Alno menaiki anak tangga dengan hati-hati. Takut jika makanan yang ia bawa untuk Siska akan tumpah. Sampailah ia di depan sebuah pintu coklat yang tergantung nama Siska di pintu itu.
Di sebelahnya ada sebuah ruangan yang terbuka lebar, Alno yakin itu adalah kamar milik Sinta. Karena samar-samar ia bisa mendengar suara milik Alden dan Sinta dari sana.
Alno mengetuk pelan pintu kamar Siska. Berharap pintu itu akan dibuka oleh pemiliknya.
"Nanti Siska makan, Ma!", suara Siska terdengar lirih, serak, dan sengau. Siska mengira, Yuni-lah yang mengetuk pintu untuk kesekian kalinya.
Sekali lagi Alno mengetuk.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
"Siska? Buka pintunya!", Alno bersuara. Masih terap mengetuk pintu kamar Siska.
"Pulang!", seru Siska dari dalam sana. Kepalanya bertambah pening begitu menyadari Alno lah yang sekarang sedang berada di depan kamarnya.
"Buka pintunya, Siska! Gue bawa makanan buat lo"
Setelah beberapa lama Alno mengetuk pintu, akhirnya Alno lelah juga. Tak ada respon sama sekali dari Siska. Alno menyerah.
Alden keluar dari kamar Sinta. Ia berdiri di ambang pintu. Lalu Alno menggeleng padanya. Seakan berkata 'dia nggak mau buka pintu'.
Lalu, Alden kembali masuk ke dalam kamar Sinta. Tak lama kemudian, Alden keluar lagi bersama Sinta di sampingnya. Alden memegangi tubuh Sinta yang terhuyung. Memapahnya mendekat ke Alno yang masih berdiri di depan pintu kamar Siska.
Sinta meraih kenop, mencoba untuk membukanya. Seperti dugaan, pintu itu terkunci.
"Siska?", panggil Sinta dengan suara lemah.
Sinta menggedor pintu dengan sisa tenaganya. "Siska? Buka!"
Masih belum. Pintu itu belum terbuka."Siska? Lo mau buat gue pingsan disini?", Sinta belum menyerah. Tangannya yang sedikit gemetar masih mengedor pintu itu terus menerus.
"Siskaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! Bukaaaaaa!", teriak Sinta kesal. Suaranya pun ikut bergetar seperti memahan tangis. Sinta merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan balon.
Ceklek!
Gotcha! Pintu terbuka.
Sinta membuka lebar pintu yang tadi hanya dibuka sedikit oleh Siska yang saat ini sudah kembali ke ranjang setelah susah payah berdiri. Manarik kembali selimut untuk menutupi tubuhnya.
Mereka bertiga langsung nyelonong masuk begitu saja. Alno meletakkan nampan di atas nakas. Sementara Sinta langsung duduk di ranjang Siska karena tak kuat lama-lama berdiri.
"Bangun!", titah Sinta sambil memegangi kepalanya yang terasa pening.
"Bangun, Siska Fiorenza!", kesal Sinta dengan suara menuntut.
Perlahan, Siska beringsut dari tidurnya. Duduk bersandar di kepala ranjang dengan muka yang.....mengenaskan. dia terlihat tak berdaya. Alisnya bertaut karena kesal dengan tingkah adik kembarnya itu.
"Kalo lo mau sakit, sakit aja sendiri! Gausah ajak-ajak gue! Gue mau sembuh! Dasar mak lampir bego!"
Sinta menyuruh Alno memberikan makanannya. Mangkuk itu berada di pangkuan Siska sekarang.
"Gue gamau makan"
Sinta menatap Siska nyalang. Tanpa bersuara, dan tanpa mengalihkan pandangannya. Alden dan Alno pun hanya berani melihat, tak berani menganggu ritual mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar yang Dikembar-kembarkan
Novela Juvenil. Alih-alih saudara kembar yang biasanya selalu akur kemana-mana berdua, Siska dan Sinta adalah kembar yang akan cakar-cakaran jika disandingkan. Kembar dengan segala perbedaan bumi dan langit, ditambah lagi dengan sikap semua orang yang sel...