Sudah satu minggu ia terkurung dalam kamar. Bukan kamar biasa. Disana, pasien boleh minta apa pun setakar kemauan akal.
Tok Tok!
Sudah pasti tak ada jawaban. Begitu, sang perawat masuk, mendekat pasien dalam sana.
"Park Ji Hoon, waktu-nya makan. Tolong, lepas dulu pigura itu. Ji Hoon harus makan."
Selama seminggu, sudah dua puluh kali perkataan ter-abai. Perawat itu merasa resah. Masalah-nya, anak ini belum makan semenjak dua hari.
Sedikit paksa, perawat itu mengambil pigura yang digenggam si pasien.
"DIAM BODOH! ATAU KU PUKUL KAU!!"
Pasien melayang pigura, bermaksud memukul perawat di hadapan. Mau tak mau, yang memaksa harus mengalah.
Park Ji Hoon, pria itu tak rela jika lepas dari benda kesayangan. Karena foto yang terpampang, adalah foto diri-nya bersama Park Seong Woo, sang kakak.
"Tapi, Ji Hoon harus makan. Sudah dua hari belum makan. Tak mungkin saya memanggil perawat lain untuk memegang semua tubuh Ji Hoon, seperti saat itu. Ji Hoon, makan, ya?"
Yang ditanya, tetap tak menggubris perkataan. Benar, akal-nya memang sudah hilang.
Perawat ini memikirkan sesuatu, agar pasien menuruti perintah.
"Park Ji Hoon, ayo makan. Bagaimana jika kakak mu menangis, melihat mu tidak makan selama dua hari, huh? Dia marah, tak mau berteman lagi dengan Ji Hoon."
Berhasil! Mendengar itu Ji Hoon menoleh, pada sumber suara. Wajah, suram. Manik, berkaca-kaca. Ia mengingat kembali soal kakak-nya.
"Kakak?"
Perawat itu berdehem sembari tersenyum, "Hm."
"Kakak akan menangis?" Tanya-nya sekali lagi. Air mata, keluar tak menentu. Deras, bagai air terjun.
Sang perawat kembali mengangguk. Ia menjawab, "Benar. Kasihan, bukan?"
"Iya, Ji Hoon kasihan pada kakak. ITU SEMUA KARENA ULAH MANUSIA! JI HOON BENCI SEMUA MANUSIA!!"
Prediksi si perawat, berkelok. Ia kira, Ji Hoon nurut akan perkataan. Nyata, berteriak seperti biasa.
Perawat itu mendesah pelan. Ia letakkan semangkuk bubur atas nakas. Sebelum pergi, ia berkata, "Kalau Ji Hoon ingin makan, ambil saja atas nakas. Saya ada urusan lain. Nanti saya akan kembali."
Percuma jika perawat berbicara, Ji Hoon tetap tak mengerti.
Tersisa diri sendiri. Entah mengapa, perkataan wanita saat itu, di suatu tempat, selalu teringat dalam pikiran.
'Sebenar-nya, kakak mu mendapat hukuman eksekusi mati. Alasan-nya, sebagai pembunuh bayaran. Dulu, Kakak mu hampir tertangkap sebagai pembunuh berantai.'
Mengingat itu, Ji Hoon memukul kepala-nya sendiri. Namun, ia lupa siapa yang berkata.
---
Hwang Min Ji, gadis itu tengah menata diri depan cermin besar. Sesekali ia tersenyum, lantaran izin dari sang kakak, Hwang Min Hyun nama-nya.
Begitu selesai, segera ia langkah-kan kaki menuju rumah sakit. Ingat, rumah sakit jiwa.
Hanya dua puluh menit menggunakan taksi, gadis itu sampai. Melihat bangunan besar berwarna putih, membuat senyum senang.
Pertama, Min Ji beranjak menuju ruang dokter. Ia akan bertemu sang kakak. Karena, sudah satu Minggu tak kunjung pulang.
Tok tok!

KAMU SEDANG MEMBACA
Lullaby || Park Ji Hoon ✔️
Short Story[Completed] Usai kejadian mengenaskan, sebuah keputusan mengatakan agar sejoli ini mendekap sementara di rumah sakit jiwa. Siapa yang menyukai tempat menyeramkan itu? Sudah pasti tidak ada. Park Ji Hoon, ia kesepian. Hidup menderita setelah kehilang...