya namja itu. Aku mengangguk mengiyakan. Bukannya menenangkanku, ia malah tersenyum.
"Jika kau berhenti memikirkan itu, maka kau tidak akan merasa sakit lagi."
"Bagaimana aku bisa melakukannya?" Aku menatapnya bingung. Itu suatu kemustahilan. Luka ini masih baru, terlalu muda. Bahkan suaranya masih terngiang-ngiang. Bagaimana aku bisa bernapas tanpa memikirkannya?
Ia tak menjawab. Ia mengabaikan pertanyaanku. Menutup payungnya dan menggenggam tanganku kemudian menarikku berlari. Aku kaget tapi tubuhku tidak menolak.
.
.
.
Tanpa peringatan ia berhenti mendadak, membuatku nyari menubruknya kalau aku tidak menyeimbangkan tubuhku.
"Bagaimana kau bisa menangis sendiri? Bukankah 2 lebih baik, Min Yoongi-ssi?" aku bergeming mencoba memahami lelucon ini sekaligus agak tersentak karena dia tahu namaku. Bagaimana ada orang yang memikirkan ini. Bahkan aku tidak mengenalnya dan sekarang ia memintaku untuk menangis bersamanya. Aku tertawa kecil.
"Darimana kau tahu namaku? Dan kau bukan orang yang asik untuk diajak menangis."
"Aku bisa menangis bersamamu, tertawa bersamamu namun jangan ajak aku mati bersamamu," aku kembali tertawa mendengar penuturannya.
"Lagipula siapa yang memintamu untuk mati bersamaku?" Ia tak menjawab, namun ia memberikan sebuah surat lusuh yang nyaris luruh oleh hujan. Aku lah yang menulis penyesalan itu. Ibarat surat cinta. Aku tak tahu bagaimana cinta bisa diketahui bila disampaikan demikian. Aku melakukan itu semata-mata untuk melegakan perasaanku. Kukira apa yang aku lakukan berjalan dengan lancar, tak akan ada yang tahu. Namun aku salah besar. Bagaimana bisa namja ini rela menghanyutkan diri untuk mengetahui apa yang kutulis? Itu tindakan aneh bahkan untuk orang yang tidak saling mengenal.
.
.
.
"Aku akan mengenangmu meski memilikimu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Yang aku lakukan adalah mencoba melupakanmu. Itu sulit. Dan kau tahu itu. Namun... tidakkah kau merasa apa yang kau lakukan padaku sangatlah buruk? Kau mengakhiri hubungan ini tanpa membuat diriku mengetahuimu lebih jauh. Aku tak tahu apa yang tak kau suka dariku yang membuatmu tak enak. Sikapmu itu membuatmu ingin mati saja. Membuatku menyesal telah mengenalmu. Dan bagaimana caranya agar aku dapat melupakanmu. Kehidupan tak membiarkanku bernapas lega selama otakku dipenuhi oleh dirimu. Aku harus bagaimana?" Namja itu membaca penggalan dari kalimat yang kutulis disurat itu. Aku tahu itu sangat konyol. Tapi dirinya yang ingin tahu urusanku adalah lebih konyol.
"Namaku Park Jimin. Panggil saja Jimin. Tadi kau bertanyakan?" ucapnya sambil tersenyum. "Kau mau mengakuinya? Mati itu bukan tindakan yang baik," lanjutnya.
"Ah iya, Jimin-ssi. Siapa pula yang mau mati? Aku tidak jadi melakukannya, lagipula itu tindakan bodoh. Aku tidak mungkin melakukan itu." Namja itu tersenyum dan mengusap surai hitamku dengan lembut. DEG! Rasanya sangat familier.
"Kau...," aku mencoba mengenali dan mengingat sosok didepanku ini. Dia tersenyum lagi. Tampan.
"Dimalam itu, malam yang dingin dihiasi dengan rintik hujan kecil, 14 Februari 2010, umurku baru menginjak 13 tahun saat aku terduduk sendiri ditrotoar jalan. Kau, Min Yoongi, turun dari mobil dan menghampiriku, Park Jimin. Memberiku cokelat. Lalu aku mengatakan, 'Mengapa memberikanku cokelat? Apa kau mencintaiku?' Kau tak menjawab, kau hanya tersenyum, senyum yang sangat manis, menunjukan gummy smilemu, dan mengelus puncak kepalaku. Lalu kau berbalik dan berseru. 'Kurasa aku, Min Yoongi, 15 tahun, menyukaimu!' Dan kau menghilang, masuk kedalam mobil." Ia menceritakan detail yang membuat darahku berdesir dan wajahku merona. Aku mengingatnya. Namja dengan pipi chubby hari itu, dia sangat lucu. Ah selama ini dia makan apa saja. Mengapa sekarang menjadi tampan sekali, dengan surai grey.
"Aku ingin kau melupakan sakit hatimu dan melihatku, lalu tersenyum. Mungkin aku adalah cinta pertamamu, Yoongi hyung. Aku ingin kau seperti 7 tahun lalu, merasa bahagia karna menyukai seseorang. Lagipula aku menerima pernyataan cintamu." Aku masih bergeming, mencerna semua ucapannya. Bagaimana namja ini masih mengingatnya bahkan mengenaliku.
"Kyaaa.... Itu bukan pernyataan cinta, aku hanya mengatakan, aku menyukaimu," aku baru menyadari ucapannya tadi.
Kini dengan sebuah moment familier yang sudah lama itu, ia ingin masuk kedalam hidupku. Ia kembali mengusap surai hitamku, mengembangkan senyumnya dan mengikis jarak antara kami. Lalu mengecup bibirku, lembut tanpa lumatan. Aku kaget dan sontak menutup mataku. Ia melepaskan bibirnya dari bibirku. "Ayo kita pacaran, hyung."
Meninggalkan keterkejutan dan rasa debar yang aneh.
Aku tak tahu dalam tanda apa cinta harus dimulai atau diakhiri, yang aku tahu adalah entah dimana, sadar atau tidak, akan selalu ada cinta yang dapat dipupuk, tergantung bagaimana kau menyemai dan merawatnya. Cintaku mungkin sudah lama terselip oleh berjalannya waktu, namun namja ini, Park Jimin, mengingatkanku pada moment itu. Betapa pada umur itu, aku bisa menaruh peduli pada pemuda asing hingga memberinya cokelat terakhir buatanku dan berteriak 'suka!'
END...