Mr. Apple

1.4K 100 8
                                    

Mr. Apple

            Kakiku yang mengenakan high heel lima senti berdentam-dentam di koridor menuju kelas Bahasa Inggris. Seharusnya aku sudah berada di kelasku lima menit yang lalu, menunggu dengan santai kedatangan para siswa dengan sistem moving class di salah satu SMA swasta elit di kota ini. Gara-gara rapat singkat dadakan di kantor, keluhku. Dan sekarang saat aku sudah berdiri di depan pintu kelas yang tertutup, mendadak hatiku gamang. Seandainya saja aku sudah lebih dulu berada di sana sebelum mereka, mungkin tidak akan sesulit ini.

Masuk. Tidak. Masuk. Tidak.

            Dari luar bisa kudengar keriuhan yang biasa muncul saat guru tidak ada di kelas. Sambil menarik nafas berkali-kali aku menguatkan hati untuk masuk. Cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahuinya, Karen, bisik hatiku. Menghindar itu percuma, jadi hadapi saja.

            Seperti sudah kuduga kehebohan itu mendadak berakhir ketika aku membuka pintu. Mereka memandang dengan tatapan membelalak seolah aku ini hantu. Sebagian kembali ke tempat duduk masing-masing sambil berlarian lantas mencoba duduk tenang di sana. Aku memberanikan diri mengedarkan pandang ke seluruh penjuru. Duapuluh lima siswa kelas XII program bahasa lagi-lagi memandangku dengan intens. Ini jelas bukan karena aku tipikal guru killer. Aku yakinkan kau bahwa aku sama sekali jauh dari kesan itu. Perlahan, aku bisa mengenali rasa iba dalam tatapan mereka, meskipun ada sebagian yang memandangku dengan rasa senang dan juga...sinis, mungkin? Entahlah, yang jelas dugaanku benar. Mereka memang sudah tahu soal ‘itu’. Apalagi yang kuharapkan dari para siswa berpikiran kritis dan mempunyai bakat alami sebagai stalker? Tambahkan kelancaran akses internet yang turut mendukungnya, maka untuk pertama kalinya dalam hidup, izinkan aku mengutuk kemajuan teknologi masa kini.

***

            Menjadi guru adalah cita-citaku sejak masih duduk di sekolah menengah dulu. Tadinya orangtuaku sama sekali tidak mengakomodasi pilihan ini dengan alasan kesejahteraan hidup yang tidak terjamin ketika aku tetap ngotot meneruskan kuliah di fakultas keguruan. Alasan lainnya tentu saja karena papa menginginkanku memimpin satu dari dua perusahaan periklanan miliknya. Untungnya, aku punya seorang kakak lelaki yang akhirnya diserahi tanggung jawab kedua perusahaan tersebut. Enaknya lagi, kakakku yang baik hati ini setiap bulan menyuplai dana dengan jumlah lumayan besar untukku. Dengan demikian, aku punya uang lebih dari cukup dan bebas untuk menjalani apa yang menjadi cita-citaku.

            Sayangnya, aku melupakan sisi lain menjadi seorang guru. Aku tidak mau menyebutnya sebagai efek buruk tapi kelihatannya memang begitu. Publisitas gratis dan ketenaran mendadak. Oh, ya, aku serius dengan kata-kataku karena aku sendiri baru menyadarinya ketika sudah benar-benar menjalani profesi ini. Ketika kau menjadi seorang guru, mendadak kau menjelma sebagai seorang selebritis, setidaknya di lingkungan sekolah tempat kau mengajar. Semua anak-anak, baik yang kau ajar atau tidak, mereka mengenalmu. Kapanpun berpapasan, akan ada wajah-wajah bersahabat yang tersenyum atau menyapamu hangat. Kau, guru, adalah selebritis dari dunia pendidikan.

            Begitu juga ketika akhirnya kisah pribadiku dengan Julian terusik. Kisah yang diawali manisnya persahabatan masa kecil saat tinggal di kompleks perumahan yang sama, membuatku bersumpah kalau hanya dialah yang akan menjadi pemilik hatiku untuk selamanya. Dan betapa bahagianya aku ketika Julian yang dua puluh tahun kemudian bertransformasi menjadi pria tampan, bertubuh tinggi atletis, dengan tatap mata nan jail namun jenaka seperti anak laki-laki yang kukenal sejak usia lima tahun itu, mengatakan kalau dia ingin bersamaku. Walaupun kami sempat beberapa kali terpisah, namun kami tetap berhubungan baik. Julian adalah pria impianku dan aku tahu kalau kami berdua memang saling mencintai sejak lama.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now